Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Tawanan ISIS yang Dijual sebagai Budak Seks

Kompas.com - 14/04/2015, 16:17 WIB
DUHOK, KOMPAS.com — Di hamparan kamp para pengungsi di Shariya, ribuan warga Yazidi hidup tak jauh dari salah satu garis depan medan pertempuran Kurdistan Irak lawan ISIS. Sebagian besar penghuni kamp berasal dari kota Sinjar dan melarikan diri dari serangan ISIS di sana pada Agustus lalu. Namun, tidak semua orang berhasil melarikan diri. ISIS menahan ribuan warga Yazidi.

Para pria dihadapi pilihan, yaitu masuk Islam atau ditembak. Namun, kaum militan ISIS memisahkan para perempuan muda dan gadis untuk dijual sebagai budak seks.

Dalam edisi keempat Dabiq, majalah online ISIS, sebuah artikel berjudul "The revival of slavery before the hour" menguraikan justifikasi dan pedoman kelompok itu terkait perbudakan terhadap warga Yazidi.

"Orang harus ingat bahwa memperbudak keluarga kaum kafir dan mengambil perempuan mereka sebagai selir merupakan aspek yang ditetapkan secara tegas dalam Syariah," bunyi artikel tersebut.

Sejumlah laporan menyebutkan bahwa perempuan yang baru saja melahirkan atau sedang menyusui dianggap tidak murni dan tidak dapat diambil sebagai budak seksual. Hanan (19 tahun), bukan nama sebenarnya, tidak termasuk keduanya.

"Mereka memisahkan kami," kata Hanan. "Mereka menyeret kami pergi dengan menarik rambut kami. Mereka mengambil para perempuan yang sudah menikah, yang muda-muda. Yang termuda bersama kami berusia 10 tahun. Kami semua menangis. Mereka mengatakan kami akan menikahi kalian semua, kalian akan melupakan keluarga kalian," kata Hanan kepada CNN.

Selama minggu pertama, Hanan ditahan bersama 50 orang lain. Selama itu pula mereka  secara teratur dipukul dan diancam akan disiksa, dan makan hanya semangkuk nasi.

Kelompok itu kemudian dibawa ke sebuah bangunan tiga lantai di Mosul yang Hanan gambarkan sebagai sebuah gudang budak seks. Di situ ratusan gadis dan perempuan ditahan.

"Mereka akan membariskan sekitar 50 orang dari kami pada suatu waktu dalam 10 baris. Mereka akan bilang jangan bergerak, jangan menangis atau kami akan pukul kalian. Para pria akan datang dan menjelaskan jenis perempuan yang mereka inginkan dan mereka akan memilih dan bawa sesuka hati," kenang Hanan.

Dia akhirnya dipilih menjadi bagian dari sebuah kelompok yang terdiri 25 orang. Dari kelompok itu, Hanan dipisahkan ke sebuah kelompok yang lebih kecil lagi yang berjumlah tujuh orang dan dibawa ke sebuah rumah di sebuah desa.

Dua petempur ISIS menjaga pintu dan memerintahkan para gadis untuk membersihkan diri dan mandi. "Mereka membawa masuk seorang gadis Yazidi yang telah bersama mereka selama dua bulan. Dia mengenakan niqab hitam. Mereka mengatakan kepada kami bahwa mereka akan melakukan apa yang mereka telah lakukan terhadap perempuan itu," kata Hanan. "Gadis itu mengatakan kepada kami dalam bahasa Kurdi dan mengatakan bahwa mereka memukuli dia, mereka memborgol, dan memerkosa dia."

Hanan dan sejumlah perempuan lain memutuskan bahwa mereka harus mencoba untuk melarikan diri. Pada suatu malam mereka merangkak keluar jendela kamar tidur. "Gadis keempat melompat keluar, saya yang kelima. Saya merangkak ke dinding dan hendak melompat di atasnya dan kemudian saya melihat senter mereka (ISIS)," katanya. "Mereka menangkap dua gadis terakhir."

Mereka berlari, dan entah bagaimana lolos dari penangkapan. Empat jam kemudian mereka sudah keluar dari wilayah ISIS.

"Jika saya melihat seseorang berjenggot, saya mulai gemetar," kata Hanan.

Secara fisik, Hanan kini bebas, tetapi secara mental masih tertawan. Perempuan itu tetap tersiksa, seperti banyak orang lainnya, dengan apa yang telah dia lalui.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com