Salin Artikel

Sejarah Genosida Rwanda 1994, Konflik Hutu dan Tutsi yang Tewaskan 800.000 Orang

Penyebab genosida Rwanda 1994 adalah konflik Hutu dan Tutsi.

Hutu adalah etnis mayoritas di Rwanda yang mendominasi sekitar 85 persen populasi, sedangkan Tutsi merupakan minoritas tetapi banyak menduduki sektor-sektor kepemimpinan dan pemerintahan.

Secara ringkas, pelaku genosida Rwanda sebagian besar adalah orang Hutu yang ingin membasmi suku Tutsi.

Presiden Rwanda yang sekarang, Paul Kagame, dituding sebagai pelaku bersama beberapa teman dekatnya dengan melakukan serangan roket, karena waktu itu dia adalah pemimpin kelompok pemberontak Tutsi.

Namun, dilansir BBC, Kagame menyangkal keras tuduhan itu dan sebaliknya menuding ekstremis Hutu yang melakukannya demi memusnahkan masyarakat Tutsi.

Kematian presiden Juvenal sendiri bukan satu-satunya penyebab genosida Rwanda, yang merupakan pembersihan etnis terbesar di Afrika saat zaman modern.

Kompas Internasional mewartakan, genosida di Rwanda adalah episode pembersihan etnis terburuk sejak berakhirnya Perang Dunia II.

Melansir BBC pada 17 Mei 2011, konflik Hutu dan Tutsi di Rwanda bukan hal baru. Mereka selalu berseteru, dan terus memanas sejak masa kolonial.

Etnis Hutu dan Tutsi di Rwanda sebenarnya sangat mirip. Mereka berbicara bahasa yang sama, mendiami wilayah yang sama, dan memiliki tradisi sama.

Keyakinan itulah yang membuat mayat-mayat orang Tutsi dalam genosida Rwanda dibuang ke sungai oleh Hutu agar kembali ke Ethiopia.

Lalu jika ditelusuri lebih jauh ke belakang, konflik Hutu dan Tutsi mulai memanas saat Belgia menjajah Rwanda pada 1916.

Kala itu Belgia membuat kartu identitas bagi warga setempat yang membedakan orang menurut etnisnya. Belgia menganggap Tutsi lebih unggul dari Hutu.

Tak heran, orang-orang Tutsi menyambut baik kebijakan itu, tetapi di sisi lain kebencian orang Hutu berangsur memuncak.

Ketika Tutsi menikmati kesempatan kerja dan pendidikan yang lebih baik, Hutu yang kesal berkonflik dengan mereka dalam serangkaian kerusuhan pada 1959.

Lebih dari 20.000 orang Tutsi tewas, dan banyak yang melarikan diri ke negara tetangga seperti Burundi, Tanzania, dan Uganda.

Lalu saat Belgia melepas kekuasaan dan memberikan kemerdekaan kepada Rwanda pada 1962, Hutu menggantikan mereka.

Selama puluhan tahun berikutnya, Tutsi menjadi kambing hitam atas segala krisis yang terjadi.

Pada saat yang sama, pengungsi Tutsi di Uganda - didukung oleh beberapa Hutu moderat - membentuk Front Patriotik Rwanda (RPF) yang dipimpin oleh Kagame.

Tujuan mereka adalah untuk menggulingkan Juvenal Habyarimana dan mengamankan hak untuk kembali ke Rwanda.

Juvenal Habyarimana memanfaatkan ancaman ini sebagai cara untuk membawa pembangkang Hutu kembali ke sisinya, dan Tutsi di Rwanda dituduh sebagai kolaborator RPF.

Pada Agustus 1993, setelah beberapa serangan dan negosiasi berbulan-bulan, kesepakatan damai ditandatangani antara Juvenal Habyarimana dan RPF, tetapi tidak banyak membantu menghentikan kerusuhan yang berlanjut.

Tatkala pesawat Habyarimana ditembak jatuh pada awal April 1994, itu adalah awal mula genosida di Rwanda.

Siapa tepatnya yang membunuh presiden - serta presiden Burundi dan banyak kepala staf bersamanya - tak kunjung diketahui dan akibatnya sangat fatal.

Dalam beberapa jam, para rekrutan dikirim ke seluruh negeri untuk melakukan pembantaian.

Perancang awal genosida Rwanda termasuk pejabat militer, politisi, dan pengusaha, tetapi banyak orang lain tak lama setelahnya ikut bergabung.

Geng-geng terorganisir tentara pemerintah dan milisi membantai warga Tutsi di permukimannya dengan parang, atau meledakkan mereka di gereja-gereja tempat berlindung.

Rezim ekstremis etnis Hutu yang berkuasa pada 1994 tampaknya benar-benar percaya bahwa satu-satunya cara untuk mempertahankan kekuasaan adalah dengan memusnahkan etnis Tutsi sepenuhnya.

Dibantu oleh pengawal presiden dan propaganda radio, sebuah kelompok milisi tidak resmi yang disebut Interahamwe (artinya "mereka yang menyerang bersama-sama") dimobilisasi. Pada puncaknya, kelompok ini berkekuatan 30.000 orang.

Tentara dan polisi mendorong warga biasa untuk ambil bagian. Dalam beberapa kasus, warga sipil Hutu dipaksa oleh personel militer untuk membunuh tetangga mereka yang Tutsi

Orang-orang yang mau membunuh Tutsi sering diberi insentif, seperti uang atau makanan, dan beberapa dari mereka bahkan diberitahu dapat mengambil alih tanah Tutsi yang dibunuh.

Situasi genosida Rwanda semakin kacau dengan mundurnya komunitas internasional. Sebagian besar pasukan PBB mundur setelah 10 tentara dibunuh.

Sehari setelah kematian Juvenal Habyarimana, RPF memperbarui serangan mereka terhadap pasukan pemerintah, dan berbagai upaya oleh PBB untuk merundingkan gencatan senjata tidak membuahkan hasil.

Segera setelah RPF menang, diperkirakan dua juta orang Hutu melarikan diri ke Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo).

Awalnya pemerintahan multi-etnis dibentuk, dengan seorang Hutu yakni Pasteur Bizimungu sebagai presiden dan Paul Kagame sebagai wakilnya.

Namun, mereka kemudian berselisih dan Bizimungu dipenjara atas tuduhan menghasut kekerasan etnis, sehingga Paul Kagame menjadi presiden.

Meskipun genosida di Rwanda telah berakhir, kehadiran milisi Hutu di RD Kongo turut menyebabkan konflik bertahun-tahun di sana, yang menyebabkan hingga lima juta kematian.

Pemerintah baru Rwanda yang dipimpin Tutsi juga dua kali menginvasi negara tetangganya yang jauh lebih besar itu, dengan alasan ingin memusnahkan pasukan Hutu.

Kelompok pemberontak Tutsi di Kongo tetap aktif, dan menolak untuk meletakkan senjata, karena merasa komunitasnya berisiko menghadapi genosida Rwanda lanjutan.

https://internasional.kompas.com/read/2021/09/21/180011870/sejarah-genosida-rwanda-1994-konflik-hutu-dan-tutsi-yang-tewaskan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke