Salin Artikel

Gaza, Titik Konflik Israel-Hamas, Kota Tua Berusia 3.000 Tahun

Di zaman modern, sejumlah negara secara bergantian menduduki Gaza. Wilayah itu berada di bawah kontrol Palestina sejak tahun 2005. Dalam perkembangan terbaru, Gaza menjadi arena pertempuran antara Israel dan Hamas, sebuah kelompok perlawanan Palestina. Pertempuran pecah sejak 7 Oktober 2023, ketika Hamas secara mendadak menyerbu Israel dengan ribuan roket.

Gaza dalam Sejarah Kuno

Catatan sejarah menunjukkan, Gaza telah dihuni secara terus-menerus selama lebih dari tiga milenium. Catatan paling awal bersumber dari masa Firaun Thutmose III dari Mesir (dinasti ke-18) pada abad ke-15 SM. Gaza juga disebutkan dalam tablet Tell el-Amarna, catatan diplomatik dan administratif Mesir kuno.

Berdasarkan catatan dari zaman Firaun itu, setelah 300 tahun pendudukan Mesir, bangsa Peleset atau Filistin menetap di Kota Gaza dan sekitarnya. Gaza menjadi pusat penting dari Pentapolis (liga lima kota) Filistin, yaitu kota Asdod, Ashkelon, Ekron, Gath, dan Gaza.

Bangsa Filistin merupakan kelompok pendatang yang kemungkinan berasal dari wilayah Aegean, Yunani. Mereka dikenal karena keterampilan metalurgi dan pengaruh budaya yang signifikan.

Selama periode itu, Gaza sering terlibat konflik dengan bangsa Israel kuno. Kisah Samson, seorang tokoh dalam Kitab Hakim-Hakim di Alkitab, adalah salah satu contoh interaksi antara bangsa Israel dan Filistin. Samson tewas di Gaza setelah menghancurkan sebuah kuil Filistin.

Karena letaknya yang strategis di Via Maris (Jalan Laut), jalan kuno di pesisir yang menghubungkan Mesir dengan Palestina hingga Persia, Gaza jarang mengalami masa damai di masa kuno. Kota ini secara berturut-turut jatuh ke tangan raja Israel (Daud), bangsa Asyur, Mesir, Babilonia, Yunani, Romawi, dan Turkiye.

Aleksander Agung menghadapi perlawanan keras di Gaza saat dia meluaskan wilayah kekuasaannya. Setelah menaklukkan Gaza tahun 332 SM, Alexander menjual penduduknya sebagai budak. Namun, pada era Yunani, khususnya di bawah kekuasaan Alexander Agung itu, Gaza menonjol sebagai pusat kebudayaan dan perdagangan.

Setelah ditaklukkan Romawi pada abad pertama SM, Gaza mengalami transformasi besar. Romawi menjadikannya sebuah kota penting di wilayah Palestina. Gaza menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan Mesir dengan wilayah Asia.


 Gaza mengalami pembangunan infrastruktur dan arsitektur yang signifikan. Gaza menjadi pusat pertanian, terutama penghasilan gandum dan anggur, yang diekspor ke seluruh kerajaan Romawi.

Agama juga mengalami perubahan selama era Romawi. Awalnya, kepercayaan politeistik mendominasi, tetapi kemudian agama Kristen mulai berkembang dan menjadi agama yang dominan di kota ini. Eusebius dari Caesarea, dalam karyanya "Historia Ecclesiastica" (awal abad ke-4 M), mencatat bahwa Gaza menjadi salah satu pusat awal penyebaran kekristenan di wilayah tersebut.

Pada periode Bizantium, Gaza mencapai puncak kemakmurannya sebagai kota penting di Palestina. Gaza menjadi pusat pendidikan dan budaya. Pada masa itu, Gaza terkenal dengan sekolah filsafatnya, yang menarik para cendekiawan dari seluruh wilayah.

Periode Bizantium berakhir dengan penaklukan oleh kaum Muslim pada abad ke-7 M, yang membuka babak baru dalam sejarah Gaza. Pada tahun 635 M, bangsa Arab menaklukkan Gaza, dan kota ini menjadi kota Muslim.

Gaza menjadi pusat penting tradisi Islam dan dikatakan sebagai tempat pemakaman Hashim bin Abd Manaf, kakek buyut Nabi Muhammad, dan tempat kelahiran al-Shafii (767–820), pendiri madzhab hukum Islam Shafii.

Kota ini mengalami kemunduran selama Perang Salib.

Namun, setelah Sultan Saladin mengalahkan Tentara Salib yang menduduki wilayah itu dalam Pertempuran Hattin (1187), Gaza kembali ke kontrol kaum muslim. Gaza kemudian berpindah ke tangan Turkiye Ottoman pada abad ke-16.

Selama periode Ottoman, Gaza mempertahankan perannya sebagai pusat perdagangan regional penting. Kesultanan Ottoman memperkenalkan sistem administratif baru dan membangun struktur-struktur militer untuk mengontrol dan melindungi jalur perdagangan.

Pada masa ini, Gaza juga mengalami perkembangan di bidang arsitektur dan infrastruktur urban. Banyak masjid, madrasah, dan bangunan publik lainnya dibangun atau direnovasi, menambah kekayaan arsitektur kota. Salah satu contohnya adalah Masjid Besar Gaza, yang telah ada sejak era Bizantium dan kemudian dibangun kembali oleh Ottoman.

Pada Perang Dunia I, kota ini dipertahankan dengan gigih oleh Turkiye dan baru dikuasai pasukan Inggris pada November 1917.  Kekuasaan Ottoman atas Gaza berakhir setelah Perang Dunia I.

Imigrasi besar-besaran orang Yahudi ke Palestina membuat ketegangan meningkat. Ketegangan ini mencapai puncaknya pada Pemberontakan Arab tahun 1936 hingga 1939, yang merupakan tanggapan terhadap imigrasi Yahudi dan kebijakan Mandat Britania. Gaza menjadi salah satu pusat perlawanan, dengan demonstrasi dan bentrokan bersenjata yang sering terjadi.

Periode Mandat Britania berakhir dengan pembentukan Negara Israel tahun 1948. Proses ini diawali dengan rencana pembagian wilayah oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1947, yang membagi Palestina menjadi dua negara: satu Yahudi dan satu Arab.

Gaza, menurut rencana itu, menjadi bagian dari negara Arab. Namun, perang yang pecah setelah deklarasi kemerdekaan Israel mengubah peta politik wilayah tersebut secara drastis.

Selama Perang Arab-Israel 1948, banyak pengungsi Palestina melarikan diri atau diusir dari rumah mereka di wilayah yang menjadi Israel, dan banyak yang mencari perlindungan di Gaza. Masuknya pengungsi ini secara dramatis mengubah demografi dan kondisi sosial-ekonomi di Gaza.


Pasca-perang, Gaza berada di bawah administrasi Mesir hingga tahun 1967, menjadi wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan tantangan sosial-ekonomi yang besar. Pada masa ini, konflik antara Israel dan negara-negara Arab tetangga, termasuk Mesir, terus berlanjut, dengan Gaza sering kali menjadi titik fokus.

Konflik Arab-Israel, yang berakar pada pertengahan abad ke-20, merupakan unsur penting dalam sejarah terkini Gaza. Konflik ini bermula dari ketegangan antara komunitas Yahudi dan Arab pada masa Mandat Britania Palestina dan memuncak dengan pendirian Negara Israel tahun 1948. Sejak itu, Gaza telah menjadi pusat konflik dan perjuangan politik di Timur Tengah.

Setelah Perang Arab-Israel 1948, Gaza, yang berada di bawah administrasi Mesir. Wilayah  itu menjadi rumah bagi ribuan pengungsi Palestina. Hal ini menciptakan ketegangan politik dan sosial yang tinggi di wilayah tersebut.

Konflik ini memasuki babak baru selama Perang Enam Hari 1967, ketika Israel menduduki Gaza bersama dengan Tepi Barat dan Semenanjung Sinai. Pendudukan ini mengubah secara drastis kehidupan sehari-hari di Gaza, dengan Israel memperkenalkan kontrol militer dan pembatasan yang ketat.


Selama beberapa dekade berikutnya, Gaza menjadi salah satu titik panas dalam konflik Israel-Palestina. 

Pada tahun 2005, Israel melakukan penarikan pasukannya dari Gaza, yang diikuti oleh pengambilalihan wilayah tersebut oleh Hamas tahun 2007. Sejak itu, Gaza sering mengalami periode ketegangan dan konflik dengan Israel, termasuk beberapa eskalasi besar yang menyebabkan kerusakan luas dan korban jiwa di kedua sisi.

https://internasional.kompas.com/read/2024/01/22/115544170/gaza-titik-konflik-israel-hamas-kota-tua-berusia-3000-tahun

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke