Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seksisme Merusak Politik Inggris Saat May Bersiap Gantikan Cameron

Kompas.com - 13/07/2016, 15:43 WIB

LONDON, KOMPAS.com – Inggris bersiap menyambut Theresa May sebagai wanita kedua perdana menteri di tengah masih rendahnya kesetaraan yang ditandai serangan di dunia maya.

Hal itu disampaikan pemimpin kelompok hak asasi perempuan, Rabu (13/7/2016), menjelang pelantikan Menteri Dalam Negeri itu menjadi PM Inggris menggantikan David Cameron.

Cameron juga telah memimpin rapat kabinet terakhirnya sebelum ia meletakkan jabatan secara resmi, yang memuluskan Theresa May menjadi PM Inggris.

May menjadi wanita PM kedua Inggris sesudah Margaret Thatcher. Langkahnya juga mulus setelah satu-satunya pesaingnya, Andrea Leadsom, mundur pada Senin (11/7/2016).

Theresa May menjanjikan langkah besar, menginginkan kesetaraan perempuan politisi, yang masih menjadi tantangan, kata Sam Smethers, Ketua Pelaksana The Fawcett Society.

"Kami memilik cara dalam jangka panjang sebelum perempuan dalam berpolitik diberikan kesempatan yang adil sejak awal," kata Smethers kepada Reuters.

Hanya 29 persen kursi parlemen Inggris ditempati perempuan. Inggris peringkat ke-39 di dunia untuk representasi perempuan di parlemen, di belakang Rwanda, Bolivia, dan Kuba.

Smethers kecewa dengan pemberitaan surat kabar yang lebih fokus pada sepatu hak tinggi milik May dan jenis kelaminnya.

Padahal, yang paling penting adalah kebijakan atau kemampuan May sebagai PM Inggris yang akan menahkodai Inggris setelah keluar dari Uni Eropa atau Brexit, bulan lalu.

Fokus pada sepatu Mei memunculkan kritik pada media sosial seperti Twitter dan Facebook.

Kampanye Laura Bates, yang bergerak pada laman tentang seksisme,  menuliskan opini, "Hal ini tak penting. Komentar atas seksisme membuat fokus perhatian jauh dari yang seharusnya.”

Dalam dua tahun ini, Skotlandia dan Irlandia Utara, misalnya telah memilih wanita sebagai menteri pertamanya.

Pemimpin Partai Nasional Skotlandia Nicola Sturgeon menjadi wanita pertama dilantik pada 2014 dan terpilih kembali Mei 2016.

Partai Demokrat Bersatu Arlene Foster menjadi pemimpin wanita pertama Irlandia Utara, Januari lalu.

Jika terpilih, Hillary Clinton juga akan menjadi perempuan pertama Presiden AS, bergabung dengan 18 perempuan kepala negara lain, termasuk Inggris, Nepal, Jerman, dan Taiwan.

Smethers mengatakan, berada di posisi berpengaruh berarti pemimpin perempuan harus terus mendorong hak kaumnya, menghilangkan kesenjangan jender, dan mengatasi kekerasan dalam rumah tangga.

"Kami harus senang melihat perempuan di sana dan itu benar-benar layak dirayakan. Tapi, di dalam keyakinan dan hanya diri sendiri, itu tidaklah cukup," katanya.

"Mari menggunakan momen Brexit yang membuat kami yakin tidak ada lagi penyalahgunaan hak-hak asasi perempuan," kata Smethers.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com