Salin Artikel

Ketika Kopi Membantu Veteran Vietnam Membesarkan Keluarganya

Perlu diketahui, 30 tahun lalu (1986), Vietnam hanya bisa menghasilkan 300.000 kantong berisi 60 kilogram biji kopi. Namun pada 2018, volume produksinya meroket menjadi 30 juta kantong, atau tumbuh ratusan kali lipat.

Sementara Indonesia, sebagai perbandingan, produksi kopinya hanya meningkat dari 5,9 juta kantong di 1986 menjadi 10,2 juta kantong di 2018.

Hak kepemilikan lahan—sebuah anatema di kebanyakan negara Komunis— menjadi hal penting dalam ekspansi pertanian Vietnam. Apalagi, reformasi “Doi Moi” pada 1986 menjadi sebuah babak perubahan besar pada kebijakan pertanian kolektivitas yang penuh masalah pada periode 1950-1960-an.

Tim Ceritalah baru-baru ini mengunjungi daerah perkebunan kopi di Dak Lak (7 jam arah timur laut dari kota Ho Chi Minh), dan menghabiskan waktu dengan Nguyen Van Tuyen, seorang veteran perang Vietnam, mantan tentara berumur 64, dan istrinya Thang.

Setelah berhenti dari militer pada 1979, Tuyen awalnya ingin kembali ke kampung halamannya, An Lao di utara.

Namun ia menyadari bahwa dia harus menghidupi keluarganya yang terus bertambah (ia akhirnya memiliki delapan anak). Dia kemudian memutuskan untuk mengadu nasib ke selatan, di kota Buon Ma Thuot untuk mencari peluang baru.

“Saya datang ke sini untuk memulai pekerjaan,” katanya.

Mulanya Tuyen bekerja sebagai buruh dan berhasil mengumpulkan uang. Lalu pada 1993, ia membeli lahan seluas 7 hektar dengan harga VND 50.000.000 (setara 4.700 dollar AS pada waktu itu). Dia kemudian menanam sayuran seperti jagung dan terong.

Pada 1994, ia beralih ke tanaman kopi. Karena tidak memiliki modal, dia melakukan semuanya sendiri.

“Saya terpaksa menanam sendiri. Saya juga memelihara sapi dan menggunakan kotorannya sebagai pupuk," katanya.

Ada bulan-bulan panas, dan bulan-bulan kering. Tuyen harus membuat pengairan terus menerus. "Itulah tugas utama sekaligus biaya terbesar. Sedangkan pada waktu itu tidak ada sistem instalasi air. Saya harus mengairi sepanjang malam, dari pukul 7 malam hingga 5-6 pagi,” kata Tuyen.

Setelah tiga tahun, Tuyen berhasil menuai panen pertamanya, pertanda awal kesuksesan dari bisnis perkebunan kopinya.

Tuyen memperoleh kira-kira VND 31.500.000 - 36.000.000 (1.340 - 1.550 dollar AS) per hektar. Pada musim paling panas, ia harus mengeluarkan VND 300.000 (13 dollar AS) untuk irigasi dan sekitar VND 200.000 (9 dollar AS) untuk tiap pekerja per hari selama masa panen. Dia biasanya mempekerjakan dua buruh untuk panennya.

Meski begitu, tantangannya sebagai petani tidak selalu mudah. Harga kopi bisa naik-turun. Dan dia masih ingat saat harus mengemis pada para pembeli, yang kadang tanpa hasil. Ada masa-masa dimana ia ingin sekali untuk menebang habis tanaman kopinya.

Namun ada yang mendorongnya untuk terus berjuang, yaitu anak-anaknya. Dia ingin memastikan dapat menyekolahkan semua anaknya. Dia bahkan mulai mengambil pekerjaan sampingan, “Saya hanya mencoba yang terbaik, bekerja keras dan melakukan banyak pekerjaan.”

Pada akhirnya Tuyen membabat sebagian tanamannya untuk membuka lahan pertanian yang lebih komersil seperti labu, kacang-kacangan, dan jagung, yang kemudian dijual istrinya ke pasar setempat. Ia juga mulai memancing di danau belakang rumahnya: tangkapannya kemudian dijual.

“Saya orang yang tekun,” kata Tuyen mengenai dirinya, ”saya senantiasa selalu mencari solusi. Saat Perang Vietnam, saya menjadi supir truk, membawa persenjataan dan suplai yang ditujukan untuk medan perang di bagian selatan.”

Sampai sekarang, dia masih sangat bangga pada pengalamannya semasa perang sebagai supir yang berhasil menghindari tentara Amerika, mengangkut senjata dan perbekalan untuk tentara dari Hanoi ke Hai Phong.

Menurutnya, para petani Vietnam memang harus sangat independen. Kebanyakan dari mereka adalah petani kecil dan tidak mendapat banyak bantuan dari pemerintah.

Pihak otoritas memang memberikan semacam bantuan pada petani, namun kenyataannya, bantuan ini tidak banyak memberikan dampak.

“Implementasinya tidak dilakukan dengan baik,” jelas Tuyen.

Baginya, lebih baik pemerintah memberikan uang tunai atau pelatihan daripada memberikan pestisida dan pupuk berkualitas rendah.

Usaha keras dan kepandaian dalam bertani kopi membuat pasangan suami-istri ini berhasil membesarkan dan mendidik delapan anaknya, yang semuanya sudah dewasa dan hidup mandiri masing-masing.

“Kopi telah mengangkat hidup seluruh keluarga saya, untuk itu saya harus mensyukurinya. Anak saya sudah dewasa, tinggal saya dan istri—karena itu saya sekarang punya banyak uang.”

Satu-satunya penyesalan dia adalah, tak satupun anaknya ingin melanjutkan usaha keluarga.

Sungguh, setiap anaknya memiliki aspirasi yang berbeda.

Dibandingkan pendidikan, pertanian memiliki daya tarik yang rendah bagi mereka. Sebagian besar masyarakat menjadi guru, dan yang lain memiilh bergabung ke militer atau berbisnis.

Dengan cara masing-masing, kegigihan anak-anak Tuyen untuk membuktikan diri mereka merupakan cerminan dari kegigihan ayahnya yang mempertahankan pertanian keluarga agar terus berjalan. Maka dari itu, spirit yang sama terus berlanjut dari generasi ke generasi meski dalam bentuk yang berbeda.

Ketika orang bertanya bagaimana rakyat Vietnam bisa berhasil secara ekonomi, sejatinya penting untuk mengingat bahwa mereka adalah masyarakat yang sudah terluka oleh perang berdekade lamanya dan lahir kembali penuh dengan rasa lapar untuk pekerjaan, perdamaian dan kemakmuran.

Sebagaimana banyak keberhasilan yang Vietnam gapai di sektor manufaktur dan industri, semangat dan dorongan menuju kesuksesan juga sama tingginya di pertanian dan kota-kota yang tersebar di negara tersebut.

 

https://internasional.kompas.com/read/2019/09/21/18025391/ketika-kopi-membantu-veteran-vietnam-membesarkan-keluarganya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke