Giovanni Vidana, pemuda 21 tahun yang akrab dipanggil Gio ini adalah generasi kedua keturunan Meksiko Amerika yang tinggal di Houston—kota yang 35 persen dari 5,9 juta penduduknya berdarah Latin.
Mengikuti panasnya konflik antara Jorge Ramos, presenter berita stasiun televisi berbahasa Spanyol, dengan Donald Trump dan komentar kandidat Partai Republik yang menyerang warga Meksiko ini, saya berharap untuk bertemu dengan basis pendukung yang loyal dan kuat terhadap pencalonan Hillary Clinton dari Partai Demokrat.
Namun, kedatangan saya di Texas ini telah menunjukkan kepada saya bagaimana warga Latin—di antara banyak warga lainnya—telah terpengaruh oleh komentar-komentar negatif tanpa henti dari media seperti Fox News, dan perlunya kita memahami mereka yang berjumlah 55 juta orang ini secara hati-hati karena mereka begitu rumit dan beragam.
Keluarga Gio merupakan keluarga besar, yang sangat Meksiko dan memiliki ikatan erat satu sama lain.
Berkeliling di lingkungan tempat tinggalnya, Gio menunjukkan pada saya rumah saudara-saudaranya. Ibunya, Sylvia Caldas yang tampak muda diusianya yang ke-43, bercerita, "Anggota keluarga kami ini sangat banyak. Jadi kalau kami mengadakan pesta, tak perlu lagi mengundang orang luar!"
Gio tinggal bersama ibu dan ayah tirinya di Spring Shadows. Sehari-harinya, dia mengikuti kuliah di Community College, dan bekerja dengan abangnya, Josh, yang berbisnis aksesoris senjata secara kecil-kecilan di online.
Spring Shadows adalah lingkungan yang didiami oleh mayoritas keturunan Meksiko-Amerika dengan model rumah satu lantai yang sederhana tapi punya halaman yang luas. Pemandangan ini sangat berbeda dengan Hedwig Village, lingkungan kulit putih Amerika yang berada di seberangnya.
Di sana sekolah-sekolah dan fasilitas pemerintah jauh lebih baik dan hampir terlihat mewah. Rumah-rumahnya lebih besar, jalan dan trotoarnya pun lebih terawat. Tapi, Gio tetap mencintai lingkungan tempat tinggalnya.
Dia bahkan tak berminat ingin tahu lebih jauh melebihi khayalannya. Perjalanannya di awal tahun selama dua pekan ke New York dan Universitas Yale untuk mengunjungi teman SMA-nya, tampaknya telah membukakan matanya.
"Semua orang di Yale memiliki hubungan sosial dan lingkungan yang sangat produktif. Saya juga takjub dengan keramaian kota New York yang begitu berbeda dengan Houston. Tapi itu membuat saya berpikir, agar kamu bisa bertahan di kota itu maka kamu harus melakukan hal yang betul-betul spesial."
"Saya mengerti dan bisa berbicara Spanyol sedikit sekali. Setelah orang tua saya berpisah, ibu saya tidak memaksa saya untuk berbicara Spanyol, seperti ayah saya. Abang saya yang tertua bercakap Spanyol dengan ayah saya setiap saat. Sekarang, setelah dewasa, saya menyadari ada jarak antara saya dengan kultur saya, yang membuat saya 'terpisah' dari identitas orang Meksiko."
Gio lalu teringat dengan Monterrey, lingkungan di mana ayahnya tinggal, dan keterkejutannya oleh kehidupan di sana yang lebih susah.
Gio hanya terdiam ketika abangnya, Josh, bercerita kepada saya tentang bisnis senjata yang mereka geluti. Josh menunjukkan berbagai aksesoris senapan otomatis AR15 yang mereka miliki dan kemudian menjelaskan kepada saya bagaimana memegang senapan secara aman.
Josh adalah seorang Libertarian—penganut paham kebebasan—yang sangat berhasrat. Dia sangat kritis terhadap pemerintahan yang “besar” dan retorika anti senjata Presiden Barrack Obama.
Tanpa sepengetahuan saya, Josh pun rupanya membawa pistol “Glock” yang diselipkan di pinggangnya. Saya yang berasal dari negara yang melarang pemilikan senjata secara pribadi, merasa sedikit gelisah dan memintanya untuk segera menutupi senjatanya.
Ketika kami berbincang soal politik, hal-hal yang tersembunyi menyangkut perpolitikan Amerika pun terungkap, seperti misalnya, soal kekuatan yang mendasari loyalitas masyarakat Texas, dan pentingnya orang luar untuk mengenal dulu sebelum membuat pernyataan tentang Latinos.
Josh dan Gio, terutama Josh, tidak suka dengan Clinton dan dengan jelas mengungkapkan ketidakpercayaannya terhadap mantan Menteri Luar Negeri itu.
Kedua lelaki muda ini sesungguhnya tak puas dengan pilihan calon Presiden yang ada. Meski begitu, mereka merasa dari dua kandidat yang bertarung, Trump-lah yang terbaik. Gio bahkan mengaku ada kemungkinan tidak akan memilih.
Saya meminta Gio untuk menggambarkan perasaannya tentang serangan Trump terhadap warga Meksiko. Dia pun menjawab dengan terang, "Trump hanya mengacu pada tindak kriminal yang terjadi di sini. Saya mengerti apa yang dia maksud. Memang banyak kejahatan di sekitar lingkungan saya dan bahkan kami terkadang suka ditembaki."
Hillary tidak mungkin mengabaikan konsituen-konstituen yang penting, seperti kaum perempuan berpendidikan, dan gay, termasuk warga keturunan Asia, Latin dan Afrika Amerika. Mereka justru perlu didorong oleh harapan untuk Amerika yang lebih baik, tidak frustasi dan putus asa karena terbatasnya pilihan yang mereka miliki.
*Artikel CERITALAH USA--akan terbit setiap hari mulai Kamis (3/11/2016)-- merupakan rangkaian dari CERITALAH ASEAN, yang ditulis dari perjalanan Karim Raslan selama 10 hari ke AS dalam rangka mengamati pemilu di sana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.