Salin Artikel

Sejarah Kenapa Gaza Diperebutkan Israel dan Palestina

Sepanjang sejarah, wilayah tersebut telah dilanda serangkaian konflik bersenjata, termasuk beberapa perang yang menentukan dinamika hubungan Israel-Palestina.

Selama beberapa dekade, ketegangan antara Israel dan Hamas--yang menguasai Gaza sejak 2007--kerap terjadi. Namun serangan kelompok Palestina pada 7 Oktober mengejutkan semua orang.

Hamas menembakkan ribuan roket ke Israel selagi puluhan anggota milisi melintasi perbatasan dan menyerbu komunitas Israel sehingga menewaskan ratusan orang dan menawan lainnya.

Israel membalasnya dengan gempuran besar-besaran di Gaza.

Serangan kelompok milisi pada 7 Oktober digambarkan sebagai serangan lintas batas paling serius yang pernah dihadapi Israel selama lebih dari satu generasi serta operasi paling ambisius yang dilancarkan Hamas dari Gaza.

Kami merangkum sejarah Jalur Gaza, yang oleh organisasi hak asasi manusia dan masyarakat Palestina sendiri digambarkan sebagai penjara terbuka terbesar di dunia.

Dari Mesir Kuno hingga Inggris

Pada September 1992, Perdana Menteri Israel saat itu, Yitzhak Rabin, mengatakan kepada delegasi Amerika: "Saya ingin Gaza tenggelam ke laut, tapi itu tidak akan terjadi, jadi kita harus mencari solusinya."

Lebih dari 30 tahun kemudian, solusi tersebut tidak kunjung muncul.

Jalur Gaza adalah wilayah dengan panjang 41 kilometer dan lebar 10 kilometer yang terletak di antara Israel, Mesir, dan Laut Mediterania.

Kawasan ini adalah rumah bagi sekitar 2,3 juta orang dan kepadatan penduduknya salah satu yang tertinggi di dunia.

Namun, jauh sebelum huru-hara antara Israel dan Palestina, Jalur Gaza punya sejarah panjang. Kawasan ini beberapa kali dikepung dan diduduki oleh beragam pihak sejak 4.000 tahun lampau.

Gaza pernah diperintah, dihancurkan, dan dihuni kembali oleh berbagai dinasti, kekaisaran, dan masyarakat, mulai dari Mesir Kuno--ratusan tahun sebelum Masehi--hingga jatuh ke tangan Kesultanan Ottoman pada abad ke-16.

Kawasan itu juga pernah ditaklukkan Alexander Agung, Kekaisaran Romawi, serta Jenderal Muslim, Amr ibn Al As.

Selama periode itu pula keyakinan dan kesejahteraan penduduk Jalur Gaza berubah-ubah.

Selama Perang Dunia I, Inggris dan Turkiye mencapai kesepakatan mengenai masa depan Jalur Gaza dan sebagian besar wilayah Arab Asia milik Kesultanan Ottoman.

Namun pada Konferensi Perdamaian Paris tahun 1919, negara-negara Eropa yang menang perang mencegah terciptanya kerajaan Arab bersatu. Alih-alih mereka menetapkan serangkaian mandat yang memungkinkan pembagian seluruh wilayah.

Dengan demikian, Jalur Gaza menjadi bagian dari Mandat Inggris atas Palestina, yang disahkan oleh Liga Bangsa-Bangsa. Masa kekuasaan Inggris ini diperpanjang antara 1920 dan 1948.

Pada 1947, organisasi tersebut menyetujui Resolusi 181 yang membagi Palestina sebagai berikut: 55 persen wilayahnya untuk orang Yahudi, Kota Yerusalem di bawah kendali internasional, dan sisanya untuk orang Arab (termasuk Jalur Gaza).

Resolusi ini, yang mulai berlaku pada Mei 1948, mengakhiri Mandat Inggris atas Palestina dan melahirkan negara Israel.

Konflik tersebut menyebabkan ratusan ribu pengungsi Palestina akhirnya menetap di Jalur Gaza.

Dengan penandatanganan gencatan senjata, Gaza diduduki dan dikelola oleh Mesir hingga 1967, tahun meletusnya Perang Enam Hari yang memperhadapkan Israel dengan koalisi Arab yang dibentuk Republik Persatuan Arab (nama resmi Mesir dan Suriah sebelumnya), Yordania, dan Irak.

Setelah menang dalam konflik ini, Israel menduduki Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur sehingga memicu rentetan bentrokan kekerasan yang berlanjut hingga saat ini.

Perjanjian Oslo tahun 1993 antara Israel dan Palestina melahirkan Otoritas Nasional Palestina (PNA) yang memberikan otonomi terbatas kepada Gaza dan sebagian Tepi Barat yang diduduki.

Israel menarik pasukannya dan sekitar 7.000 pemukim dari Jalur Gaza pada 2005, setelah intifada kedua yang lebih berdarah.

Setahun kemudian, Hamas meraih kemenangan telak dalam pemilu Palestina, yang memicu perebutan kekuasaan pada 2007 antara Hamas dan partai Fatah, pimpinan Presiden Otorita Palestina, Mahmoud Abbas.

Kelompok milisi ini meraih kemenangan di Gaza dan tetap berkuasa di Jalur Gaza sejak saat itu, bertahan dalam tiga perang dan blokade selama 16 tahun.

Dalam beberapa tahun terakhir mereka telah menyerang wilayah Israel dengan ribuan roket dan melakukan serangan mematikan lainnya.

Kelompok ini didukung oleh Iran, yang mendanai dan menyediakan senjata serta pelatihan.

Blokade

Setelah Hamas berkuasa, Israel dan Mesir memberlakukan blokade darat, udara, dan laut di Gaza.

Meskipun ada seruan dari PBB dan kelompok hak asasi manusia, Israel tetap mempertahankan blokade tersebut sejak 2007.

Blokade tersebut berdampak buruk pada warga sipil Palestina yang menghadapi pembatasan pergerakan secara ketat.

Israel melarang warga Palestina memasuki atau meninggalkan wilayah tersebut “kecuali dalam kasus yang sangat jarang terjadi, mencakup kondisi medis mendesak yang mengancam jiwa dan beberapa pedagang yang jumlahnya sangat sedikit,” menurut B’Tselem, sebuah kelompok hak asasi manusia Israel.

Israel mengatakan blokade, yang membuatnya dapat mengendalikan perbatasan Gaza, diperlukan untuk melindungi warga Israel dari Hamas.

Komite Palang Merah Internasional menganggap blokade itu ilegal dan melanggar Konvensi Jenewa, tuduhan yang dibantah oleh pejabat Israel.

PBB, berbagai kelompok hak asasi manusia, dan ahli hukum, menilai bahwa Gaza masih berada di bawah pendudukan militer Israel.

Dalam upaya mengatasi blokade, Hamas membangun jaringan terowongan yang digunakan untuk membawa barang dan senjata ke Jalur Gaza dan juga sebagai pusat komando bawah tanah.

Israel melihat terowongan-terowongan ini sebagai ancaman dan sering menargetkannya saat melakukan serangan udara.

Lebih dari 65 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, menurut PBB. Lebih lanjut, Program Pangan Dunia (WFP) menganggap 63 persen penduduk Gaza “kerawanan pangan.”

Separuh dari warga Palestina yang tinggal di Gaza berusia di bawah 19 tahun, namun mereka memiliki sedikit atau tidak ada prospek pertumbuhan sosial ekonomi dan akses ke dunia luar amat terbatas.

Dukungan bagi generasi anak-anak yang “hidup dengan dampak psikologis jangka panjang dari paparan kekerasan yang terus-menerus” begitu minim, menurut laporan PBB.

Akibatnya, masalah kesehatan mental, termasuk depresi, meningkat di kalangan generasi muda yang tinggal di kawasan tersebut.

“Blokade Gaza menghalangi orang-orang berbakat dan profesional yang memiliki banyak hal untuk diberikan kepada masyarakat, dalam memperoleh kesempatan yang oleh orang-orang di tempat lain diabaikan begitu saja,” kata Human Rights Watch dalam laporannya pada 2021.

“Mencegah warga Palestina di Gaza untuk bergerak bebas di Tanah Air mereka menghambat kehidupan dan menggarisbawahi kenyataan kejam dari apartheid dan penganiayaan terhadap jutaan warga Palestina.”

Menurut PBB, hampir 600.000 pengungsi tinggal di delapan kamp yang penuh sesak di wilayah tersebut.

Rata-rata kepadatan penduduk di kota seperti London adalah sekitar 5.700 orang per kilometer persegi, namun di Kota Gaza angkanya meningkat hingga lebih dari 9.000 orang.

Pada 2014, Israel mendeklarasikan zona pertahanan di sepanjang perbatasan untuk melindungi diri dari serangan roket dan serangan kelompok milisi.

Pemadaman listrik adalah kejadian sehari-hari di Gaza.

Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), sebagian besar rumah hanya mendapat aliran listrik selama tiga jam sehari.

Jalur Gaza mendapatkan sebagian besar listriknya dari Israel, ditambah aliran dari satu-satunya pembangkit listrik di Gaza dan sejumlah kecil dari Mesir.

Sebagian besar warga Gaza juga menderita kekurangan air dan hidup dengan sistem kesehatan masyarakat yang buruk.

Menurut OCHA, blokade yang dilakukan Israel dan Mesir, ditambah dengan rendahnya investasi ANP di bidang kesehatan dan konflik politik internal antara ANP dan Hamas, adalah biang keladi buruknya layanan kesehatan di Gaza.

PBB membantu dengan mengelola 22 pusat kesehatan. Namun beberapa rumah sakit dan klinik telah rusak atau hancur dalam bentrokan sebelumnya dengan Israel.

Kini, setelah serangan terbaru Hamas, kondisi warga sipil di Gaza dan infrastruktur wilayah tersebut diperkirakan akan memburuk secara dramatis.

https://internasional.kompas.com/read/2023/10/12/175900970/sejarah-kenapa-gaza-diperebutkan-israel-dan-palestina

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke