Salin Artikel

Mengapa Solusi Dua Negara Sulit Dicapai dalam Konflik Palestina?

Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu langsung merespons dengan menyatakan bahwa pihaknya tidak tertarik dengan ide tersebut.

Solusi dua negara mengacu pada gagasan bahwa penyelesaian paling praktis untuk konflik Palestina-Israel adalah membagi tanah yang secara historis disebut Palestina menjadi dua negara: yaitu satu negara Yahudi dan satu negara Arab-Palestina. Solusi itu diharapkan bisa mengakhiri konflik berkepanjangan yang telah terjadi antara Israel dan tetangga Arab-nya.

Gagasan tersebut sebetulnya menjadi kebijakan yang paling luas diterima secara internasional, meskipun orang-orang Israel dan Palestina kini semakin melihatnya sebagai sesuatu yang mustahil.  Mengapa sulit?

Pendudukan Israel

Pendudukan Israel menjadi isu kunci yang mencegah orang-orang Palestina membentuk negara sendiri. Israel mencaplok wilayah Palestina (Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur) sejak tahun 1967 setelah mereka menang dalam Perang Enam Hari. Warga Palestina itu hidup di bawah pemerintahan militer sejak saat itu. Upaya mediasi internasional sejak 1990-an gagal mengubah status quo.

Walaupun pendudukan berakhir, misalnya, hanya tinggal sedikit tanah yang tersedia bagi orang-orang Palestina untuk membangun negara. Orang-orang Yahudi membangun permukiman di wilayah yang diduduki. Kini orang Yahudi yang tinggal di permukiman di wilayah Palestina mencapai 700.000 orang.

Perselisihan Internal

Bahkan jika pun Israel dipaksa untuk mengakhiri pemerintahan militernya di lokasi yang diduduki, orang-orang Palestina sendiri sudah sangat terpecah. Kelompok seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diakui secara internasional mendukung solusi dua negara.  Sementara gerakan Islamis Hamas ingin penghancuran Israel.

Perpecahan politik antara Fatah (PLO) yang berkuasa di Tepi Barat dan Hamas yang mengendalikan Jalur Gaza menjadi salah satu hambatan utama. Ketegangan politik ini telah mengakibatkan ketidakmampuan Palestina untuk bersatu dalam menghadapi Israel. Pada ujungnya, kondisi itu membuat negosiasi damai menjadi sulit dilakukan.

Situasi semacam itu terjadi juga di pihak Israel. Di kalangan warga Israel ada perbedaan politik dan pandangan mengenai masa depan Palestina. Ada partai politik yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai isu Palestina, mulai dari yang mendukung solusi dua negara hingga yang mendukung pemukiman orang-orang Yahudi di Tepi Barat yang diduduki Israel. 

Faktor-faktor sosial, budaya, dan agama juga memperumit proses perdamaian. Misalnya, klaim historis atas wilayah yang sama oleh kedua pihak berakar dalam sejarah dan agama, yang menjadikan konflik sangat emosional dan rumit.

Intervensi Negara-negara Tetangga

Intervensi dan tekanan dari negara-negara tetangga atau pihak luar juga menjadi tantangan dalam upaya mencapai solusi dua negara untuk Israel dan Palestina. Negara-negara di Timur Tengah memiliki berbagai kepentingan dan pandangan yang beragam terkait konflik itu.

Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dalam beberapa tahun terakhir sebagai bagian dari kesepakatan Abraham Accords. Namun, negara-negara ini juga memiliki peran penting dalam mendukung solusi damai antara Israel dan Palestina. Mereka dapat memberikan tekanan kepada Israel untuk melakukan kompromi, tetapi juga harus mempertimbangkan kepentingan mereka sendiri dalam hubungan regional.

Di sisi lain, Iran dan Suriah telah lama menjadi pendukung utama Palestina dan sering kali memberikan dukungan finansial dan militer kepada kelompok-kelompok bersenjata Palestina.

Hal itu menciptakan ketegangan tambahan dalam upaya mencapai perdamaian, karena konflik regional yang melibatkan negara-negara itu dapat memengaruhi dinamika Israel-Palestina.

Peran Amerika Serikat (AS) sebagai mediator dalam proses perdamaian juga memiliki dampak signifikan. Pada masa pemerintahan yang berbeda, AS memiliki pendekatan yang berbeda terhadap konflik itu, yang dapat memengaruhi proses negosiasi.

Intervensi dan tekanan dari negara-negara tetangga ini seringkali mengaburkan kemungkinan tercapainya kesepakatan damai, karena berbagai kepentingan geopolitik dan regional yang bertentangan.

Isu-isu Ekstremisme

Isu-isu ekstremisme juga menjadi hambatan signifikan dalam mencapai solusi dua negara. Konflik itu memiliki aspek agama yang kuat, yang sering kali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ekstremis untuk menggalang dukungan dan melanjutkan kekerasan.

Di pihak Israel, terdapat kelompok ekstremis Yahudi yang memandang klaim historis atas seluruh Tanah Israel sebagai tidak terbantahkan. Mereka menolak kompromi dengan Palestina dan mendukung pemukiman-pemukiman Yahudi di Tepi Barat. Tindakan ekstremis seperti ini menciptakan ketegangan dengan pemerintah Israel yang mencari solusi damai.

Di sisi Palestina, kelompok Hamas memiliki pendekatan yang keras dan sering kali mengadopsi retorika ekstrem yang menentang keberadaan Israel. Mereka menggunakan agama sebagai alat untuk memobilisasi massa dan meraih dukungan internasional. 

Isu-isu kepercayaan juga mencakup perasaan ketidakpercayaan antara kedua pihak. Kedua belah pihak telah mengalami sejarah konflik yang panjang, yang telah merusak kepercayaan satu sama lain.

Tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama konflik meninggalkan luka yang dalam dan sulit sembuh. Hal ini membuat sulit bagi kedua pihak untuk membangun rasa saling percaya yang diperlukan untuk negosiasi yang berhasil.

https://internasional.kompas.com/read/2024/01/24/103859170/mengapa-solusi-dua-negara-sulit-dicapai-dalam-konflik-palestina

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke