Salin Artikel

Genosida Rwanda, Kisah Anak-anak yang Kehilangan Sejarah Mereka

Oswald tak ingat soal kehidupan sebelum seorang perempuan muda mengambilnya dari tumpukan mayat di Kigali, ibu kota Rwanda.

Saat diambil, Oswald sedang berusaha mengisap puting payudara seorang perempuan yang sudah meninggal dunia.

Saat itu Oswald diperkirakan berusia tiga bulan, tetapi tidak ada yang bisa memastikan hingga saat ini.

Satu hal yang pasti adalah, Oswald merupakan satu dari banyak anak-anak yang kehilangan nama, tanggal kelahiran, dan sejarah hidupnya.

Kisah hidup Oswald dan anak-anak lainya hilang dalam 100 hari kekerasan yang melanda Rwanda pada 7 April, 25 tahun lalu.

Saat negeri kecil di Afrika itu mengenang sejarah kelam tersebut, Oswald bersama  ratusan pemuda dan pemudi sebayanya masih mencari kemungkinan keluarga mereka lolos dari kekerasan dan masih hidup.

Akibat dari kekerasan itu, sedikitnya 800.000 orang etnis Tutsi dan Hutu moderat tewas dibantai para ekstremis Hutu.

"Saya pikir kemungkinan orangtua saya sudah meninggal 50 persen dan kemungkinan saya bisa menemukan mereka 50 persen," kata Oswald mencoba memupuk harapan apalagi banyak warga Rwanda menemukan keluarga mereka setelah bertahun-tahun.

Oswald adalah satu dari kira-kira 95.000 anak-anak yang menjadi yatim piatu akibat genosida.

Kekerasan di Rwanda itu terjadi hanya dalam hitungan jam usai pesawat yang membawa Presiden Juvenal Habyarimana ditembak jatuh.

Perempuan Hutu yang menemukan Oswald, Josephine juga kehilangan suaminya dalam masa kekerasan itu.

Sang suami, tewas dibunuh ekstremis Hutu karena mencoba membantu warga etnis Tutsi.

Sementara, Josephine menjadi korban perkosaan pasukan Interhamwe, kelompok milisi yang menjadi pelaku sebagian besar pembunuhan. Usai diperkosa, Josephine tertulah HIV.

Namun, seiring dengan waktu, Oswald merasa ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya.

"Saya bisa melihat anak-anak lain bermain bersama ayah mereka. Saya mulai berpikir ada apa dengan orangtua saya," kata dia kepada BBC.

Namun, mencoba mencari tahu jati diri dengan informasi yang begitu sedikit, bisa dikatakan merupakan misi yang nyaris mustahil.

Pemuda lain yang senasib adalah Jean Pierre. Upayanya mencari jawaban, dia mencoba memerhatikan wajah yang mirip dengan dia di jalanan.

"Saat saya melihat seseorang yang berwajah mirip dengan saya, saya merasa mereka adalah saudara saya," kata Jean Pierre yang merasa dirinya berusia 26 tahun.

Metode itu, ujar Jean Pierre, kemungkinan bisa berhasil. Dia belum lama ini melihat seorang perempuan yang berwajah mirip dengannya.

Jean Pierre kemudian mendekati perempuan itu untuk mencari tahu.

Perempuan itu, ternyata kehilangan seorang saudara, seorang anak laki-laki yang kemungkinan sebaya dengan Jean Pierre.

Jean Pierre bergegas menemui ibu perempuan itu.

"Saat saya bertemua Maman Asalia, saya amat tersentuh. Saya merasakan dia adalah ibu saya sebelum dia memperkenalkan diri," ujar Jean Pierre.

Jean Pierre dan Maman Alisa kini hampir setiap hari bertemu, meski tak memiliki bukti nyata bahwa mereka memiliki kaitan kekeluargaan.

Tes DNA, bagi Jean Pierre, tak terbayangkan karena biayanya yang amat mahal.

Lalu bagaimana jika Maman Alisa bukan ibu Jean Pierre?

Pemuda itu hanya mengangkat bahu dan mengatakan dia pasti bisa mengatasinya seperti 25 tahun terakhir ini.

Oswald dan Jean Pierre bersama satu teman mereka Ibrahim memutuskan mereka harus melakukan sesuatu.

Akhirnya ketiga pemuda ini membentuk sebuah kelompok untuk mendukung sesama yatim piatu korban genosida.

Ibrahim, sudah mendengar kisah kedua temannya itu. Sama seperti Oswald dan Jean Pierre, Ibrahim tak bisa memastikan usianya, jadi dia memilih 25 tahun.

Ibrahim juga tak tahu nama orangtuanya, sesuatu yang mengganggunya saat harus mengisi dokumen-dokumen resmi.

Tak seperti Oswald dan Jean Pierre, Ibrahim sudah yakin kedua orangtuanya telah meninggal dunia.

Namun pada satu titik, Ibrahim nampaknya paling berpeluang menemukan keluarganya.

Beberapa tahun lalu, dia diundang untuk bertemu dengan keluarga yang mencari anak-anak seusianya yang hilang di masa genosida. Namun, undangan itu berakhir menyedihkan.

"Saya pergi ke lokasi peringatan (genosida) dan saya bertemu dengan dua pasang penyintas tetapi mereka tidak bisa memberikan informasi apapun," kenangnya.

"Mereka hanya mengatakan, wajah saya mirip dengan seseorang yang sudah meninggal, tetapi tak ada informasi nyata soal keluarga saya," kata dia.

Meski demikian, Ibrahim tidak putus harapan tetapi kini dia mulai khawatir soal masa depannya.

Dia tak memiliki pekerjaan dan impiannya untuk mengecap pendidikan tinggi pun kandas.

Ibrahim kini merasakan sebuah perasaan putus asa yang amat kuat dan keterasingan, sama seperti yang dirasakan kedua temannya.

"Kami tak memiliki dukungan apa pun untuk bergerak maju. Kami tak memiliki sarana untuk menjalani hidup lebih baik," ujar Jean Pierre.

Apa yang mereka punya hanyalah satu sama lain dan melalui organisasi Hope of Future Family, mereka sepakat untuk saling berbagai apapun yang mereka miliki.

Pertanyaannya kini, bagaimana perasaan Josephine, perempuan yang membesarkan Oswald dengan penuh kasih jika suatu hari Oswald bertemu keluarganya?

Oswald pun hanya menjawab dengan senyuman. 

https://internasional.kompas.com/read/2019/04/07/17451001/genosida-rwanda-kisah-anak-anak-yang-kehilangan-sejarah-mereka

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke