Gereja Katolik Roma yang kuat juga sempat mengkritik rezim Marcos.
Pemerintahan AS di bawah Ronald Reagan pun juga akhirnya menangguhkan beberapa bantuan militer.
Marcos, yang semakin terisolasi di istananya, mengira dia bisa mengandalkan dirinya sekali lagi dengan naluri politiknya yang cerdik.
Pada akhir 1985, di bawah tekanan dari pemerintahan Reagan, dia kembali mengejutkan Filipina.
Dia mengumumkan di televisi AS bahwa dia akan menguji popularitasnya dalam pemilihan presiden "snap" yang akan diadakan pada 7 Februari 1986.
Itu dianggap sebagai langkah cekatan, yang mungkin sekali lagi bisa menyelamatkan salah satu operator politik paling licik di dunia.
Baca juga: Biografi Tokoh Dunia: Ferdinand Marcos, 21 Tahun Berkuasa di Filipina
Namun, Marcos salah menilai. Dukungan terhadapnya jauh berkurang setelah pembunuhan Aquino.
Ia juga salah menilai daya tarik janda mungil Aquino yang berusia 53 tahun, Corazon Cojuangco Aquino, yang berhasil menyatukan oposisi di balik pencalonannya sebagai presiden.
Pemilihan Februari 1986 pun dirusak oleh tingkat kecurangan, mulai dari pendaftaran hingga penghitungan, yang mencapai puncak tertingginya, bahkan menurut standar Filipina.
Marcos menyatakan dirinya sebagai pemenang pemilu, namun, kebanyakan orang Filipina mengutuk hasilnya sebagai kepalsuan.
Aquino memimpin para pendukungnya dalam kampanye pembangkangan sipil. Namun pada akhirnya, pemberontakan militer pada 22 Februari 1986, yang dipelopori Menteri Pertahanan Enrile lah yang membuat Marcos kehilangan kekuasaannya.
Baca juga: Unjuk Rasa Terkait Pemakaman Ferdinand Marcos Terus Terjadi
Kardinal Jaime Sin meminta umat Katolik Filipina untuk turun ke jalan dalam pertunjukan besar "kekuatan rakyat".
Warga mencegah tank dan pasukan yang setia kepada Marcos menyerang para pemberontak.
Senator AS Paul Laxalt lalu menyampaikan ultimatum kepada orang yang telah menikmati dukungan dari lima presiden Amerika itu.
Dalam panggilan telepon ke Marcos, Laxalt memberitahunya tentang keputusan menyakitkan Reagan.