Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gunakan Bumerang Aborigin, Rumah Mode Chanel Dikecam

Kompas.com - 17/05/2017, 09:55 WIB

SYDNEY, KOMPAS.com - Rumah mode asal Perancis, Chanel, mendapat kecaman karena memanfaatkan budaya Aborigin, dengan menjual bumerang yang seharga hampir 2.000 dollar Australia atau hampir Rp 20 juta.

Bumerang berwarna hitam yang terbuat dari kayu dan resin ini dijual di harga 1.930 dollar atau lebih dari Rp 19 juta.

Bumerang ini tersedia di kategori aksesori untuk koleksi musim semi dan musim panas 2017.

Dalam koleksi ini juga terdapat raket tenis senilai 2.220 dollar lebih dari Rp 22 juta, raket dan bola untuk tenis pantai senilai 4.860 dollar atau lebih dari Rp 49 juta, dan papan dayung yang harganya bisa diketahui setelah ditanyakan.

Bumerang ini menjadi ramai di jejaring sosial, ketika Jeffree Star, penata rias dan blogger asal Amerika Serikat (AS) mengunggah foto barang tersebut.

Baca: Pudarnya Jejak Aborigin

Pengguna jejaring sosial mencemooh karena harga koleksi yang mahal-mahal, namun penggunaan bumerang justru mendapat kecaman lebih karena dianggap memanfaatkan budaya milik penduduk asli Australia, suku Aborigin.

Seorang pengguna jejaring sosial menulis, "Memanfaatkan budaya mencapai titik terendah, saya sangat berharap Chanel menyumbangkan semua keuntungannya kepada komunitas Aborigin yang kurang mampu."

Penulis dan aktivis Nayuka Gorrie berkicau, "Saya memutuskan untuk menabung selama tiga tahun ke depan, sehingga bisa terhubung dengan budaya saya melalui Chanel."

Museum Nasional Australia menggambarkan bumerang memiliki "peranan penting dalam budaya Aborigin, sebagai objek karya dan permainan", namun setelah kedatangan orang Eropa di Australia, bumerang menjadi populer sebagai suvenir pada akhir abad ke-19.

Baca: Serunya Main Lempar Tangkap Bumerang

Sejak saat itu bumerang imitasi yang murah telah membanjiri pasaran, namun kini ada dorongan untuk melindungi produsen lokal.

Ganti rugi

Profesor Matthew Rimmer, pakar kekayaan intelektual dan inovasi dari Queensland University of Technology, mengatakan kontroversi ini menyoroti perlunya reformasi hukum.

"Sistem hukum hanya menanggapi sebagian masalah ini," kata Prof Rimmer.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com