Salin Artikel

Bianglala di Negeri Cerutu

Diaspora Indonesia di Havana ini unik karena memiliki nilai ‘kekhususan’ dari segi sejarah. Apa sebabnya? Salah satunya, ada cerita panjang di balik keberadaan beberapa orang anggota masyarakat Indonesia di Kuba tersebut berhubungan erat dengan peristiwa bersejarah RI di tahun 1965.

Ketika itu, pemerintah Orde Baru melakukan screening terhadap mahasiswa Indonesia yang sedang melakukan tugas belajar di luar negeri. Adapun data dan fakta yang didapat selama penyusunan tulisan ini merupakan hasil wawancara langsung di lapangan serta mengutip dari data KBRI dan artikel akademik yang telah resmi dipublikasikan.

Kuba, dengan nama resmi Republik Kuba merupakan negara pertama di benua Amerika yang menganut sistem Sosialis-Komunis, dimulai pada era Revolusi yang dipimpin oleh Fidel Castro dan Ernesto Che Guevara pada tahun 1959.

Pada masa Perang Dingin, Kuba mendapat dukungan dan backup secara total dari Rusia (pada masa itu ‘USSR’) sehingga Kuba dapat bertahan dari ‘gempuran’ AS baik dari segi politik, keamanan, ekonomi dan keuangan.

Sementara itu di Indonesia, ketika kejadian G30S/PKI pecah, yang mengakibatkan dicabutnya paspor sejumlah mahasiswa Indonesia yang dianggap tidak setia kepada Pemerintah Indonesia, Fidel Castro termasuk salah satu Kepala negara yang membuka pintu bagi eks-mahasiswa Indonesia.

Pada bulan Mei tahun 2017, secara keseluruhan, MILN di Kuba berjumlah 32 orang, yang terdiri dari kalangan mahasiswa/i penerima beasiswa kedokteran dari Pemerintah Kuba; para rohaniawan; staf lokal yang bekerja pada KBRI Havana serta keluarganya, dan eks-mahasiswa Indonesia beserta keturunannya.

Tulisan ini dibuat dengan memfokuskan pada keberadaan dan kondisi serta kiprah terkini dari para eks-mahasiswa Indonesia serta keturunannya. Lebih spesifik, menyoroti empat sosok yang kami pandang dapat mewakili kalangan masyarakat Indonesia di Havana yang cukup dekat dengan keluarga besar KBRI.

Bianca Louise Valdez Mahdi, atau yang sering kami panggil Ibu Luisa, adalah sosok yang tidak asing dengan kehidupan di KBRI dan mengenal betul dinamika kehidupan diplomat di Kementerian Luar Negeri RI. 

Ayahnya dulu adalah seorang Duta Besar RI (Diplomat Karir), almarhum Izak Mahdi. Sebagai anak dan cucu (kakeknya adalah almarhum Marzuki Mahdi) seorang diplomat, Luisa mengikuti orangtuanya bertugas ke luar negeri. Antara lain ke Bangkok, Wina, dan Meksiko.

Ketika sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi di Jerman, Luisa bertemu dengan seorang calon dokter berkebangsaan Kuba, yang kemudian menjadi suaminya. Setelah mengikuti suaminya kembali ke Kuba, Luisa bekerja sebagai Pegawai Setempat pada KBRI Havana dan pensiun tahun 2013.

Meskipun sudah bertahun-tahun tidak pernah kembali ke Indonesia, Luisa tetap menganggap Indonesia bagian dari identitas dan jati diri.

Selain itu, sebagaimana ayah, paman (Boesono Darusman dan Suriono Darusman) dan kakeknya yang dulunya merupakan diplomat RI, dan telah menanamkan nilai-nilai budaya Indonesia, kecintaan terhadap tanah kelahiran tidak pernah hilang dari dirinya.

Berbeda dengan Luisa, kehadiran warga Indonesia lainnya di Kuba memiliki cerita dengan keunikan tersendiri.

Terdapat tiga orang anggota MILN yang dulunya, adalah mahasiswa Indonesia penerima beasiswa asing yang sedang melaksanakan tugas belajar di luar negeri dan kemudian tidak lolos screening pada masa rezim Presiden Soeharto.

Setelah status sebagai WNI dicabut, para mahasiswa Indonesia terpencar di seluruh penjuru dunia mencari jalannya masing-masing. Sebagian besar menetap di Eropa. Selain negara-negara di Eropa, terdapat sejumlah mahasiswa Indonesia yang kemudian memilih Kuba sebagai tempat untuk menetap.

Ada banyak jalan yang ditempuh para mahasiswa Indonesia dalam upaya berintegrasi dengan kehidupan baru mereka di Kuba. Salah satunya adalah dengan cara mendapatkan pekerjaan yang mengharuskan mereka berinteraksi langsung dengan penduduk lokal, seperti yang dilakoni oleh Widodo Suwardjo.

DR Widodo Suwardjo, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Pak Wid, merupakan salah satu Staf Ahli dan peneliti senior pada Lembaga Penelitian Metalurgi Kuba yang dibawahi oleh Kementerian Industri Kuba.

Melalui profesinya sebagai peneliti senior di lembaga tersebut, Widodo membuka jalan bagi dirinya agar dapat lebih diterima di Kuba dengan memberi manfaat bagi pemerintah Kuba.

Di Indonesia, sosok beliau mulai dikenal oleh kalangan jurnalis Indonesia ketika pada tahun 2006. Kisah cintanya di masa lalu dan keinginan untuk bertemu dengan mantan tunangan, yang telah terpisah selama lebih dari 40 tahun, menjadi viral di media massa online dan surat kabar harian nasional di Indonesia.

Bahkan, salah seorang politisi Indonesia yang tergugah hatinya mendengar kisah Widodo, lantas mengirimkan tiket untuk Widodo agar dapat terbang ke Jakarta untuk mencari dan bertemu dengan mantan kekasih hati, Widari.

Pertemuan penuh haru pun akhirnya terjadi, Ibu Widari hadir didampingi anak dan cucu. Rindu selama 40 tahun lebih pun terobati.

Selanjutnya, salah satu kelompok penggiat seni Papermoon Puppet Theatre asal Yogyakarta yang terinspirasi kisah Pak Wid dan Ibu Widari, mementaskan kisah kasih mereka melalui pertunjukan boneka dengan judul ‘Secangkir Kopi dari Playa’.

Kemudian, karakter Pak Wid versi boneka dalam Secangkir Kopi dari Playa dimaksud, menjadi cameo di salah satu film nasional terkenal berjudul Ada Apa dengan Cinta? 2, yang dibintangi oleh Nicholas Saputra dan Dian Sastro.

Hingga saat ini, Pak Wid masih aktif bekerja sebagai Ahli Metalurgi di Kuba, dan sedang giat mendalami proyek Green Industry bagi sektor tambang Kuba.

Melalui proyek ini Pak Wid berusaha untuk dapat menciptakan hasil limbah industri yang aman bagi lingkungan, bahkan lebih jauh, hasil limbah tersebut dapat digunakan kembali sebagai pupuk untuk menyuburkan tanah dan tanaman.

Di sela-sela waktu luangnya, Pak Wid selalu menyempatkan hadir dan berpartisipasi pada setiap kegiatan yang diadakan oleh KBRI. Pak Wid juga masih aktif dan rajin menerbitkan tulisan melalui media nasional di Indonesia.

Sosok anggota MILN lainnya yang juga sangat dekat dengan KBRI adalah Salim Handatjaia, yang terkenal dengan sebutan Koh Salim. Salim adalah lulusan Sarjana Hukum di Universitas Padjajaran.

Beliau juga mengemban titel Sarjana Sastra Inggris pada Universitas yang sama di Bandung. Ketika peristiwa tahun 1965 pecah, Salim sedang berada di China.

Setelah mendapati dirinya tidak bisa lagi kembali ke Indonesia, beliau sempat memutuskan untuk tetap tinggal di China (Hearman, 2010). Berdasarkan artikel akademik yang ditulis oleh Vannessa Hearman (2010), di China, Salim bertemu dengan Tatiana Lukman, putri dari MH Lukman, yang merupakan Deputi Pertama Partai Komunis Indonesia (PKI), yang kemudian menjadi istrinya.

Pada perkembangannya, situasi di China semakin tidak kondusif, apalagi ditambah dengan isu dan rumor yang beredar di kalangan internasional adanya keterlibatan Beijing dan campur tangan Amerika Serikat pada pecahnya peristiwa tahun 1965 di Indonesia (Simpson, 2008).

Hal tersebut membawa dampak terancamnya para mahasiswa Indonesia yang berada di China, termasuk Salim dkk. Tahun 1973, Salim dan Tatiana memutuskan berimigrasi ke Kuba, negara yang dipandangnya miskin namun tetap menjalankan prinsip-prinsip sesuai dengan ideologi yang dianutnya.

Kini, meski Tatiana memilih untuk menetap di Belanda, Salim tetap konsisten untuk menjalani hidupnya di Kuba sebagai dosen di Universitas Havana. Selain itu, Salim juga menjadi guru privat Bahasa Spanyol bagi beberapa pegawai di KBRI Havana.

Ketika ditanya bagaimana Salim memandang Indonesia, yang beliau soroti justru mengenai kondisi perempuan Indonesia. Menurut Salim, negara yang besar itu dapat dilihat dari seberapa besar kaum perempuan dapat ambil bagian dan berperan dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dalam suatu bangsa/negara.

Lebih lanjut, Salim menyampaikan bahwa dulu semasa kecil di Pulau Bangka dan kemudian pindah ke Jakarta, perempuan Indonesia belum cukup mendapat tempat di masyarakat, contohnya, akses pendidikan masih sangat minim.

Meskipun demikian, Salim tetap optimistis tentang kiprah perempuan Indonesia dalam kehidupan. Apalagi sekarang bermunculan pemimpin-pemimpin perempuan di Indonesia.

Bahkan, saat ini Menteri Luar Negeri Indonesia adalah perempuan, jumlah diplomat perempuan juga meningkat drastis. Ke depannya, Salim berharap perempuan Indonesia yang berhasil menjadi Duta Besar RI dan berprestasi di bidang lainnya semakin bertambah, sehingga Indonesia dapat membuktikan pada dunia bahwa Indonesia maju dalam hal kesetaraan gender.

Terkait dengan peran perempuan berprestasi yang disebut Salim di atas, melalui ceita-cerita para sesepuh di Havana, KBRI Havana dan Indonesia turut dipopulerkan oleh salah satu sosok perempuan berdarah Indonesia-Kuba yang menggores pretasi gemilang di Havana.

Perempuan itu bernama Ruhaini Soepradja. Ia adalah anak dari Achmad Soengkawa Soepradja, yang juga merupakan mahasiswa Indonesia dari Ceko pada tahun 1960-an.

Latar belakang pendidikan Ruhaini adalah mahasiswa kedokteran di Universitas Havana. Sosoknya menjadi terkenal dan menginspirasi banyak orang di Kuba setelah ia menjadi juara bertahan selama berpekan-pekan pada acara Cerdas Tangkas yang disiarkan di saluran TV Nasional Kuba.

Terinspirasi dengan kecerdasan Ruhaini, beberapa ibu yang melahirkan bayi perempuan pada masa itu, lantas menamai anak mereka Ruhaini. Tidak hanya cerdas, Ruhaini juga berparas sangat cantik sehingga ia terpilih sebagai model iklan telepon seluler.

Wajahnya semakin dikenal tidak hanya di TV tetapi juga di poster-poster iklan yang tersebar di seluruh Kuba. Pada tahun 2008, Ruhaini meninggal dunia dikarenakan kanker ketika ironisnya ia sendiri juga tengah melakukan penelitian tentang kanker.

Meskipun demikian, rakyat Kuba masih mengingat "Ruhaini dari Indonesia", yang tidak hanya terkenal melalui kiprahnya sebagai model iklan, tetapi juga karena kecerdasannya.

Kehidupan dan kisah Diaspora Indonesia di Havana penuh dengan warna-warni. Baik ditilik dari sejarah keberadaan mereka di Kuba dan dari alasan mengapa mereka memilih untuk tetap tinggal, serta dari dinamika kehidupan sehari-hari yang mereka alami di negeri yang terkenal dengan penghasil cerutu terbaik di dunia tersebut.

Seperti yang dikisahkan oleh Luisa dan Soepradja (Ayahanda dari Ruhaini), sebagian datang karena hatinya tertambat dengan penduduk lokal, sebagian lagi karena alasan politis dan keamanan sehubungan dengan peristiwa bersejarah bangsa Indonesia ditahun 1965 seperti yang dialami oleh Widodo.

Ada pula dikarenakan alasan ideologi seperti yang disampaikan Salim, serta yang disebabkan takdir yang menentukan untuk dilahirkan di tanah Castro dimaksud, seperti Ruhaini.

Kini, meski dari segi jarak dan waktu, mereka berada di tempat yang sangat jauh dari Tanah Air, harapan, impian, dan kebanggaan menjadi bagian dari Indonesia masih dijadikan panutan dalam meraih prestasi dan sebagai identitas diri.

Catatan penulis: Artikel ini sebelumnya sudah pernah diterbitkan tahun 2017 pada sebuah buku yang diedarkan secara internal oleh Kementerian Luar Negeri RI melalui ‘Bunga Rampai: Masyarakat Indonesia di Berbagai Negara’, segmen Kuba, halaman 124 – 128.

Daftar Referensi:

Hearman, Vanessa 2010, The Last Men in Havana: Indonesian Exiles in Cuba, Review of Indonesian and Malaysian Affairs, Vol. 44 No. 1, pp. 83-109

Simpson, Bradley 2008, “The United States and the 1965-1966 Mass Murders in Indonesia”, in Economist with Guns: Authoritarian Development and US Indonesian Relations, 1960-1968, The Board of Trustees of the Leland Stanford Junior University

2017, Data Warga Negara Indonesia di Kuba, KBRI Havana, Kuba

2017, Country Profile: Cuba, KBRI Havana, Kuba

https://internasional.kompas.com/read/2018/10/20/17353791/bianglala-di-negeri-cerutu

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke