Lahir di Surabaya tapi besar di Los Angeles, Michael Haris (22) adalah seorang software programmer. Ketika dia berbicara, satu ruangan seolah terhipnotis oleh paparannya yang kaya dengan kata-kata mutiara sekaligus sarat dengan istilah-istilah teknologi.
Bagi Michael, “gereja adalah kampus”, dan “…keimanan bukanlah sesuatu yang meragukan. Itulah keyakinan.”
Tak ada satu cara untuk mendapatkan “tiket” masuk Silicon Valley yang menawarkan 100.000 dolar AS ditambah gaji awal dan berbagai fasilitas tunjangan. Gelar dan koneksi pun tidak berguna di sana dan generasi muda, seperti yang kita tahu, sangat susah diatur.
Tetapi Michael memiliki saran. “Kalian harus bagus dalam melakukan apa pun, dan harus punya keingintahuan untuk menyelesaikan masalah. Kemampuan kalianlah yang kelak membuktikannya.“
Jadi ketimbang menyelesaikan kuliahnya, Michael lebih memilih untuk mengikuti “boot-camp” selama tiga bulan untuk mendapatkan pelatihan intensif tentang “coding” -- salah satu program yang difasilitasi raksasa teknologi terkemuka di Valley.
Tentu saja pelatihan tentang coding ini berbeda dengan kuliah yang diberikan Stanford University--yang memiliki sumber daya kuat dengan dukungan dana hingga 22 juta dolar AS, dan prestasi akademik yang spekatakuler.
Stanford tercatat telah memberikan kesuksesan dari generasi ke generasi bagi para pemain di industri teknologi Bay Area, mulai dari Hewlett-Packard hingga Oracle, lalu Apple, Facebook dan Snapchat.
Keberhasilan demi keberhasilan telah menghasilkan kesuksesan.
Setiap pengusaha ingin menjadi Mark Zuckerberg berikutnya ketika para kapitalis sedang mencari-cari “unicorn” berikutnya. Inilah yang memperkuat dominasi AS di industri teknologi global.
Saat ini, 7 dari 10 perusahaan teknologi terbesar dunia adalah perusahaan Amerika. Namun, dominasi ini diikuti munculnya berbagai masalah, seperti Google yang sedang menghadapi tuntutan pajak baik di Uni Eropa dan bahkan di Indonesia.
Tetapi yang paling penting adalah apakah dominasi teknologi ini (oleh Amerika) akan berlangsung terus?
Keberhasilan dalam semalam dari sejumlah programmer telah mendorong banyak perusahaan start-ups mengolah sumber dayanya--seolah untuk mengatasi masalah-masalah utama dunia—dengan mengembangkan konten-konten baru untuk aplikasi mobile, atau untuk area-area yang lebih penting, seperti kesehatan dan pendidikan.
Namun buruknya adalah ketika keberhasilan instan itu justru menggiring mereka menjadi merasa berhak untuk mendapatkan privilege atau perlakuan istimewa. Ini telah melahirkan budaya yang arogan dan ketidakpedulian terhadap sekelilingnya.
Boleh jadi banyak dari mereka tidak tertarik dengan pemilihan presiden AS.
Memang dalam dunia yang bergerak serba cepat ini, membuat para programmer itu kehilangan jati dirinya.