Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Pandangan Komunitas China Asia Tenggara terhadap Masa Depan

Kompas.com - 26/01/2017, 19:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

SERI Kembangan, Selangor, terletak 22 km arah Selatan Kuala Lumpur dan hanya 22 menit perjalanan dari Putrajaya, pusat administrasi Malaysia.

Enam puluh tahun yang lalu, kawasan ini merupakan semak belukar yang dipenuhi tambang timah, perkebunan karet, dan sejumlah pasar buah dan sayuran.

Kawasan ini adalah rumah bagi warga campuran yang didominasi komunitas China-Malaysia yang sebagian besar orang Hakka--musafir berwatak keras dari China bagian Selatan--masyarakat yang terbiasa hidup di daerah pinggiran.

Pada awal 1950-an, sebagian besar penduduk dikumpulkan ke dalam sebuah nama "Desa Baru" seperti Sekinchan dan Jinjang –ini sebagai upaya pemerintah kolonial Inggris meredam pemberontakan komunis.

Kawasan yang sebelumnya disebut sebagai "tanah tak bertuan" ini kemudian bertransformasi menjadi sebuah real estate pilihan. Ada kompleks olahraga persemakmuran yang ikonis, kemudian track pacuan kuda "Selangor Turf Club", serta Istana Golden Horses, tempat penginapan yang aneh di era Mahathir, dan pabrik-pabrik kecil yang tak terhitung, kota, pusat perbelanjaan, dan perumahan.

Menjelang perayaan Tahun Baru China, saya datang untuk meluangkan waktu dengan keluarga muda China-Malaysia, untuk mendapatkan sebuah gambaran bagaimana mereka memandang Tahun Ayam yang akan datang.

Temuan baru-baru ini cukup memilukan. Lembaga pemikir The Asian Strategy and Leadership Institute (ASLI) sudah memperingatkan bahwa jumlah anggota komunitas ini terus turun.

Tahun 1957, jumlah warga China-Malaysia sekitar 37,2 persen dari seluruh populasi. Menurut ASLI, jumlah tersebut bisa jatuh hingga 19,6 persen pada 2030 jika tren perpindahan penduduk masih terjadi. Kajian World Bank juga mengklaim bahwa sekitar 57 persen migrasi orang-orang China-Malaysia adalah ke Singapura.

Charlyn Lee dan Steven Chan – keduanya berumur tiga puluhan, hidup dengan dua anak perempuan di rumah semi-terpisah pada sebuah jalan buntu yang tenang, jauh dari kebisingan sehari-hari. Terlindung di belakang pos keamanan, rumah mereka terletak di sebelah kanan rumah orang tua Steven dengan penghubung yang nyaman di lantai satu.

KARIM RASLAN Steven dan Charlyn tinggal bersebelahan dengan keluarga Steven dalam kompleks yang sama di Seri Kembangan.
Charlyn yang kelahiran Melaka sangat menanti-nanti acara tahunan ini. Berasal dari keluarga besar, ia melihat perayaan tersebut sebagai ajang reuni dan juga kesempatan bagi anaknya untuk mendapatkan pengalaman kebudayaan mereka – dari tarian Barongsai, hingga mendapat Angpao.

Sementara Steven memiliki bisnis pembuatan baja yang sukses. Sebanyak 50 persen baja yang produksinya untuk diekspor.

Ia sangat peduli dengan nasib baiknya, mengingat beratnya tantangan ekonomi yang sedang terjadi saat ini – menurunnya nilai tukar Ringgit dan permintaan domestik yang sedang lesu -- tidak berdampak pada pabriknya.

"Malaysia masih menjadi tempat terbaik di kawasan untuk (industri) manufaktur. Biaya-biayanya masuk akal dan efisien. Di negara lain, terlalu banyak politisi."

Bagi Steven, kata "politisi" adalah sebuah istilah untuk campur tangan birokrasi yang tak perlu dalam bisnis.

Seperti kebanyakan pengusaha, ia tak mengapresiasi ketidakpastian politik, dengan menekankan, "Mereka harus segera menyelesaikan dan mengakhiri pemilu, sehingga kami dapat kembali bekerja."

Steven sangat bangga dengan identitas Hakka yang melekat pada dirinya, "Ayahku selalu mengajarkan aku pentingnya kemerdekaan, semangat dan ketahanan." Ibu Charlyn, secara kebetulan, juga orang Hakka.

Steven memanfaatkan jaringan klan di Balakong untuk memperkuat ikatannya dengan lingkungan, khususnya dalam hal perekrutan – mengilhami lahirnya bisnis dengan etos komunitas dan keluarga yang kuat.

Namun, sikap optimistis pasangan ini berubah tiba-tiba ketika kami mulai membicarakan keamanan. Sangat jelas bagi mereka bahwa hukum dan ketertiban menjadi masalah dasar – suatu hal yang dapat mendorong mereka untuk bermigrasi. Namun, dengan dua anak yang masih kecil, mereka enggan untuk mengambil kesempatan itu.

Steven bercerita kepada saya, "Kami membayar 150-200 Ringgit setiap bulan untuk keamanan setempat, untuk memastikan anak perempuan kami dalam keadaan aman."

"Saya sendiri yang mengantar Zo Yee ke Taman Kanak-Kanak (TK) dan menjemputnya setiap hari. Tempat penitipan anak dan TK di kawasan ini juga telah memberlakukan prosedur yang ketat, dan anak-anak tidak diizinkan untuk bermain di jalan," Charlyn menambahkan.

KARIM RASLAN Charlyn Lee belajar di sekolah bahasa Cina namun akhirnya berhasil memperoleh gelar sarjana di sebuah universitas di Inggris. Ia sekarang ingin mengirim anak-anaknya ke sekolah internasional untuk pendidikan yang lebih baik.
Namun dengan semua ciri khas keluarga China-Malaysia, Charlyn yang berpendidikan Mandarin, dan menempuh studi dua tahun di Universitas Nanjing yang prestisius, tidak tertarik sama sekali untuk menerapkan sistem pendidikan yang ia bawa serta.

"Terlalu banyak pelajaran menghafal. Saya ingin anak kami belajar sambil bermain dan menghabiskan waktu di luar rumah. Anda tak bisa hanya belajar saja dan tidak memiliki kehidupan sama sekali."

Ia sendiri beralih ke studi hukum dan pindah ke Leeds University, tempat di mana ia merasa lebih bahagia.

Walaupun demikian, pengalaman membuatnya frustasi ketika ia tidak dapat membuka praktek sebagai pengacara karena otoritas menolak untuk menerima kualifikasinya.

"Saya mengajukan permohonan tiga kali. Saya merasa sangat tidak adil ketika mereka menolak UEC – ijazah SMA China swasta saya."

Bagaimanapun, Charlyn tidak melulu melihat China itu baik.

"Saya mendapati para mahasiswa di Nanjing terlalu terobsesi dengan studi mereka. Mereka hanya berupaya keras untuk masuk ke salah satu universitas top di China, dan tak ada lagi yang mereka kerjakan. Kebijakan satu anak juga bisa berakibat mereka menjadi terlalu agresif dan manja. Kami tidak menyukainya."

Ketika pasangan ini peduli dengan kemungkinan berlakunya Hukum Syariat untuk non-Muslim, mereka relatif optimistis dengan hubungan antar ras yang sering diuji di negara ini.

"Isu ras hanya politik. Saya percaya bahwa penduduk Malaysia yang berasal dari semua ras dapat bekerja sama secara harmonis."

Di sebuah era globalisasi, Steven dan Charlyn mengungkapkan hal-hal yang perlu dibangun dari pengalaman persilangan Asia Tenggara China – seperti menyesuaikan realitas sosial, kultural dan edukasi. Sehingga ketika mereka diidentifikasikan kuat sebagai China Hakka, mereka tidak takut terhadap inovasi.

Bila belajar sambil "bermain" dalam pelajaran Bahasa Inggris lebih mendorong perkembangan anak-anak dalam jangka panjang maka itulah yang akan mereka lakukan.

Sementara itu, Charlyn menekankan dengan segenap ketetapan sebagai keturunan Hakka.

"Kami tidak pernah berpikir sungguh-sungguh untuk bermigrasi. Keluarga kami di sini."

Video Hari Raya Imlek: https://youtu.be/TfAjrnUpxQw 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com