Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puluhan Simpatisan Papua Barat Merdeka Berunjuk Rasa di KJRI Melbourne

Kompas.com - 12/01/2017, 06:49 WIB

MELBOURNE, KOMPAS.com - Sedikitnya 30 orang simpatisan gerakan seperatis Papua Barat berunjuk rasa di deoan kantor KJRI Melbourne, Rabu (11/1/2017).

Jumlah pengunjuk rasa yang hadir  jauh lebih sedikit dari undangan yang disebar lewat jejaring sosial Facebook itu.

Menurut undangan tersebut sebanyak 159 orang akan hadir dalam aksi yang disebut digelar People Need Houses, organisasi yang mengkampanyekan masalah tunawisma dan perumahan sosial di Australia.

Namun di lapangan akhirnya tidak diketahui secara pasti organisasi yang menggelar unjuk rasa di kantor KJRI. Tidak ada pula peserta yang mengaku perwailan dari People Need Houses.

"Saya bukan dari organisasi mana pun, datang kesini setelah mendapat telepon dari teman diajak datang ke unjuk rasa. Sepertinya ada beberapa organisasi," ujar salah seorang yang datang ke unjuk rasa kepada ABC Australia Plus Indonesia.

Puluhan orang itu mulai menggelar unjuk rasa dengan membentangkan beberapa spanduk sekitar pukul 11.00 waktu Melbourne, terlambat satu jam dari rencana semula.

Sementara sejumlah personel kepolisian negara bagian Victoria dan kepolisian federal Australia (AFP) menjaga ketat kantor KJRI.

Unjuk rasa dimulai dengan menyanyikan beberapa lagu, di antaranya beberapa lagu dalam bahasa Papua.

Jacob Rumbiak, dari organisasi Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) dalam orasinya merujuk kejadian saat seorang warga Australia naik ke atas gedung kantor KJRI Melbourne pekan lalu dan membentangkan bendera kelompok separatis Papua.

Jacob mengutip laporan media yang menyebut kejadian tersebut telah menyulut kemarahan dari pemerintah Indonesia.

Dia menambahkan, Menlu RI Retno Marsudi meminta pemerintah Australia untuk menemukan, menangkap, dan memenjarakan pelakunya.

Presiden Joko Widodo juga memberikan pernyataan yang sama dengan Menlu Retno, bahwa "penerobosan di gedung KJRI di Melbourne merupakan tindakan kriminal".

Jacob menilai pernyataan Menlu Retno Marsudi dan Presiden Joko Widodo tidak pada tempatnya.

"Ucapan menlu itu tidak adil. Kejadian yang dilakukan warga Australia itu (dilakukan) untuk menyoroti masuknya pemerintah Indonesia ke kawasan Papua Barat pada 1961," ujar Jacob.

"Yang menjadi kriminal seharusnya adalah Indonesia, negara-negara lain, dan badan PBB yang telah membiarkan ribuan rakyat Papua Barat diculik dan dibunuh," tambah dia.

Jacob adalah aktivis asal Papua Barat yang telah mengasingkan diri di Australia, setelah menjadi tahanan politik selama sepuluh tahun di Indonesia.

Tak lama berselang seorang pengunjuk rasa perempuan mencoba mendobrak gerbang kantor KJRI sambil berteriak "Free West Papua".

Polisi yang melihat aksi itu dengan sigap langsung "menyingkirkan" pelaku dan kemudian meminta keterangan. Perempuan itu akhirnya bisa bergabung kembali dengan pengunjuk rasa lainnya.

Satu jam kemudian unjuk rasa berakhir dan ditutup dengan menyanyikan sejumlah lagu bersama dan meneriakkan slogan "Papua Merdeka".

Setelah unjuk rasa bubar, aparat keamanan menahan seorang pengunjuk rasa dan memasukkannya ke dalam mobil polisi.

Beredar informasi pria tersebut ditangkap karena telah melumuri dinding kantor KJRI dengan menggunakan cat merah.

Namun, polisi yang bertugas di kantor KJRI tidak memberikan keterangan terkait informasi tersebut.

Sementara itu terkait pengibaran bendera OPM pekan lalu, kedubes Indonesia telah menjelaskan kepada Australia Plus mengapa tindakan tersebut dianggap sebagai perbuatan kriminal. 

Pihak kedubes menyebut perbuatan itu termasuk pelanggaran trespassing atau memasuki properti milik orang lain tanpa izin.

"Kami mendapat keterangan dari Polisi Federal Australia (AFP) bahwa perbuatan itu telah melanggar hukum trespassing, yakni melanggar masuk ke properti milik orang lain tanpa izin." kata Sade Bimantara kepada Erwin Renaldi dari Australia Plus Indonesia, hari Senin (9/1/2017).

Sesuai hukum negara bagian Victoria, pelaku penerobosan properti tanpa izin terancam hukuman maksimal enam bulan penjara dan denda 2.500 dolar Australia atau lebih dari Rp 25 juta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com