Salin Artikel

Generasi Milenial Vietnam yang Menantang Arus Zaman

Perusahaan multinasional biasanya berpikir bahwa yang perlu mereka lakukan adalah memproduksi sepeda motor dan mobil, serta menyediakan layanan keuangan dan kesehatan. Dengan semua itu, mereka akan mendapatkan banyak keuntungan dalam beberapa dekade ke depan.

Akankah begitu?  Hau, karyawan quality control sebuah perusahaan berusia 23 tahun yang baru saja bekerja di Ho Chi Minh City punya mimpi yang mungkin saja bisa menghancurkan rencana-rencana para perusahaan multinasional dunia yang sudah disusun dengan matang itu.

Hau punya obsesi selalu ingin bepergian ke suatu tempat. Berwajah tampan dan segar, Hau mengaku tidak menabung.

Dia juga belum berpikir untuk menikah atau membeli rumah. “Saya bahkan tidak belanja baju, memakai Adidas atau Nike, sebab itu terlalu mahal. Jangan kan pergi clubbing, saya bahkan lebih banyak minum kopi ketimbang bir,” tuturnya.

Sebaliknya, hasratnya untuk bisa bepergian begitu kuat. “Saya berhemat supaya bisa jalan-jalan. Kalau pekerjaan saya sudah lebih stabil, saya mau mengambil cuti satu tahun untuk menjelajahi dunia ke Paris, London, Singapura, dan Amerika,” ujarnya lebih lanjut.

“Saya sudah menjelajahi hampir semua tempat di Vietnam. Saya sudah sampai ke Da Lat (sebuah bukit tempat kaum kolonial dulu beristirahat) dan Nha Trang (kawasan pantai) dengan motor. Saya bahkan sudah pernah melintasi perbatasan Kamboja,” katanya.

Saat ini, Hau memiliki gaji VND 9 juta atau sekitar Rp 5,28 juta setiap bulan. Jumlah itu hanya sedikit lebih kecil dibandingkan penghasilan orangtuanya sebesar VND 10 juta atau sekitar Rp 5,8 juta per bulan.

Ayah Ibu Hau tinggal di kampung halaman mereka di provinsi Dong Thap, sekitar tiga jam dengan bis dari Ho Chi Minh City.

“Orangtua saya memiliki lahan dua hektar yang ditanami lemon dan kelapa. Menanam lemon tidak terlalu banyak menghasilkan uang setelah dipotong untuk biaya pupuk dan pestisida,” Hao menjelaskan.

“Ayah saya supir truk, dua kali seminggu dia mengendarai truk delapan jam dari provinsi Can Tho ke Da Lat, yang jauh ke pedalaman,” dia melanjutkan kisahnya.

Mengingat betapa sulit hidup kedua orang tuanya, sangat mengagumkan melihat mereka berhasil membiayai kuliah Hau selama empat tahun hingga menjadi sarjana Manajemen Industri dari Ho Chi Minh City University of Technology.

Mereka bahkan membelikan Hau sepeda motor meski Hau pun ikut mencicilnya dari hasil bekerja sebagai barista paruh waktu dan guru les privat. Tak heran kalau Hau rajin pulang untuk menengok kedua orangtuanya, sedikitnya sebulan sekali.

Saya bertanya apakah dia juga mengirimkan uang untuk mereka secara rutin? Dengan malu-malu dia menjawab, “Uang saya habis untuk travelling dan hangout dengan teman-teman," katanya.

Hau mengaku enggak punya cukup sisa untuk mengirimkan dana ke orangtua. "Tapi saya sudah berniat, kalau pekerjaan saya sudah lebih sukses, saya akan kirim mereka paling tidak VND 1 juta (sekitar Rp 580.000) per bulan,” katanya.  

Ketika saya mengorek lebih dalam soal gaya hidupnya, Hau menceritakan untuk apa saja uangnya itu. “Biaya hidup di Ho Chi Minh City itu tidak murah. Untuk sewa tempat tinggal, biayanya sekitar VND 1,2 juta (sekitar Rp 700.000) dengan tiga tempat tidur, dan saya membaginya dengan delapan orang lainnya di Distrik 4. Masing-masing bayar sewa VND 150.000 (sekitar Rp 88.000),” paparnya.

“Untuk bensin motor VND 200.000 (sekitar Rp 117.000), untuk makan setidaknya VND 2,3 juta (sekitar Rp 1,3 juta). Saya tidak merokok dan memakai pakaian bermerek. Saya lebih memilih menonton film-film Hollywood,” kata penggemar Transformer dan musik Barat ini.

“Maroon 5 itu sangat luar biasa!” lanjutnya bersemangat. Tapi Hau tetap mengikuti perkembangan musik dan band lokal. Penyanyi favoritnya adalah Noo Phuoc Thinh, dan dia pernah datang ke salah satu konser gratisnya belum lama ini.

“Secara keseluruhan,” kata dia, “Untuk biaya ‘hiburan’ saya butuh sedikitnya VND 800.000 (sekitar Rp 470.000) dan tambahan VND 200.000 (sekitar Rp 117.000) untuk pulsa telepon,” kata Hau.

Di tengah bertebarannya mal dan toko-toko kecil di Ho Chi Minh City yang ramai dengan teriakan pedagang tanpa henti… “BELI! BELI! BELI!”…, Hau justru menunjukkan antisesis tren global. Dia telah menjadi bagian dari generasi milenial.

Hau tak terpengaruh dengan “gaya” konsumerisme yang telah lama selalu digambarkan sebagai tipikal negara berkembang. Sebaliknya, dia justru memprioritaskan untuk “membeli” sebuah pengalaman ketimbang barang.

Pilihan Hau memiliki kesamaan dengan karakter kaum muda usia dua puluh tiga tahun di Berlin, San Francisco, atau pun Fukuoka.

Penelitian Harris Group menunjukkan bahwa tiga dari empat kaum milenial di seluruh dunia (78 persen) memilih untuk membelanjakan uangnya untuk sebuah pengalaman atau mendatangi sebuah acara, ketimbang membeli materi.

Sebanyak 55 persen kaum milenial mengaku menghabiskan uangnya lebih banyak untuk “menciptakan kenangan” dari sebelumnya, tanpa ada tanda-tanda tren akan menurun.

Dengan adanya obsesi yang mendunia akan pertumbuhan dan daya konsumsi, kaum milenial saat ini lebih fokus pada “melakukan sesuatu” dibandingkan “mendapatkan sesuatu”. Sehingga, mau tidak mau terbentuk tren ekonomi baru di mana anak-anak tak peduli lagi dengan merek-merek, sebut saja, H&M, Uniqlo, atau merek-merek asing lainnya.

Sekalipun saat ini sudah memiliki pekerjaan tetap, travelling tetap menjadi prioritas agenda Hau. Dia ingin dapat bepergian ke suatu tempat setiap 2-3 bulan sekali. Dia masih ingin bekerja di Vietnam tapi tidak cuma di Ho Chi Minh City.

“Saya ingin punya kesempatan bekerja di luar negeri, seperti di Bangkok atau Singapura. Tapi saya berpikir, saya tetap harus kembali. Saya ingin kembali,” ucapnya penuh keyakinan.

Hau berpikir untuk membangun keluarga di kota besar itu sebelum kembali ke kampung asalnya. “Karena prospek pekerjaan dan gaji di sini lebih baik,” Hau mengungkap alasannya.

Bagi kaum milenial seperti Hau, melakukan “perjalanan” adalah sesuatu yang esensial. Sesuatu yang harus dilakukan agar mereka bisa merasa segar dan hidup kembali. Seperti yang dia katakan, “Saya merasa tidak punya apa-apa kalau saya tidak melakukan sebuah ‘perjalanan’.”

Memang, sentimen “travelling itu harus” begitu kuat sehingga tak jarang mengabaikan tanggung jawab yang lebih penting, seperti membantu keluarga.

Namun, Hau dengan semangat dan keoptimisannya berbeda dengan pemuda-pemudi seusianya lainnya di dunia, yang lebih skeptis terhadap masa depan mereka, dan tidak percaya terhadap otoritas. Mereka, seperti generasi saya yakni generasi baby boomers, selalu berupaya keras untuk mendapatkan sebuah pemahaman dalam keadaan apapun.

Dan satu lagi, karakter Hau yang “tidak mau diam”, seperti keinginannya selalu berada dalam sebuah perjalanan, dan hasrat untuk selalu merasakan hal yang “baru” dan “tidak biasa” itu, tidak jauh berbeda juga dengan gen saya. Gen inilah yang mendorong saya bertahun-tahun melakukan perjalanan dan mengisahkannya dalam “Ceritalah”.

https://internasional.kompas.com/read/2017/08/30/15020691/generasi-milenial-vietnam-yang-menantang-arus-zaman

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke