Salin Artikel

Akhir dari Perang Saudara China dan Sejarah Berdirinya Taiwan

Puluhan tahun kemudian, China terus berupaya menarik masuk Taiwan karena menganggap pulau yang diperintah secara demokratis itu termasuk bagian wilayah mereka.

Namun, banyak orang Taiwan tidak setuju. Mereka merasa pada dasarnya memiliki negara yang terpisah, terlepas dari apakah kemerdekaannya sudah secara resmi dideklarasikan atau tidak.

Melansir BBC pada 26 Mei 2021, berikut adalah sejarah berdirinya Taiwan mulai akhir dari Perang Saudara China

Asal penduduk Taiwan

Pemukim pertama yang diketahui di Taiwan adalah orang-orang suku Austronesia, yang diperkirakan berasal dari China selatan modern.

Pulau ini tampaknya pertama kali muncul dalam catatan China pada 239 M ketika seorang kaisar mengirim pasukan ekspedisi untuk menjelajahi daerah tersebut.

Hal itulah yang kemudian digunakan Beijing untuk mendukung klaim teritorialnya.

Setelah pendudukan Belanda yang relatif singkat (1624-1661), Taiwan diperintah oleh dinasti Qing China dari 1683 hingga 1895.

Sejak abad ke-17, sejumlah besar migran mulai berdatangan dari China, yang sering kali melarikan diri dari kekacauan atau kesulitan.

Kebanyakan dari mereka adalah orang China Hoklo dari provinsi Fujian (Fukien) atau China Hakka, sebagian besar dari Guangdong.

Keturunan dari kedua migrasi ini sekarang merupakan kelompok demografis terbesar di Taiwan.

Akan tetapi setelah Perang Dunia II, Jepang menyerah dan melepaskan kendali atas wilayah yang telah diambilnya dari China itu.

Republik China sebagai salah satu pemenang perang, akhirnya mulai memerintah Taiwan dengan persetujuan sekutunya, yaitu Amerika Serikat (AS) dan Inggris.

Terjadinya Perang Saudara China

Namun, dalam beberapa tahun berikutnya Perang Saudara China terjadi.

Dikutip dari Encyclopaedia Britannica, kekalahan Jepang memicu persaingan antara Nasionalis Kuomintang dan Komunis untuk mengendalikan sumber daya vital, serta pusat populasi di China utara juga Manchuria.

Pasukan nasionalis yang menggunakan fasilitas transportasi militer AS, mampu mengambil alih kota-kota utama dan sebagian besar jalur kereta api di China Timur dan Utara.

Sementara itu, pasukan Komunis menduduki sebagian besar pedalaman di utara dan di Manchuria.

Nasionalis dan Komunis sempat akan berdamai sebelum penyerahan Jepang diselesaikan.

Pemimpin Nasionalis Chiang Kai-shek mengeluarkan serangkaian undangan kepada pemimpin Komunis Mao Zedong untuk bertemu dengannya di Chongqing, guna membahas penyatuan kembali dan pembangunan kembali negara itu.

Tanggal 10 Oktober 1945, kedua pihak mengumumkan bahwa mereka pada prinsipnya telah mencapai kesepakatan memperjuangkan China yang bersatu dan demokratis.

Sepasang komite akan dibentuk untuk menangani isu-isu militer dan politik yang belum diselesaikan oleh kesepakatan kerangka awal, tetapi pertempuran serius antara pemerintah dan pasukan Komunis pecah sebelum badan-badan itu dapat bertemu.

Penarikan pasukan pendudukan Soviet pada Maret–April 1946 juga memicu perebutan wilayah.

Pasukan nasionalis menduduki Mukden (Shenyang) pada 12 Maret, sementara Komunis mengonsolidasikan cengkeraman mereka di seluruh Manchuria utara.

Pasukan Nasionalis Kuomintang (KMT) yang dipimpin Chiang Kai-shek pada akhirnya dipukul mundur oleh tentara Komunis arahan Mao Zedong.

Chiang dan sisa pemerintahannya lalu melarikan diri ke Taiwan pada 1949. Kelompok ini kemudian berkembang menjadi 1,5 juta orang, mendominasi politik Taiwan selama bertahun-tahun, meskipun mereka hanya menyumbang 14 persen populasi.

Putra Chiang Kai-shek, Chiang Ching-kuo, mulai mengizinkan proses demokratisasi setelah menghadapi perlawanan dari masyarakat lokal yang membenci pemerintahan otoriter, dan di bawah tekanan dari gerakan demokrasi yang semakin berkembang.

Presiden Lee Teng-hui, yang dikenal sebagai Bapak Demokrasi Taiwan, memimpin perubahan konstitusional menuju politik yang lebih demokratis, dan akhirnya mengarah pada terpilihnya presiden non-KMT pertama di pulau itu, Chen Shui-bian, tahun 2000.

China menganggap Taiwan sebagai provinsi yang memisahkan diri dan bersumpah akan merebutnya kembali, dengan paksa jika perlu.

Akan tetapi, para pemimpin Taiwan mengatakan, wilayah mereka jelas lebih dari sekadar provinsi dan memiliki alasan sebagai negara berdaulat.

Taiwan memiliki konstitusinya sendiri, para pemimpin yang dipilih secara demokratis, dan sekitar 300.000 tentara aktif dalam angkatan bersenjatanya.

Pemerintah Republik China Chiang Kai-shek, yang melarikan diri dari daratan utama ke Taiwan pada 1949, awalnya mengeklaim mewakili seluruh China, yang dimaksudkan untuk diduduki kembali.

Taiwan saat itu memegang kursi China di Dewan Keamanan PBB dan diakui oleh banyak negara Barat sebagai satu-satunya Pemerintah China.

Namun, pada tahun 1971 PBB mengalihkan pengakuan diplomatik ke Beijing dan pemerintah Republik China dipaksa keluar.

Sejak itu jumlah negara yang mengakui pemerintah Republik China secara diplomatis turun drastis menjadi sekitar 15 negara.

Mengingat perbedaan besar antara dua posisi ini, sebagian besar negara lain tampaknya tidak ambil pusing dengan ambiguitas sekarang.

Taiwan pun tetap memiliki hampir semua syarat untuk menjadi negara merdeka, bahkan jika status hukumnya masih belum jelas.

https://internasional.kompas.com/read/2021/11/30/114334970/akhir-dari-perang-saudara-china-dan-sejarah-berdirinya-taiwan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke