Salin Artikel

6 Insiden Perang Dingin yang Nyaris Jadi Perang Dunia III

KOMPAS.com – Selama Perang Dingin, Blok Barat pimpinan Amerika Serikat (AS) dan Blok Timur pimpinan Uni Soviet saling bersaing dalam berbagai hal.

Banyak pihak meyakini Perang Dingin dimulai tak lama setelah Perang Dunia II yakni pada 1947 dan berakir pada 1991 saat keruntuhan Uni Soviet.

Selama Perang Dingin, persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur terjadi dalam berbagai aspek seperti ekonomi, teknologi, perlombaan senjata, hingga persaingan luar angkasa.

Apalagi, kedua belah pihak mengembangkan senjata nuklirnya masing-masing dan berpotensi terjadi perang nuklir dan Perang Dunia III.

Kala itu, dunia khawatir jika pertempuran benar-benar meletus, Blok Barat dan Blok Timur tak akan segan menggunakan kekuatan nuklirnya yang memiliki efek destruktif yang mengerikan.

Sepanjang Perang Dingin, Blok Barat dan Blok Timur hampir saja terjerumus ke dalam pertempuran berskala besar.

Berikut enam insiden yang hampir menjerumuskan Perang Dingin menjadi Perang Dunia III.

Krisis Rudal Kuba terjadi pada 1962. Krisis ini merupakan ketegangan antara AS dan Uni Soviet di mana kedua belah pihak unjuk kekuatan rudal dalam Perang Dingin.

Peristiwa ini berlangsung antara 16 Oktober 1962 hingga 20 November 1962.

Peristiwa ini tak lepas setelah Revolusi Kuba pada 1959 di mana pemimpin Revolusi Kuba, Fidel Castro, bersekutu dengan Uni Soviet.

Kala itu, AS menempatkan rudal berkekuatan nuklir di Italia dan Turki. Uni Soviet membalas dengan menempatkan rudal serupa di Kuba.

Ancaman itu membuat orang-orang AS membangun tempat perlindungan di halaman belakang rumah mereka.

Hal ini memicu krisis yang membawa kedua negara ke ambang pertempuran fisik dan perang rudal, bahkan Perang Dunia III.

Ketegangan memuncak pada 24 Oktober 1962. Kala itu, kapal-kapal Uni Soviet menuju Kuba dan mendekati armada AS yang sedang melakukan blokade.

Apabila kapal-kapal Uni Soviet menembus blokade tersebut, perang nuklir sangat mungkin terjadi. Beruntungnya kapal-kapal Uni Soviet tak menembus barisan blokade.

Krisis Kuba akhirnya tak menjadi perang nuklir habis-habisan, atau Perang Dunia III, setelah AS menyetujui tawaran pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev.

Khrushchev berjanji akan menyingkirkan rudalnya dari Kuba asalkan AS setuju untuk tidak menyerang Kuba dan melucuti instalasi rudal mereka di Turki.

Pada 27 Oktober 1962, tepat ketika Krisis Rudal Kuba mencapai titik didihnya, sebuah pesawat mata-mata U-2 AS lepas landas dari Alaska.

Pesawat tersebut dalam perjalanan ke misi pengintaian rutin di dekat Kutub Utara. Pilot pesawat, Charles Maultsby seharusnya bernavigasi dengan panduan bintang-bintang di langit sebagai penunjuk arah.

Tetapi di tengah perjalanan, pandangannya terhadap langit malam menjadi sangat kabur oleh cahaya aurora borealis, atau "cahaya utara".

Tanpa bisa melihat bintang-bintang untuk membimbingnya, Maultsby menyimpang jauh dan secara tidak sengaja melintasi perbatasan ke Uni Soviet.

Karena situasi di Kuba berada di ujung tanduk, jalan memutar yang tidak disengaja dari Maultsby membawa konsekuensi yang mungkin menjadi bencana.

Uni Soviet mendeteksi adanya pesawat tersebut. Mereka khawatir U-2 adalah pesawat pengebom.

Uni Soviet lantas mengerahkan beberapa jet tempur MiG dengan misi menghancurkan pesawat AS tersebut.

Angkatan Udara AS juga merespons dengan mengirimkan dua F-102 yang dipersenjatai rudal berhulu ledak nuklir demi menggiring Maultsby dan pesawatnya kembali ke Alaska.

Beruntungnya, Maultsby bisa membawa U-2-nya keluar dari wilayah udara Uni Soviet sebelum dia bisa dicegat MiG Uni Soviet.

Bertepatan dengan Krisis Kuba juga, sebuah insiden kecil terjadi di atas kapal selam Uni Soviet yang berpotensi memecahkan Perang Dingin menjadi Perang Dunia III.

Pada 27 Oktober 1962, puncak Krisis Rudal Kuba, kapal perusak AS USS Beale mulai menjatuhkan senjata anti-kapal selam di dekat kapal selam Uni Soviet B-59 yang bersenjata nuklir.

Kapal selam tersebut bersembunyi di dekat garis blokade AS di sekitar Kuba.

Senjata kapal selam tersebut sebenarnya merupakan peringatan tidak mematikan yang dimaksudkan untuk memaksa B-59 muncul ke permukaan.

Tetapi, kapten kapal selam B-59 mengira senjata tersebut sebagai bahan peledak langsung.

Sang kapten dengan marah memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan torpedo berhulu ledak nuklir dan bersiap untuk menyerang.

Tetapi komandan kedua B-59, Vasili Arkhipov, menolak untuk memberikan persetujuannya.

Setelah menenangkan kapten, Arkhipov dengan tenang meyakinkan rekan-rekannya untuk membawa B-59 ke permukaan dan meminta perintah baru dari Moskwa.

Kapal selam itu akhirnya kembali ke Uni Soviet tanpa insiden yang berujung petaka. Lebih dari 40 tahun kemudian, cerita tersebut akhirnya terungkap.

Pada akhir 1970-an, baik AS maupun Uni Soviet mengandalkan sistem komputer untuk mendeteksi kemungkinan serangan nuklir.

Namun, penggunaan komputer rupanya mendatangkan dengan serangkaian risiko baru dalam bentuk alarm dan gangguan palsu.

Yang paling terkenal dari kesalahan tersebut terjadi di Komando Pertahanan Dirgantara Amerika Utara Colorado, atau NORAD.

Pagi hari tanggal 9 November 1979, teknisi di lokasi tersebut menerima peringatan darurat bahwa Uni Soviet telah meluncurkan rentetan rudal ke Amerika Utara.

Yakin bahwa serangan nuklir akan segera terjadi, program pertahanan udara AS mengerahkan 10 pesawat tempur pencegat.

Komando juga memerintahkan “pesawat kiamat” presiden AS untuk lepas landas dan memperingatkan kontrol peluncuran untuk mempersiapkan rudal sebagai serangan balasan.

Kepanikan segera mereda setelah NORAD mengkroscek dengan data satelitnya dan menyadari bahwa peringatan nuklir tidak lebih dari sekadar alarm palsu.

Setelah diperiksa lebih lanjut, mereka menemukan bahwa seorang teknisi secara tidak sengaja menjalankan program pelatihan yang menyimulasikan serangan Uni Soviet ke AS.

Insiden itu membuat komunitas internasional terkejut karena hampir saja Perang Dunia III pecah.

Pemimpin Uni Soviet kala itu, Leonid Brezhnev, bahkan menulis surat kepada Presiden AS Jimmy Carter dan menyatakan adanya bahaya luar biasa yang disebabkan oleh kesalahan tersebut.

Pada 26 September 1983, Letnan Kolonel Stanislav Petrov memimpin Serpukhov-15, sebuah bunker tempat Uni Soviet memantau sistem deteksi berbasis satelit.

Tak lama setelah tengah malam, kepanikan pecah ketika alarm berbunyi menandakan bahwa AS telah menembakkan lima Rudal Balistik Antar-benua (ICBM) ke arah Rusia.

Peringatan itu rupanya alarm palsu. Salah satu satelit Uni Soviet ternyata salah mengartikan kilatan sinar matahari dari awan di dekat Montana sebagai peluncuran rudal.

Protokol yang ada menuntut agar Serpukhov-15 melaporkan tanda-tanda peluncuran rudal ke komando tinggi Uni Soviet. Tetapi, Petrov memiliki firasat bahwa peringatan itu salah.

Dia tahu sistem satelit baru itu rawan membuat kesalahan. Dia juga berpendapat bahwa setiap serangan nuklir dari AS pasti datang dalam bentuk ratusan rudal, bukan hanya lima.

Dengan hanya beberapa menit untuk membuat keputusan, Petrov memilih untuk mengabaikan alarm peringatan tersebut dan melaporkan peluncuran itu sebagai alarm palsu.

Dan ternyata benar bahwa itu adalah alarm palsu. Kecermatan dan langkah yang diambil Petrov telah mencegah Perang Dunia III pecah.

Insiden itu dirahasiakan Uni Soviet sampai setelah Perang Dingin berakhir. Setelah itu, Petrov menerima beberapa penghargaan kemanusiaan untuk tindakannya yang luar biasa, dan bahkan dihormati oleh PBB.

Meskipun tidak diketahui secara luas pada saat itu, dokumen-dokumen pemerintah kini tidak lagi dirahasiakan mengungkapkan bahwa latihan perang NATO pada November 1983 hampir membuat Perang Dunia III pecah.

Sumber kesalahpahaman tersebut adalah latihan yang dikenal sebagai Able Archer 83.

Latihan itu menyimulasikan bagaimana serangan konvensional Uni Soviet ke Eropa akan dibalas oleh serangan nuklir AS.

Simulasi semacam itu tidak jarang terjadi selama Perang Dingin, tetapi misi Able Archer 83 berbeda dari protokol biasa, baik dalam ruang lingkup dan kenyataannya.

Dalam persiapan latihan perang tersebut, AS menerbangkan 19.000 tentara ke Eropa, mengubah status siaganya menjadi DEFCON 1 dan memindahkan perintah tertentu ke lokasi alternatif—semua langkah yang hanya akan diambil pada saat perang.

Bagi Uni Soviet, manuver ini sangat sesuai dengan prediksi mereka tentang bagaimana AS akan mengatur siasat untuk serangan nuklir.

Di sisi lain, Uni Soviet juga sadar dan mengetahui adanya latihan perang dari NATO.

Jadi, Uni Soviet juga waspada bahwa itu bisa saja hanya tipu muslihat untuk menutupi persiapan serangan dunia nyata.

Tanpa sepengetahuan AS, Uni Soviet menerapkan siaga tinggi dan menyiapkan persenjataan nuklir mereka.

Beberapa unit militer di Jerman Timur dan Polandia bahkan mempersiapkan jet tempur mereka untuk lepas landas.

Mereka siap untuk melakukan serangan balik sampai 11 November, ketika latihan Able Archer 83 berakhir tanpa insiden.

Bertahun-tahun kemudian, NATO dan AS menyadari bahwa simulasi perang realistis mereka hampir mengarah pada Perang Dunia III.

https://internasional.kompas.com/read/2021/11/27/140200070/6-insiden-perang-dingin-yang-nyaris-jadi-perang-dunia-iii

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke