Salin Artikel

Banjir Marikina Filipina dan Ketidakhadiran Duterte

PADA 11 Agustus lalu, rumah milik Zildjien Eligado di kota Marikina, Barangay (distrik) Tumana terkena banjir saat badai tropis Karding menghantam Manila.

Lebih dari 14.000 penduduk Marikina terpaksa meninggalkan rumah mereka saat badai mulai berembus 90 kilometer per jam dan permukaan sungai kota naik lebih dari 17 meter.

“Kami bertahan di lantai dua rumah kami selama beberapa jam hingga banjirnya surut. Lalu kami pindah ke rumah adik perempuan saya di Barangay Parang, di sana permukaan tanahnya lebih tinggi,” kata Eligado.

Pada 20 Agustus, Eligado dan keluarganya kembali ke rumah mereka. Namun, ibu dari tiga anak tersebut mengaku susah untuk beradaptasi lagi.

“Kami harus meminjam uang agar bisa membangun hidup kami kembali. Sekarang sulit untuk membeli makanan, karena persediaan menipis dan harganya pun naik. Beras sekarang PHP 48 per kg (sekitar Rp 12.800), sebelumnya PHP 42 (sekitar Rp 11.200). Sayur mayur bisa mencapai PHP 10 (sekitar Rp 2.600) dari sebelumnya PHP 5 (sekitar Rp 1.300) sebelum banjir,” Eligado mengeluh.

Meskipun menghadapi tantangan berat, toh Eligado tetap bersikeras untuk menetap.
“Kami sangat nyaman di sini. Ini tempat tinggal kami. Kami juga mendapatkan bantuan dari Departemen Kesejahteraan dan Pengembangan Sosial, sekitar PHP 500 per bulan (sekitar Rp 133.000). Ini bisa menutupi biaya kesehatan kami. Pemerintah juga sedang membangun dinding sungai Marikina untuk mencegah banjir lagi,” Eligado menceritakan alasannya bertahan di Marikina.

Sebenarnya, Filipina sedang gencar mendorong proyek-proyek infrastrukturnya. Presiden Duterte menyebutnya program “Build, Build, Build” (Bangun, Bangun, Bangun). Selama enam tahun ke depan, administrasinya telah menjanjikan 180 miliar dollar AS untuk membangun 6 bandara, 9 rel kereta api, 4 pelabuhan, 32 jalan dan jembatan untuk mengakhiri reputasi Filipina sebagai “si sakit dari Asia”.

Pemimpin berusia 73 tahun itu menjanjikan 84,79 juta dollar AS untuk Proyek Pengendalian Banjir Metro Manila, termasuk 20 stasiun pompa air. Proyek ini diperkirakan akan memakan waktu 25 tahun. Namun, perkembangannya masih lambat.

Eligado berkomentar, “Saya dengar pemerintah akan membangun stasiun pompa air. Saya belum pernah melihatnya, jadi mungkin masih hanya rencana.”

Dan bukan itu saja yang tidak terlihat. Eligado menambahkan, dengan sedikit kekecewaan, “Duterte bahkan belum berkunjung ke Marikina sama sekali.”

Meskipun memiliki populasi lebih dari setengah juta, kota Marikina seakan hilang dari daftar pekerjaan Malacanang (Istana Presiden). Ada tiga kunjungan yang sempat direncanakan Duterte. Semuanya dibatalkan.

Mengecewakannya, justru Bong Go, asisten khusus Duterte, yang pergi berkunjung bersama seorang peniru Duterte. Tagar #NasaanAngPangulo (#DimanaPresidenku) menjadi viral dengan lebih dari 4.000 interaksi.

Sebagai perbandingan, sejak gempa bumi di Lombok pada 29 Juli lalu, Presiden Joko Widodo telah berkunjung ke pulau tersebut tiga kali. Ia bahkan memilih untuk menonton upacara penutupan Asian Games bersama para pengungsi.

Untuk seorang pemimpin yang mengaku “merakyat”, ketidakhadiran Duterte di Marikina telah membuat heran bahkan pendukung terkuatnya.

Namun sepertinya Eligado tidak peduli. “Saya tak keberatan. Saya juga tidak memilih Duterte. Saya memilih Aquino."

https://internasional.kompas.com/read/2018/09/17/16071921/banjir-marikina-filipina-dan-ketidakhadiran-duterte

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke