Salin Artikel

Sejarah Berdirinya NATO, Prinsip, dan Tujuan

KOMPAS.com – Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau North Atlantic Treaty Organization (NATO) adalah aliansi militer yang didirikan pada 4 April 1949.

Latar belakang sejarah dibentuknya NATO tak terlepas dari persaingan blok Barat dengan Uni Soviet pasca-Perang Dunia II.

Negara-negara pendiri NATO alias angota awal NATO adalah Belgia, Kanada, Denmark, Perancis, Islandia, Italia, Luksemburg, Belanda, Norwegia, Portugal, Inggris, dan Amerika Serikat (AS).

Gagasan awal pembentukan NATO dicetuskan oleh Inggris dan Perancis yang khawatir akan ketegangan politik pada awal Perang Dingin.

Di sisi lain, AS dan negara-negara Eropa khawatir akan adanya ambisi ekspansi Uni Soviet di Eropa Timur.

Sejarah NATO

Setelah Perang Dunia II pada 1945, perekonomian Eropa Barat runtuh dan militernya lemah. Di sisi lain, berbagai partai baru berhaluan komunis yang kuat bermuncul di Perancis dan Italia.

Sebaliknya, Uni Soviet keluar dari Perang Dunia II sebagai pemenang yang masih perkasa. Pasukan Uni Soviet mendominasi semua negara bagian Eropa tengah dan timur.

Pada 1948, komunis di bawah sponsor Uni Soviet mengkonsolidasikan kendali mereka atas pemerintah negara-negara di wilayah Eropa tengah dan timur, dan menekan semua aktivitas politik non-komunis.

Mantan Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill, menyebut wilayah-wilayah yang "dikuasai" Uni Soviet tersebut diperintah dengan Tirai Besi.

Di satu sisi, kerja sama semasa Perang Dunia II antara Blok Sekutu wilayah barat dengan Uni Soviet telah benar-benar rusak sebagaimana dilansir Britannica.

Masing-masing pihak mengatur sektornya sendiri. Jerman terbagi menjadi dua: Jerman Barat berhaluan demokratis dan Jerman Timur berhaluan komunis.

Pada 1948, AS meluncurkan Marshall Plan yang berisi penyaluran bantuan ekonomi dalam skala besar ke negara-negara Eropa barat dan selatan.

Syaratnya, mereka harus saling bekerja sama dan terlibat dalam perencanaan bersama untuk mempercepat pemulihan bersama mereka.

Sementara itu, Eropa juga mengonsolidasikan pemulihan militer sendiri di bawah Traktat Brussel pada 1948 yang melibatkan Inggris, Perancis, Belgia, Belanda, dan Luksemburg.

Mereka membuat perjanjian pertahanan kolektif yang disebut Uni Eropa Barat.

Akan tetapi, mereka langsung sadar bahwa mereka butuh aliansi yang lebih tangguh untuk memberikan penyeimbang militer yang memadai dari ancaman Uni Soviet.

Setelah itu, Inggris, Kanada, dan AS terlibat dalam pembicaraan rahasia tentang aliansi pertahanan dan keamanan yang berfungsi sebagai alternatif dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pada Maret 1948, sebulan setelah kudeta komunis di Cekoslowakia pada Februari, Inggris, Kanada, dan AS pemerintah memulai diskusi tentang skema pertahanan kolektif multilateral.

Skema tersebut bertujuan meningkatkan keamanan Barat. Pembicaraan-pembicaraan itu akhirnya diikuti oleh Perancis, Belgia, Belanda, Luksemburg, dan Norwegia.

Pada April 1949 disepakatilah Perjanjian Atlantik Utara dan terciptalah NATO. Inti dari NATO disebut-sebut tertuang dalam Pasal 5 Perjanjian Atlantik Utara.

Pasal Pasal 5 Perjanjian Atlantik Utara berbunyi:

“Para anggota setuju bahwa sebuah serangan bersenjata terhadap salah satu atau lebih dari mereka di Eropa maupun di Amerika Utara akan dianggap sebagai serangan terhadap semua anggota. Selanjutnya mereka setuju bahwa, jika serangan bersenjata seperti itu terjadi, setiap anggota, dalam menggunakan hak untuk mepertahankan diri secara pribadi maupun bersama-sama seperti yang tertuang dalam Pasal ke-51 dari Piagam PBB, akan membantu anggota yang diserang jika penggunaan kekuatan semacam itu, baik sendiri maupun bersama-sama, dirasakan perlu, termasuk penggunaan pasukan bersenjata, untuk mengembalikan dan menjaga keamanan wilayah Atlantik Utara.”

Pasal ini diberlakukan agar jika Uni Soviet melancarkan serangan terhadap salah satu sekutu NATO, hal tersebut akan dianggap sebagai serangan terhadap seluruh anggota NATO, termasuk AS.

Sejak didirikan, tujuan utama NATO adalah untuk menyatukan dan memperkuat militer Barat terhadap kemungkinan invasi Uni Soviet ata sekutunya, Pakta Warsawa, selama Perang Dingin.

Pada awal 1950-an NATO mengandalkan AS dalam bidang persenjataan nuklir untuk melawan ancaman Uni Soviet yang makin berkembang.

Mulai 1957, AS menyebarkan senjata-senjata nuklirnya di pangkalan-pangkalan Eropa Barat.

NATO kemudian mengadopsi strategi "respons fleksibel", yang ditafsirkan oleh AS sebagai perang di Eropa tidak harus meningkat menjadi perang nuklir habis-habisan.

Di bawah strategi ini, banyak pasukan Sekutu dilengkapi dengan persenjataan AS.

Namun, senjata nuklir ditempatkan di bawah sistem kontrol ganda. Hal ini memungkinkan negara yang menampung senjata nuklir dari AS memveto penggunaannya.

Inggris mempertahankan kendali atas persenjataan nuklir strategisnya tetapi membawanya ke dalam struktur perencanaan NATO. Di satu sisi, kekuatan nuklir milik Perancis masih sepenuhnya otonom.

Kebuntuan konvensional dan nuklir antara NATO dan Pakta Warsawa berlanjut melalui pembangunan Tembok Berlin pada awal 1960-an, détente pada 1970-an, dan kebangkitan ketegangan Perang Dingin pada 1980-an setelah invasi Uni Soviet ke Afghanistan 1979.

Namun, setelah 1985, reformasi ekonomi dan politik yang luas yang diperkenalkan oleh pemimpin Uni Soviet kala itu, Mikhail Gorbachev, secara fundamental mengubah status quo.

Pada Juli 1989, Gorbachev mengumumkan bahwa Uni Soviet tidak akan lagi menopang pemerintah komunis di Eropa tengah dan timur.

Keputusan tersebut, secara diam-diam sama saja mengisyaratkan penerimaan penggantian pemerintahan yang dipilih secara bebas.

Hilangnya kendali Moskwa atas Eropa tengah dan timur berarti hilangnya sebagian besar ancaman militer yang sebelumnya dari Pakta Warsawa ke Eropa barat.

Pada Oktober 1990, terjadi penyatuan kembali atau reunifikasi Jerman.

Beberapa orang lantas mempertanyakan perlunya mempertahankan NATO sebagai organisasi militer, terutama setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991 dan Pakta Warsawa di tahun yang sama.

Hal tersebut menciptakan kebutuhan dan peluang bagi NATO untuk diubah menjadi aliansi yang lebih “politis” yang ditujukan untuk menjaga stabilitas internasional di Eropa.

Prinsip dan Tujuan NATO

Dilansir dari situs resmi NATO, jumlah anggota NATO saat ini sebanyak 30 negara yang berada di di Eropa dan Amerika Utara.

Ke-30 negara tersebut adalah Albania, Belgia, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Perancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Italia, Latvia, Lituania, Luksemburg, Montenegro, Belanda, Makedonia Utara, Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Turki, Inggris, AS.

Struktur organisasi NATO terdiri atas Delegasi NATO dan Dewan Perwakilan Militer.

Pada perkembangannya, NATO memiliki partner countries untuk bekerja sama dalam menghadapi tantangan dan permasalahan pertahanan dan keamanan internasional.

Partner countries merupakan negara-negara dan organisasi internasional yang bekerja sama dengan NATO dengan status sebagai non-anggota.

Terdapat empat prinsip dasar organisasi NATO, yaitu:

  • Demokrasi: dalam menjalankan organisasi, NATO menerapkan sistem yang demokratis dalam setiap pengambilan keputusan.
  • Kebebasan: NATO berkomitmen untuk menghargai seluruh kebebasan negara-negara anggota.
  • Solidaritas: NATO selalu menjaga solidaritas untuk negara-negara anggota dalam menghadapi permasalahan.
  • Translantik link: membentuk hubungan keamanan antara negara-negara kawasan Atlantik Utara.

Setelah Perang Dingin, NATO disusun kembali sebagai organisasi “keamanan-kooperatif” yang mandatnya mencakup dua tujuan utama.

Pertama, mendorong dialog dan kerja sama dengan mantan musuh dalam Pakta Warsawa. Kedua, “menangani” konflik di wilayah pinggiran Eropa, seperti Balkan.

https://internasional.kompas.com/read/2021/11/24/115800870/sejarah-berdirinya-nato-prinsip-dan-tujuan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke