Dalam wawancara baru-baru ini dengan Financial Times, Ketua Dubai Multi Commodities Centre, Hamad Buamim, mengatakan bahwa sanksi terhadap Rusia tidak berdampak di luar Barat. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa upaya menghentikan arus bisnis justru hanya mengalihkannya ke tempat lain.
“Fakta bahwa ekonomi tidak sepenuhnya dikendalikan oleh satu sisi dunia membuat sanksi ini kurang efektif,” kata Buamim. “Perdagangan terus mengalir, hanya saja mengalir dengan cara yang berbeda.”
Melanjutkan impor dan mempertahankan ekonomi tidak mungkin bisa dilakukan oleh Rusia tanpa pendapatan substansial yang dihasilkan dari penjualan sumber daya energinya. Dalam sektor ini, lagi-lagi Rusia mengandalkan aktor-aktor luar yang bersedia untuk menentang koalisi sanksi Barat.
Pada Desember 2022, Inggris bersama negara-negara G7, Australia, dan Uni Eropa, menerapkan batasan harga minyak sebesar 60 dolar per barel guna menghambat perusahaan-perusahaan Barat dari mengangkut, melayani, atau menjadi perantara kargo minyak mentah Rusia. Hal ini dilakukan guna melemahkan perdagangan minyak Rusia, yang sangat bergantung pada tanker yang dimiliki dan diasuransikan oleh perusahaan-perusahaan Barat.
Akibatnya, Rusia beralih ke “armada gelap” yang terdiri dari kapal tanker tua tanpa kepemilikan yang jelas, khususnya yang berasal dari Yunani. Para pengusaha besar di bidang pelayaran Yunani – yang berkontribusi besar dalam perdagangan minyak global – telah turun tangan dan menjual ratusan kapal tua kepada Rusia. Fenomena ini dijuluki sebagai “Penjualan Kapal Tanker Besar-besaran Yunani”.
Melansir dari TradeWinds, para pemilik kapal Yunani telah menjual sedikitnya 125 kapal pengangkut minyak dan barang yang senilai lebih dari 4 miliar dolar guna mendukung operasi “armada gelap” Rusia.