Salin Artikel

Sejarah Penyakit Jantung

KOMPAS.com - Penyakit jantung adalah pembunuh nomor satu pria dan wanita di AS.

Dilansir Healthline, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS, memperkirakan bahwa penyakit jantung menyebabkan sekitar 1 dari 4 kematian setiap tahun.

Sekitar 735.000 orang di AS mengalami serangan jantung setiap tahun.

Beberapa faktor genetik berkontribusi terhadap penyakit jantung, tetapi penyakit ini sebagian besar disebabkan kebiasaan dan gaya hidup yang buruk.

Mulai dari pola makan yang buruk, kurang olahraga secara teratur, merokok tembakau, penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan, dan stres yang tinggi.

Pertanyaannya, apakah penyakit ini selalu menjangkiti umat manusia ataukah gaya hidup modern yang harus disalahkan?

Masih dilansir Healthline, inilah sejarah penyakit jantung mungkin bisa membantu menemukan jawabannya.

Penemuan Penyakit Jantung Tertua

Pada pertemuan American Heart Association 2009 di Florida, para peneliti mempresentasikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa mumi Mesir, berusia sekitar 3.500 tahun, memiliki bukti penyakit kardiovaskular, khususnya aterosklerosis, yang mempersempit arteri di berbagai arteri tubuh.

Firaun Merenptah, yang meninggal pada tahun 1203 SM, disebut terjangkit aterosklerosis. Dari mumi lain yang diteliti, 9 dari 16 juga memiliki bukti penyakit, dari yang masih kemungkinan hingga yang sudah pasti.

Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

Para peneliti berteori bahwa pola makan bisa mempengaruhi. Orang Mesir dengan "status tinggi", mungkin telah makan banyak daging berlemak dari sapi, bebek, dan angsa.

Di luar itu, penelitian tersebut memunculkan beberapa pertanyaan menarik dan telah mendorong para ilmuwan untuk melanjutkan pekerjaan mereka untuk sepenuhnya memahami kondisi tersebut.

“Temuan menunjukkan bahwa kita mungkin harus melihat melampaui faktor risiko modern untuk sepenuhnya memahami penyakit ini,” kata peneliti utama studi tersebut, profesor klinis kardiologi Dr Gregory Thomas.

Namun, diketahui bahwa Leonardo da Vinci (1452-1519) sempat menyelidiki arteri koroner.

William Harvey (1578–1657), dokter Raja Charles I, dikreditkan dengan penemuan bahwa darah bergerak ke seluruh tubuh dengan cara peredaran darah dari jantung.

Friedrich Hoffmann (1660-1742), kepala profesor kedokteran di University of Halle, kemudian mencatat bahwa penyakit jantung koroner dimulai dengan "berkurangnya aliran darah di dalam arteri koroner".

Masalah Angina

Angina atau sesak di dada, yang sering menjadi indikator penyakit jantung, sempat membingungkan banyak dokter di abad ke-18 dan ke-19.

Pertama kali dijelaskan pada tahun 1768 oleh William Heberden, angina diyakini banyak orang ada hubungannya dengan darah yang beredar di arteri koroner, meskipun yang lain menganggapnya sebagai kondisi yang tidak berbahaya.

William Osler (1849-1919), kepala dokter dan profesor kedokteran klinis di Rumah Sakit Johns Hopkins, bekerja secara ekstensif pada angina dan merupakan salah satu yang pertama menunjukkan bahwa itu adalah sindrom penyakit itu sendiri.

Kemudian, pada tahun 1912, ahli jantung Amerika James B. Herrick (1861-1954) menyimpulkan bahwa penyempitan bertahap arteri koroner dapat menjadi penyebab angina, menurut University of Minnesota.

Sejarah Deteksi Penyakit Jantung

Tahun 1900-an menandai periode meningkatnya minat, studi, dan pemahaman tentang penyakit jantung.

Pada tahun 1915, sekelompok dokter dan pekerja sosial membentuk organisasi bernama Association for the Prevention and Relief of Heart Disease di New York City.

Pada tahun 1924, beberapa grup asosiasi jantung menjadi American Heart Association Trusted Source.

Para dokter ini khawatir tentang penyakit itu karena mereka hanya tahu sedikit tentangnya.

Pasien yang biasanya mereka temui memiliki sedikit harapan untuk pengobatan atau kehidupan yang memuaskan.

Hanya beberapa tahun kemudian, dokter mulai bereksperimen dengan menjelajahi arteri koroner dengan kateter.

Ini nantinya akan menjadi kateterisasi jantung kiri (dengan angiogram koroner).

Saat ini, prosedur ini biasanya digunakan untuk mengevaluasi atau mengkonfirmasi keberadaan penyakit arteri koroner dan untuk menentukan perlunya perawatan lebih lanjut.

Baik dokter Portugis Egas Moniz (1874–1955) dan dokter Jerman Werner Forssmann (1904–1979) dikreditkan sebagai pelopor dalam bidang ini.

Pada tahun 1958, F. Mason Sones (1918–1985), seorang ahli jantung anak di Klinik Cleveland, mengembangkan teknik untuk menghasilkan gambar diagnostik berkualitas tinggi dari arteri koroner.

Tes baru membuat diagnosis yang akurat dari penyakit arteri koroner mungkin untuk pertama kalinya.

Pada tahun 1948, para peneliti di bawah arahan Institut Jantung Nasional (sekarang disebut Institut Jantung, Paru-Paru, dan Darah Nasional) memprakarsai Studi Jantung Framingham, studi besar pertama yang membantu memahami penyakit jantung.

Juga pada 1950-an, ilmuwan Amerika Ancel Keys (1904–2004) menemukan dalam perjalanannya bahwa penyakit jantung jarang terjadi di beberapa populasi Mediterania di mana orang mengonsumsi makanan rendah lemak.

Dia juga mencatat bahwa orang Jepang memiliki diet rendah lemak dan tingkat penyakit jantung yang rendah juga, membuatnya berteori bahwa lemak jenuh adalah penyebab penyakit jantung.

Perkembangan ini dan lainnya, termasuk hasil dari Framingham Heart Study, mengarah pada upaya pertama untuk mendesak orang Amerika mengubah pola makan mereka demi kesehatan jantung yang lebih baik.

Masa Depan Penyakit Jantung

Pada tahun 1960-an dan 1970-an, perawatan seperti operasi bypass dan angioplasti balon perkutan pertama kali digunakan untuk membantu mengobati penyakit jantung.

Pada 1980-an, penggunaan stent untuk membantu membuka arteri yang menyempit mulai digunakan.

Sebagai hasil dari kemajuan pengobatan ini, diagnosis penyakit jantung saat ini belum tentu merupakan hukuman mati.

Selain itu, pada tahun 2014, Scripps Research Institute melaporkan tes darah baru yang mungkin dapat memprediksi siapa yang berisiko tinggi untuk terjadinya serangan jantung.

Dokter juga ingin mengubah beberapa kesalahpahaman tentang diet rendah lemak. Hubungan antara lemak jenuh, lemak trans, dan penyakit jantung terus menjadi kontroversi.

Namun, sekarang diketahui bahwa beberapa lemak sebenarnya baik untuk jantung.

Lemak tak jenuh membantu mengurangi kadar kolesterol yang tidak diinginkan sekaligus meningkatkan kesehatan jantung secara keseluruhan.

https://internasional.kompas.com/read/2021/10/12/172215970/sejarah-penyakit-jantung

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke