Salin Artikel

Bagaimana Nasib 5,9 Juta Pengungsi Palestina di Timur Tengah?

Tahun 2022, sekitar 40 persen (2,4 juta) dari hampir enam juta pengungsi Palestina tinggal di Yordania; 10 persen (581.000) di Suriah, meskipun sekitar seperlimanya diyakini telah melarikan diri ke negara lain sejak dimulainya perang saudara di Suriah; dan 8 persen (488.000) di Lebanon. Sisanya berada di wilayah yang diduduki Israel di Gaza (26 persen atau 1,3 juta) dan Tepi Barat (15 persen atau 901.00).

Angka-angka dari data UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East), badan khusus PBB untuk membantu pengungsi Palestina yang tinggal di Yordania, Lebanon, Suriah, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.

UNRWA mendefinisikan pengungsi Palestina sebagai orang-orang yang tempat tinggalnya berada di Palestina antara Juni 1946 dan Mei 1948, dan yang kehilangan baik rumah maupun mata pencaharian sebagai akibat dari konflik 1948 dan peristiwa-peristiwa berikutnya yang terkait. Status tersebut mencakup keturunan orang-orang itu karena mereka mewarisi status itu dari orangtuanya.

Bagaimana kondisi mereka di negara-negara itu?

Yordania: Rumah bagi Pengungsi Palestina Terbanyak

Kerajaan Yordania merupakan satu-satunya negara Arab yang memberikan kewarganegaraan kepada para pengungsi Palestina.

"Lebih dari separuh populasi Yordania keturunan Palestina. Ratu Rania sendiri memiliki akar Palestina dan isu negara Palestina mendapat dukungan besar dari populasi dan pemerintah," kata Kelly Petillo, peneliti Timur Tengah di European Council on Foreign Relations kepada media Jerman, Deutsche Wele (DW).

Sejak konlfik Palestina muncul, Yordania "ramah" terhadap pengungsi Palestina. Tahun 1949, Yordania menerima sekitar 900.000 pengungsi Palestina. Negara itu mengubah Undang-Undang Kewarganegaraannya demi memberikan kewarganegaraan yang sama kepada orang Palestina.

Yordania kemudian menganeksasi wilayah Tepi Barat (Sungai Yordan) tahun 1950. Namun Yordania kehilangan wilayah itu karena kalah perang dengan Israel tahun 1967. Perang itu mengakibatkan 250.000 hingga 300.000 orang Palestina mengungsi ke Tepi Timur.

Seperti mereka yang melarikan diri tahun 1948, orang-orang Palestina dari Tepi Barat mempertahankan kewarganegaraan Yordania mereka. Namun, orang Palestina dari Gaza yang mengungsi ke Yordania setelah 1967 tidak dapat menjadi warga negara Yordania.

Setelah tahun 1988, ketika Yordania melepaskan klaimnya atas Tepi Barat, pemerintah juga mengambil langkah-langkah untuk membedakan antara orang-orang yang disebut Palestina-Yordania dan Transyordania (atau warga negara Yordania non-Palestina), dan menentang narasi Israel bahwa Yordania dapat berfungsi sebagai tanah air alternatif bagi orang Palestina.

Karena sekitar tiga perempat orang Palestina di Yordania merupakan warga negara Yordania, mereka cukup terintegrasi ke dalam kehidupan masyarakat dan ekonomi negara itu. Walaupun orang Palestina dari Gaza tetap dilarang menjadi warga negara dan dikecualikan dari sebagian besar layanan. Mereka yang dikecualikan itu terpaksa mengandalkan bantun UNRWA untuk pendidikan dan perawatan kesehatan.

Orang-orang dari Gaza juga harus memperbarui dokumen perjalanan mereka setiap dua tahun. Mereka harus memperoleh izin khusus untuk bekerja di sektor swasta, dan membayar dua kali lipat biaya kuliah untuk mengakses sekolah dan universitas negeri.

Para pengungsi Palestina yang tinggal di Suriah tetapi kemudian melarikan diri ke Yordania setelah perang sipil Suriah tahun 2011 — yang jumlahnya lebih dari 19.000 pada Juni 2022 — juga menghadapi tantangan itu. Tanpa kewarganegaraan Yordania, mereka tidak dapat bekerja dan mengakses layanan pemerintah. Berbeda dengan pengungsi lainnya dari Suriah, mereka dikecualikan dari bantuan UNHCR, dan terpaksa mengandalkan UNRWA.

Menurut UNRWA, tiga faktor, yaitu pandemi Covid-19, peningkatan harga komoditas, dan dampak ekonomi dari perang Rusia-Ukraina — telah memperburuk kemiskinan pengungsi Palestina dari Suriah. Sekitar 80 persen dari mereka bergantung pada bantuan UNRWA sebagai sumber pendapatan utama mereka.

Lebanon: Kehidupan Buruk di Kamp dan Hak Terbatas

Berbeda dengan banyak pengungsi Palestina di Yordania, sekitar 488.000 pengungsi Palestina di Lebanon tidak dapat menjadi warga negara. Mereka juga memiliki akses yang sangat terbatas pada perawatan kesehatan publik, pendidikan, atau ekonomi formal.

Penempatan permanen orang-orang Palestina di Lebanon (yang dikenal sebagai tawteen) menimbulkan kekhawatiran terkait dampaknya bagi sistem politik konfesional Lebanon. Sistem politik Libanon menginstitusionalisasikan pembagian kekuasaan di antara komunitas-komunitas agama.

Sejak tahun 1943, Lebanon telah berpegang pada sistem distribusi kekuasaan berdasarkan representasi proporsional agama, yaitu perdana menteri harus seorang Muslim Sunni, presiden seorang Kristen, dan ketua parlemen seorang Muslim Syiah.

Hingga tahun 2005, pemerintah Lebanon melarang pengungsi Palestina mengakses pasar tenaga kerja formal. Mereka hanya bisa bekerja di sektor ekonomi informal, di mana mereka menerima upah yang lebih rendah.

Kini, orang Palestina yang lahir di Lebanon dan telah terdaftar dalam UNRWA serta Kementerian Dalam Negeri dapat memperoleh izin kerja dan mengakses 70 jenis pekerjaan.

Namun, masih banyak tantangan yang tetap ada. Orang Palestina tidak dapat mengakses asuransi kesehatan publik dan tetap dilarang masuk dalam berbagai profesi di bidang hukum, teknik, dan perawatan kesehatan publik. Lebih mengkhawatirkan, sekitar 210.000 orang Palestina —hampir 45 persen dari total populasi pengungsi Palestina di negara itu— tinggal di kamp-kamp usang di mana kondisinya umumnya buruk.

Tahun 1968, orang-orang Palestina sempat memperoleh pemerintahan otonom di dalam kamp-kamp di Lebanon berdasarkan Perjanjian Kairo. Kamp-kamp ini telah memainkan peran vital sebagai lokasi untuk mobilisasi politik dan militer selama invasi Israel ke Lebanon dan sepanjang perang saudara Lebanon. Kebebasan mereka kemudian dibatasi dengan perjanjian Taif tahun 1991.

Bersamaan dengan itu, undang-undang baru Lebanon melarang orang Palestina tinggal di luar kamp atau memiliki tanah atau perumahan. Sejak itu, populasi di kamp-kamp Palestina di Lebanon bertambah, tetapi luas tanah yang dialokasikan untuk mereka tetap sama. Hal itu menyebabkan kepadatan penduduk dan konstruksi kamp tidak aman.

Krisis ekonomi dan keuangan baru-baru ini, serta dampak pandemi, dan ledakan di Pelabuhan Beirut pada Agustus 2020 sangat memukul pengungsi di Lebanon. Sebanyak 93 persen pengungsi Palestina di negara itu hidup dalam kemiskinan pada tahun 2022. Harga keranjang makanan (keranjangan berisi barang makanan dasar yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi minimal sehari-hari) di kamp-kamp pengungsi meningkat lebih dari lima kali lipat antara Oktober 2019 dan Juli 2022. Kondisi itu membuat banyak keluarga tidak mampu membeli barang-barang kebutuhan dasar.

Suriah: Pengungsi Mengungsi Lagi di Tengah Perang Saudara

Suriah menerima sejumlah besar pengungsi Palestina tahun 1940-an dan 1960-an. Orang Palestina di Suriah tidak dapat memperoleh kewarganegaraan tetapi dapat mengakses pekerjaan, pendidikan, dan perawatan kesehatan setara dengan warga Suriah.

Namun, perang saudara yang dimulai tahun 2011 telah berdampak buruk pada pengungsi Palestina. Kamp-kamp di Dera'a, Yarmouk, dan Ein el Tal, yang secara gabungan menampung lebih dari 30 persen pengungsi Palestina di negara itu, hancur lebur. Sekitar 120.000 orang Palestina melarikan diri ke negara lain. Itu berarti sekitar 438.000 dari 575.000 pengungsi yang terdaftar di UNRWA tetap berada di Suriah pada tahun 2022. Dari jumlah tersebut, 40 persennya adalah orang yang mengungsi di dalam negeri.

Perang saudara Suriah memang telah dilokalisasi, tetapi situasi kemanusiaan tetap parah dan telah diperburuk oleh penurunan kondisi ekonomi, penurunan produksi pertanian akibat perubahan iklim, dan masalah kesehatan.

Dua gempa bumi, yang melanda Suriah barat laut pada Februari 2023, menewaskan puluhan ribu orang dan memengaruhi pengungsi Palestina di Aleppo, Latakia, dan Hama di Suriah utara. Hampir 47.000 pengungsi Palestina terdampak dan ribuan orang kembali mengungsi.

Pengungsi di Gaza dan Tepi Barat

Selain 3,4 juta pengungsi Palestina yang terdaftar dan tinggal di negara-negara tetangga, hampir 2,5 juta orang Palestina tinggal di wilayah pendudukan di Gaza dan Tepi Barat. Pengungsi mencapai sekitar 67 persen dari populasi Gaza. Mereka hidup dalam kondisi sosial ekonomi yang sulit akibat blokade darat, udara, dan laut yang diberlakukan Israel sejak 2007, saat Hamas mengambil kendali politik Gaza.

Akibatnya, 80 persen populasi bergantung pada bantuan kemanusiaan pada tahun 2021. Tingkat kemiskinan sangat tinggi (hampir 82 persen) dan tingkat pengangguran merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, hampir 47 persen pada Agustus 2022.

Situasi kemanusiaan di Tepi Barat tidak begitu parah, tetapi pengungsi Palestina tetap menghadapi berbagai tantangan, seperti penutupan dan pembatasan pergerakan yang diberlakukan Israel serta kekerasan terkait konflik. Pos pemeriksaan dan ketidakpastian akses mendapatkan izin memasuki dan bekerja di Israel mencegah banyak orang untuk mengakses pekerjaan, pendidikan, dan layanan kesehatan, dan dapat berdampak serius pada kesehatan mental mereka.

Pasukan keamanan Israel sering menggerebek kamp pengungsi di Tepi Barat, rata-rata 14 kali seminggu pada Oktober 2022. Pasukan Israel menggunakan gas air mata, merusak properti, dan mengganggu penduduk. Warga Palestina terus diusir dari rumah mereka di Tepi Barat.

Tahun 2022, sebanyak 953 bagunan milik orang Palestina dihancurkan atau disita di Tepi Barat. Itu merupakan jumlah terbanyak sejak 2016. Sebanyak 1.031 orang menjadi terlantar akibat hal itu.

Pengungsi di Negara Arab Lainnya

Pengungsi Palestina juga tersebar di sejumlah negara Arab lainnya, termasuk Mesir, Irak, Kuwait, dan negara-negara Teluk. Meski jumlahnya bervariasi, keberadaan mereka di negara-negara itu memiliki tantangan tersendiri.

Kondisi pengungsi Palestina di Mesir paling tidak pasti. Mereka hidup dalam ketidakpastian hukum. Mesir bukan negara yang masuk dalam daftar UNRWA. Karena itu pengungsi Palestina di sana tidak mendapat bantuan UNRWA. Mereka hidup tanpa status hukum dan tak punya akses ke layanan sosial dasar. Data statistik pengungsi Palestina di Mesier bervariasi antara 70.000 dan 134.000 orang," kata dia.

Di Irak, pengungsi Palestina pernah diterima dan diberi hak yang hampir sama dengan warga Irak. Namun, sejak invasi AS tahun 2003 dan kekerasan yang menyusul setelahnya, mereka sering kali menjadi target diskriminasi dan serangan, yang menyebabkan banyak pengungsi Palestina melarikan diri dari Irak ke negara-negara lain atau kembali ke kamp-kamp di Yordania dan Lebanon (Mohammed Al-Khudary, "Palestinians in Iraq", 2008).

Negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab, menjadi rumah bagi komunitas pengungsi Palestina yang cukup besar. Namun, dalam banyak kasus, pengungsi Palestina di sini hidup sebagai pekerja asing dengan sedikit atau tanpa hak politik, dan status mereka dapat menjadi sangat tidak pasti jika ada perubahan dalam kebijakan tenaga kerja.

https://internasional.kompas.com/read/2024/01/19/180048970/bagaimana-nasib-59-juta-pengungsi-palestina-di-timur-tengah

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke