Salin Artikel

Detik-detik Kejatuhan Diktator Filipina Ferdinand Marcos

KOMPAS.com - Sosok Ferdinand Marcos, presiden Filipina memang tak lepas dari kontroversi.

Kehancuran Filipina berada di tangannya, dan dia seolah mampu untuk tetap lolos dan melenggang tanpa batas, terus duduk di kursi empuk kekuasaannya.

Tapi, sejarah berkata lain. Pada 21 September 1972, setahun sebelum masa jabatannya berakhir, ia mengumumkan darurat militer.

Inilah cikal bakal kejatuhan Marcos yang termasyhur.

Seperti dikutip dari arsip The Washington Post, darurat militer diberlakukan Marcos dengan dalih serangan terhadap menteri pertahanannya, Juan Ponce Enrile.

Enrile diduga lolos dari cedera setelah disergap di mobilnya.

Meski faktanya, bertahun-tahun kemudian, Enrile, yang akhirnya memimpin pemberontakan yang menggulingkan Marcos, mengakui bahwa penyergapan itu palsu.

Titik balik bagi Marcos terjadi pada Agustus 1983, ketika senator Benigno Aquino, yang saat itu tinggal di pengasingan di Boston setelah dibebaskan dari penjara untuk mencari perawatan medis, memutuskan pulang ke Filipina.

Tapi, setibanya di Bandara Internasional Manila, Aquino ditembak mati.

Marcos mengaitkan pembunuhan itu dengan seorang tersangka pembunuh bayaran komunis, Rolando Galman, yang langsung ditembak mati di tempat oleh petugas keamanan.

Tetapi orang Filipina tetap berpikir bahwa Galman telah dijebak. Aquino sebenarnya dibunuh oleh militer Marcos.

Kekacauan pun terjadi. Filipina segera direbut dalam krisis ekonomi dan politik yang berputar cepat.

Kelas menengah Filipina dan komunitas bisnis, mengalami kebangkitan politik.

Mereka mengekspresikan kemarahan mereka atas pembunuhan Aquino dalam demonstrasi jalanan.

Banyak pula seruan berani agar Marcos mundur.

Gereja Katolik Roma yang kuat juga sempat mengkritik rezim Marcos.

Pemerintahan AS di bawah Ronald Reagan pun juga akhirnya menangguhkan beberapa bantuan militer.

Marcos, yang semakin terisolasi di istananya, mengira dia bisa mengandalkan dirinya sekali lagi dengan naluri politiknya yang cerdik.

Pada akhir 1985, di bawah tekanan dari pemerintahan Reagan, dia kembali mengejutkan Filipina.

Dia mengumumkan di televisi AS bahwa dia akan menguji popularitasnya dalam pemilihan presiden "snap" yang akan diadakan pada 7 Februari 1986.

Itu dianggap sebagai langkah cekatan, yang mungkin sekali lagi bisa menyelamatkan salah satu operator politik paling licik di dunia.

Namun, Marcos salah menilai. Dukungan terhadapnya jauh berkurang setelah pembunuhan Aquino.

Ia juga salah menilai daya tarik janda mungil Aquino yang berusia 53 tahun, Corazon Cojuangco Aquino, yang berhasil menyatukan oposisi di balik pencalonannya sebagai presiden.

Pemilihan Februari 1986 pun dirusak oleh tingkat kecurangan, mulai dari pendaftaran hingga penghitungan, yang mencapai puncak tertingginya, bahkan menurut standar Filipina.

Marcos menyatakan dirinya sebagai pemenang pemilu, namun, kebanyakan orang Filipina mengutuk hasilnya sebagai kepalsuan.

Aquino memimpin para pendukungnya dalam kampanye pembangkangan sipil. Namun pada akhirnya, pemberontakan militer pada 22 Februari 1986, yang dipelopori Menteri Pertahanan Enrile lah yang membuat Marcos kehilangan kekuasaannya.

Kardinal Jaime Sin meminta umat Katolik Filipina untuk turun ke jalan dalam pertunjukan besar "kekuatan rakyat".

Warga mencegah tank dan pasukan yang setia kepada Marcos menyerang para pemberontak.

Senator AS Paul Laxalt lalu menyampaikan ultimatum kepada orang yang telah menikmati dukungan dari lima presiden Amerika itu.

Dalam panggilan telepon ke Marcos, Laxalt memberitahunya tentang keputusan menyakitkan Reagan.

"Waktunya telah tiba untuk 'memotong dan memotong'".

Isyarat yang akhirnya dipahami Marcos.

Sesaat sebelum massa menyerbu istana kepresidenannya di Malacanang pada 25 Februari, Marcos dan keluarganya pergi dengan helikopter AS ke Pangkalan Udara Clark.

Di sana, mereka naik pesawat rumah sakit AS dan keesokan paginya menuju Hawaii.

Marcos tiba di sana sebagai seorang pria yang patah, sosok bertubuh kecil yang terseok-seok dalam jaket dan topi golf kusut.

Bahkan dari pengasingannya di Hawaii, Marcos mencoba menggoyahkan pemerintahan baru, mendanai loyalis di Filipina, dan merencanakan kepulangannya sendiri.

Keterlibatannya dalam satu upaya untuk kembali secara dramatis akhirnya membujuk jaksa federal di New York mendakwa Marcos dengan tuduhan menggelapkan lebih dari 100 juta dollar AS dari perbendaharaan Filipina.

Dia juga dituduh mengubah kekayaan haram menjadi dollar AS untuk membeli empat kantor dan bangunan di New York.

Dalam sebuah wawancara dengan majalah Playboy pada tahun 1987, Marcos ditanya bagaimana dia ingin orang-orang muda mengingatnya di Filipina.

Marcos menjawabnya dengan amat bijak, sekaligus mengandung ironi.

"Mereka tahu Marcos sebagai orang yang bisa membuat lelucon, yang bisa mengungkap filosofi kehidupan yang rumit. Dia bisa mengutip Rousseau dan menjelaskannya. Dan ini, belum pernah dilakukan siapa pun."

https://internasional.kompas.com/read/2021/09/28/120348470/detik-detik-kejatuhan-diktator-filipina-ferdinand-marcos

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke