Salin Artikel

Akar Konflik China-Taiwan

KOMPAS.com – Hingga hari ini, Taiwan dan China masih terlibat dalam suasana yang penuh ketegangan dan akar konflik kedua negara sudah ada berpupuluh-puluh tahun lalu.

Selama beberapa bulan terakhir, Taiwan mengeluhkan kehadiran pesawat-pesawat China di zona identifikasi pertahanan udaranya.

China selalu mengeklaim Taiwan adalah bagian dari wilayahnya. Sedangkan Taiwan berkukuh memiliki pemerintahan sendiri.

Akar konflik China dan Taiwan bisa ditarik ke belakang sejak pecahnya Revolusi China pada 1911.

Paham-paham nasionalisme, demokrasi, dan komunisme mulai masuk di kawasan Asia pada akhir abad ke-19 Masehi.

Kehadiran paham-paham tersebut menimbulkan semangat kebangkitan melawan feodalisme dan penjajahan serta pergolakan sosial dan politik di negara-negara Asia, termasuk China.

Di China, muncul tokoh bernama Sun Yat Sen. Dia punya ajaran bernama San Min Chu I alias 3 Asas Rakyat.

Ajaran San Min Chu I berisi nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Dalam ajarannya, dia bercita-cita membentuk Republik China yang diperintah dengan demokratis.

Selain itu, Sun Yat Sen juga menginisasi berdirinya partai Kuomintang. Kala itu, China daratan masih dikuasai oleh Dinasti Qing sedangkan Taiwan masih berada di bawah cengkeraman Jepang.

Pada 1911, setelah berbagai perjuangan, Revolusi China pecah. Ini dimulai dengan pemberontakan-pemberontakan oleh kaum revolusioner melawan pasukan Dinasti Qing.

Pasukan revolusi akhirnya berhasil menggulingkan Dinasti Qing pada Desember 1911.

Pada Januari 1912, Sun Yat Sen diangkat menjadi presiden sementara Republik China di Nanking oleh pasukan revolusioner.

Setelah runtuh, Dinasti Qing resmi menyerahkan kedaulatan kepada Republik China pada 12 Februari 1912.

Demi menghindari pertumpahan darah lanjutan, Sun Yat Sen mengundurkan diri sebagai presiden sementara dan digantikan oleh Yuan Shih Kai pada 15 Februari 1912.

Namun, pergolakan politik di China daratan tak berhenti sampai di situ hingga akhirnya, partai Komunis China atau Kungchantang lahir pada 1921.

Setelah Kungchantang berdiri, Kuomintang memiliki saingan. Kedua partai ini saling bersaing untuk menyebarkan ideologi di China daratan.

Sun Yat Sen wafat pada 1925 dan tongkat kepemimpinan Kuomintang diambil alih Jenderal Chiang Kai-Shek.

Beberapa tahun setelah itu, Chiang Kai-Shek mulai menyingkirkan tokoh-tokoh komunis dengan membunuh para petinggi Kungchantang.

Pada 1 Agustus 1927, Kungchantang alias Partai Komunis melancarkan pemberontakan di Nanchang.

Konflik ini berubah menjadi Perang Saudara China fase kedua dan mengarah pada pembentukan Tentara Merah. Pada tahun itu pula, Mao Zedong terpilih sebagai ketua Kungchantang.

Pada fase pertama Perang Saudara China ini, Kungchantang kewalahan. Mao Zedong dan pengikutnya bersembunyi di pedalaman sambil melancarkan perang gerilya.

Perang Dunia II

Perang Saudara China fase pertama terhenti pada 1937 ketika Jepang menginvasi “Negeri Panda” dan pecahlah Perang China-Jepang II.

Dua tahun kemudian, atau tepatnya 1939, Perang Dunia II pecah.

Selama Perang China-Jepang II, China secara efektif dibagi menjadi tiga wilayah yaitu wilayah China nasionalis di bawah kendali pemerintah Republik China, wilayah China komunis di bawah Kungchantang, dan wilayah yang diduduki Jepang.

Kubu China nasionalis dan komunis pada dasarnya saling bermusuhan, meski pasukan militernya seolah-olah bersekutu di bawah panji Front Persatuan.

Selama Perang Dunia II, pada 1943, pemimpin Republik China Chiang Kai-shek bertemu dengan Presiden AS Franklin Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill di Kairo, Mesir.

Dalam pertemuan itu, tercetuslas Deklarasi Kairo yang menyatakan bahwa Taiwan dan Kepulauan Penghu akan dikembalikan ke Republik China.

Perang Saudara China fase kedua

Pada 1945, Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jerman dan Jepang. Jepang menyerah dan menerima persyaratan penyerahan Deklarasi Potsdam pada 14 Agustus 1945.

Tak lama setelah itu, Perang Saudara China kembali pecah dan dilanjutkan fase kedua.

Kubu China nasionalis Kuomintang di bawah kepemimpinan Chiang Kai-shek dan kubu China komunis Kungchantang dikomandoi Mao Zedong kembali bertempur.

Dari Agustus 1945 hingga akhir 1946, kubu nasionalis dan komunis berlomba-lomba mengambil alih wilayah yang dikuasai Jepang.

Mereka membangun kekuatan mereka dan melakukan banyak pertempuran terbatas sambil tetap melakukan negosiasi untuk penyelesaian damai.

Selama 1947 dan paruh pertama 1948, setelah kubu nasionalis berhasil di awal-awal, situasi justru berbalik dan kubu komunis meraih kemenangan demi kemenangan.

Kubu komunis akhirnya memenangi serangkaian kemenangan besar yang dimulai pada akhir 1948 yang mengarah pada berdirinya Republik Rakyat China.

Pada 1949, sekitar dua juta pendukung Republik China dan Kuomintang yang dipimpin Chiang Kai-shek melarikan diri ke Taiwan.

Mereka mendirikan sebuah pemerintahan yang terpisah setelah kalah perang sipil menghadapi kubu komunis pimpinan Mao Zedong.

Pada 1 Oktober, Mao Zedong mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat China di China daratan.

Pengumuman tersebut sekaligus mengakhiri Perang Saudara China fase kedua.

Setelah pendukung Republik China dan Kuomintang pergi dari China daratan, Chiang Kai-shek akhirnya memerintah Taiwan dan mendeklarasikan darurat militer di sana.

Pada 25 Oktober 1971, Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 2758 PBB yang mengakui Republik Rakyat China sebagai satu-satunya perwakilan sah China di badan global tersebut.

Taiwan lantas menarik diri dari PBB.

Pada 1972, lewat Komunike Bersama, AS mengakui pemerintahan China daratan yang dikuasai oleh Partai Komunis dan Taiwan adalah bagian dari China.

Chiang Kai-shek meninggal pada 1975 dan kepemimpin atas Taiwan diteruskan oleh putranya, Chiang Ching-kuo pada 1978.

Pada 1979, AS tetap menjalin hubungan dengan Taiwan melalui Undang-Undang Hubungan Taiwan.

Pada 1987, Chiang Ching-kuo mencabut status darurat militer yang telah berlaku selama 38 tahun, enam bulan sebelum kematiannya pada tahun berikutnya.

Lee Teng-hui, wakil Chiang Ching-kuo, menggantikannya pada 1988. Dan pada 1980-an sampai 199-an, Taiwan bertransformasi dari pemerintahan otoriter menjadi demokratis.

Hubungan antara China dan Taiwan mulai membaik pada 1980-an.

China mengajukan formula yang dikenal sebagai "satu negara, dua sistem" di mana Taiwan akan diberikan otonomi jika menerima reunifikasi dengan China.

Sistem tersebut didirikan di Hong Kong untuk digunakan sebagai semacam “pajangan” untuk menarik orang Taiwan kembali ke pangkuan China daratan.

Taiwan menolak tawaran itu, tetapi melonggarkan aturan tentang kunjungan dan investasi di China. Pada 1991, Taiwan menyatakan perang dengan Republik Rakyat Cina akan berakhir.

Pada 1992, tercapailah konsensus antara China yang dipimpim Partai Komunis dengan Taiwan yang masih dipimpin Kuomintang.

Dalam konsensus tersebut, China dan Taiwan menyepakati “satu China” meski masing-masing pihak memiliki penafsiran berbeda.

Hubungan “diplomatik” antara China daratan dengan Taiwan akhirnya secara resmi dimulai.

Pada 2000, Chen Shui-bian dari Partai Demokratik Progresif (DPP) yang pro-kemerdekaan, terpilih sebagai Presiden Taiwan.

Kemenangan Chen Shui-bian mengakhiri dominasi Kuomintang di Taiwan selama 51 tahun. Ideoligi DPP yang keras soal kemerdekaan membuat hubungan Taiwan dengan China menjadi tegang.

Namun, serangkaian skandal korupsi yang melibatkan Chen Shui-bian, keluarganya, dan anggota senior DPP telah mencoreng citra partai.

Hal tersebut menjadi penyebab utama kekalahannya pada pemilihan presiden pada Maret 2008 sebagaimana dilansir Antara.

Angin perubahan terjadi setelah Ma Ying-jeou dari Kuomintang meraih kemenangan. Hubungan antara Taiwan dan China membaik secara dramatis sejak Ma Ying-jeou menjabat presiden.

Sebagai dampaknya, penerbangan langsung antara kedua wilayah itu pun diluncurkan dan diikuti dengan langkah-langkah untuk meningkatkan sektor pariwisata.

Selain itu, ditandatangani Perjanjian Kerjasama Kerangka Ekonomi pada 2010 untuk mengurangi hambatan komersial.

Namun, sentimen publik justru berbalik melawan Kuomintang karena khawatir dengan semakin dominannya pengaruh China.

Pada musim semi 2014, sekitar 200 mahasiswa menduduki parlemen selama lebih dari tiga pekan yang dikenal sebagai Gerakan Bunga Matahari untuk menentang pakta perdagangan yang kontroversial.

Kuomintang menderita kekalahan terburuk dalam pemilu lokal pada November 2014 dan terpaksa untuk mengganti calon presiden mereka pada Oktober 2015 akibat pandangan yang terlalu pro-China.

Kemudian pada 2016, presiden Taiwan saat ini, Tsai Ing-wen, terpilih. Dia memimpin DPP yang condong ke arah kemerdekaan resmi dari China.

Sejak Tsai Ing-wen menjadi Presiden Taiwan, hubungan Taipei dengan Beijing kembali memanas.

Terbaru, beberapa bulan terakhir, Taiwan mengeluhkan kehadiran pesawat-pesawat China di zona identifikasi pertahanan udaranya.

Hingga saat ini, China masih menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya berdasarkan konsep “satu China”.

https://internasional.kompas.com/read/2021/11/26/140100470/akar-konflik-china-taiwan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke