Apakah polah ugal-ugalan ada dalam ilmu komunikasi, khususnya yang terkait ranah publik? Jika ada, apakah yang membuat hal itu bisa terjadi serta apa solusinya? Benarkan efek komunikasi publik seperti bullet theory --tajam dan berdampak ke audiensnya seketika?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, agar lebih menarik daripada sekedar paparan teori, bisa dikupas dengan menyodorkan sejumlah contoh mutakhir atas perilaku komunikasi publik Presiden Amerika Serikat ke-45, Donald John Trump.
Pertama, ketika sudah dipastikan menjadi pemenang pemilu, kita menjadi saksi bersama komunikasi publiknya, terutama melalui cuitannya di @realDonaldTrump, yang masih berpijak kaki sendiri sebagai calon Partai Republik. Bukan bapak bangsa.
Alih-alih mempersatukan warga sebagai komunikan yang baru melewati kampanye terpanas dan segresial sepanjang sejarah, Donald Trump menjelma menjadi pemenang pemilu yang malah terus berkampanye menangkis publik yang kritis.
Tak ketinggalan, media massa sebagai pilar negara ke-empat (fourth estate) terus menerus diserang, bahkan sempat ada labelling pernyataan menyakitkan sebagai entitas paling tak jujur terkait hasil polling media yang tiada memenangkan dirinya.
Padahal, dalam praktik media massa profesional dimanapun --apalagi di Amerika Serikat sebagai salah satu barometer global selain Jerman-- pemuatan hasil polling adalah bentuk komunikasi massa dari narasumber yang dicuplik.
Ini kemudian seolah menggenapkan antipati publik pada pola komunikasi publiknya yang sejak menjadi calon presiden dan kampanye, umumnya tendensius, melecehkan perempuan, rasis, dan penuh ujaran kebencian.
Jadi, manakala dia tahu jadi pemenang yang sebetulnya tak telak dan warganya masih terpecah belah, sikap dan pikirannya tak cepat ingin menjadi komunikator pengayom bangsa. Tak bergegas menyatukan kembali pelbagai beda dengan infomasi utuh yang simpatik.
Ini diperburuk dengan memusuhi fourth estate di negeri tersebut, sehingga proses pemulihan citra kepada publik melalui media massa tak bisa segera dilakukan. Sebagai pembentuk opini, media otomatis makin menjauhkan citranya sebagai ayah bagi semua.
Kedua, belum genap sebulan menjabat, Donald Trump mengkomunikasikan kebijakan pembatasan warga negara asing masuk negara tersebut yang kemudian kita kenal dengan tagar MoslemBan dan memuncaki banyak persepsi dari netizen.
Hal ini patut dikritisi dengan sangat, karena saat menginformasikan, Trump sebagai komunikator tak mampu menyatakan gagasan dan argumen dengan logis, sehingga respon komunikasi yang terjadi adalah pembuktian sentimen rasis dari kampanye-nya.
Trump sekedar bunyi kala itu, karena basis data dari kebijakannya tak mampu diperlihatkan. Jangankan terhadap tujuh negara yang dilarang masuk (Somalia, Iran, Irak, Suriah, Sudan, Libya, dan Yaman) apalagi ummat Islam dunia, pada warga Amerika Serikat pun, kebijakan tak mampu diartikulasikan secara mengalir.
Kompas edisi 1 Februari mencatat, bersumber lembaga peneliti New America, bahwa 12 serangan mematikan setelah serangan Black September (11 September 2001), ternyata tak seorang pun pelakunya berasal dari tujuh negara yang dilarang.
Bahkan, ini yang mencengangkan, ke-12 serangan tersebut dilakukan semuanya oleh warga Amerika Serikat dan atau penduduk legal di negeri Paman Sam itu. 7 dari 12 serangan teroris malah diketahui bukan saja warga, tapi lahir di Amerika Serikat.
Analis keamanan nasional CNN, Peter Bergen menegaskan, 12 serangan mematikan setelah Black September ditangkap 400 pelaku individu dengan 80% diantara mereka adalah warga resmi Amerika Serikat. Trump tak terus terang soal ini saat mengumumkan MoslemBan.