Salin Artikel

Kisah Jeratan Utang di Balik Glamornya Para Model di Atas "Catwalk"

Para model ini berkeliling ke kota-kota besar dunia seperti Paris, Milan atau New York mengenakan pakaian terbaik yang dirancang para desainer kenamaan.

Namun, di balik semua keglamoran itu ternyata penghasilan sebagian model tak semenggiurkan yang disangka.

Tak jarang mereka hanya mendapatkan "uang saku" sebab mereka terikat utang dengan berbagai agensi dan para model ini takut mengakui besarnya utang mereka.

"Hal terburuk adalah tak mungkin membicarakannya karena dalam industri ini orang hanya mau bekerja dengan gadis yang sukses," kata Clara (26), model yang sudah tampil pernah tampil di majalah Vogue.

Model yang tinggal di London itu, berkenan menceritakan kepada AFP terkait jerat utang yang menjebaknya dan sebagian besar teman-temannya.

Saat ini, Clara mengaku memiliki utang yang sangat besar kepada sejumlah agensi di New York dan Paris yang mempekerjakannya.

Beberapa model lainnya mengatakan, tak jarang mereka  hanya dibayar dengan menggunakan pakaian atau tas usai menjalankan sesi foto dengan majalah mode.

Organisasi pejuang hak para model, Model Law yang dibentuk awal tahun ini di Paris, menjelaskan bahwa membicarakan utang jauh lebih terlarang ketimbang membicarakan pelecehan seksual.

Salah seorang pendiri organisasi ini Ekaterina Ozhiganova, seorang model yang sering "manggung" di Paris, mengatakan sudah saatnya menghentikan pelecehan, praktik-praktik tak jelas, dan tak mengindahkan undang-undang tenaga kerja.

Clara, yang memulai karier modelingnya sejak masih di bangku sekolah, menceritakan pengalamannya saat pertama kali tampik di Paris fashion week.

"Agen saya memberi mobil yang digunakan bersama model yang lain dari apartemen Airbnb yang mereka sewa untuk kami," kenangnya.

"Baru kemudian saya tahu kami harus membayar 300 euro sehari untuk menyewa sopir," ujarnya.

"Saya meneken kontrak dan di akhir pekan saya sudah berutang 3.000 euro (Rp 52 juta)," tambah dia.


Selanjutnya, Clara terbang ke New York untuk bekerja. Di kota itu para model dari berbagai negara sudah terjerat utang karena visa kerja di AS amat mahal.

"Lalu kami tinggal di apartemen model yang harus kami bayar 50 dolar AS semalam untuk kamar yang saya tempati dengan tiga model lainnya," lanjut Clara.

"Saat casting dimulai, saya jatuh sakit sehingga tak mengikuti sebagian besar prosesnya. Jadi akhirnya saya pulang dengan utang 8.000 dolar AS," paparnya.

Meski demikian, Clara bersikukuh kondisi yang dialaminya tidaklah terlalu buruk.

"Saya masih berutang pada agensi di New York dan Paris meski saya sudah bekerja utuk mereka," kata dia.

Clara lalu mencontohkan saat dia tampil di sebuah acara besar di Paris, dia akan mendapatkan upah 1.100 euro atau sekitar Rp 19 juta.

"Namun, karena berutang maka upah saya dipotong sehingga saya hanya membawa pulang 400 euro (Rp 7 juta)," ujarnya.

Meski mengalami kesulitan, Clara berkeras nasibnya masih jauh lebih baik ketimbang model baru berusia 16 tahun, tak bisa berbahasa Inggris, dan berasal dari keluarga miskin.

Apa yang dialami Clara ini juga menimpa dua model asal AS yang amat berpengalaman. Mereka mengatakan telah menjadi budak utang dan para agen memangkas penghasilan mereka dengan amat besar.

Namun, kedua model itu mengatakan para model asal Eropa Timur dan Brasil yang kini mendominasi profesi ini adalah yang paling rentan dieksploitasi.

Seorang model asal AS berusia 24 tahun yang sudah tampil memamerkan karya adibusana mengatakan, jeratan utang itu telah mengubah kehidupan pribadinya.

Dia mengatakan, terpaksa memutuskan hanya mau berkencan dengan para pria yang cukup kaya untuk mendukung gaya hidupnya.


Sementara itu, Ekaterina Ozhiganova (26) berharap organisasi Model Law yang dibentuknya bisa membantu para model yang takut membicarakan keburukan industri ini.

"Sebab industri ini menganggap mereka yang banyak bertanya sebagai model yang susah diajak kerja sama," ujar Ekaterina.

"Banyak orang membayangkan para model menghasilkan banyak uang, tetapi hal itu tidak benar. Hanya dua persen model yang benar-benar mendapatkan penghasilan besar. Sementara model pria nasibnya lebih buruk," tambah dia.

Dia melanjutkan, bekerja tanpa bayaran adalah kutukan bagi kehidupan para model meski telah bekerja berjam-jam.

"Oke, pekerjaan ini memang prestisius tetapi bagaimana kami harus membiayai hidup?" tanya Ekaterina.

Untuk memperjuangkan nasib para model ini, Model Law sudah menjalin pembicaraan dengan Synam, sebuah lembaga yang mewakili agen-agen model Perancis.

Pemimpin Synam Isabelle Saint-Felix mengaku, Model Law memiliki "tuntutan yang bisa dibenarkan" termasuk regulasi tentang tenaga kerja yang harus diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Hal ini penting karena sebagian besar model yang bekerja di Paris tidak bisa berbahasa Perancis.

"Namun, mereka harus membatasi klaim dan tidak membuat tuntutan yang terlalu umum," kata Isabelle.

Perlakuan terhadap model menjadi pembicaraan setelah seorang agen James Scully membongkar hal-hal buruk di balik industri yang glamor ini.

Insiden itu memicu dua raksasa fesyen Perancis LVMH dan Kering, yang memiliki beberapa merek ternama, bekerja sama untuk memerangi perlakuan buruk terhadap para model.

...

https://internasional.kompas.com/read/2018/09/27/19061081/kisah-jeratan-utang-di-balik-glamornya-para-model-di-atas-catwalk

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke