Kota Davao tak sekadar tanah kelahiran Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Baginya, Davao adalah pentasnya, pencapaian politiknya, dan seperti yang digambarkan blogger asal Davao, Carlos Munda dari MindaVote bahwa seperti kisah Superman, Davao adalah "Fortress of Solitude" Duterte.
Duterte telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk menghidupkan kembali kawasan Mindanao di Selatan Filipina. Bahkan terkadang susah untuk memisahkan mitos tentang dia membawa senjata dan mengendarai taksi di tengah kota dari realita Davao.
Malam, pada 2 September 2016, sebuah bom meledak di Pasar Malam Roxas yang populer di Davao. Bom yang diduga diledakkan kelompok teroris Abu Sayyaf ini menewaskan empat belas warga sipil dan melukai sekitar tujuh puluh dua warga. Serangan bom jelas untuk menantang keberhasilan kota yang telah dicapai selama ini.
Namun bom ini juga terbaca sebagai sebuah serangan langsung terhadap “hukum dan ketertiban” yang dibangun Duterte demi melancarkan ambisinya mendorong pembangunan di luar Manila.
Dengan sederetan kios penjual baju bekas, penjaja gorengan, dan sebuah kedai es krim yang populer, Mang Danny, Pasar Malam Roxas adalah simbol yang menawarkan suasana dan kondisi masyarakat yang tenang dan damai, tanpa ada perlawanan.
Baru-baru ini, saya menjumpai Bonifacio Tan, Presiden Kamar Dagang Davao City yang mengungkapkan pendapatnya terhadap Duterte. “Pendekatan Duterte sangat pragmatis dalam menjalankan roda ekonomi. Anda perlu menjaga stabilitas kedamaian dan ketertiban tatanan masyarakat terlebih dahulu. Niscaya yang lain-lainnya akan menyusul kemudian.”
Semenjak memegang jabatan Wali Kota Davao sejak 1988, tidak ada yang meragukan keberhasilan Duterte dalam menata budaya warga sipil yang kuat di kotanya. Kedisiplinan yang dibangun ini terasa kontradiktif dengan kenyataan yang ada di kota lain di Filipina.
Misalnya, lewat regulasi yang menuai kontroversi, seperti larangan merokok dan minum minuman keras di area publik. Termasuk juga mengenai peraturan anti-jual beli dan narkoba, serta pembunuhan di luar jalur hukum yang sangat populer dikenal masyarakat di penjuru kota.
Kebijakan tersebut memang berperan dalam kesuksesannya menembus Malacanang setelah berhasil dengan gaya kampanye gerilyanya yang luar biasa pada pemilu presiden kemarin.
Di salah satu kawasan termiskin, saya menjumpai seorang sesepuh daerah, Mang Remy, yang berusia tujuh puluh satu tahun. Dia seorang pengagum Rodrigo Duterte.
Kepada saya dia bertutur, “Davao City saat ini penuh kedamaian. Padahal sebelumnya sangat semrawut. Saya ingat pernah berbincang dengan Walikota Duterte sebelum dia terpilih menjadi Presiden dan dia berkata ’Pare (Saudaraku), saya akan mengubah sistem’. Dari pernyataan itu, saya sangat yakin bahwa Walikota Duterte mampu melakukan perubahan yang sama untuk seluruh Filipina.”
Selain dari taktik kontroversialnya yang mengemuka, penekanan Duterte ada pada keamanan untuk meningkatkan kepercayaan publik dan investor. Hal ini mendorong pada pembaruan perkotaan, efisiensi administrasi, dan pembangunan infrastruktur yang telah dinikmati Davao selama beberapa dekade terakhir.
Pada dasarnya, Duterte berusaha untuk membuat kotanya aman dan ramah bisnis dengan harapan bahwa segala sesuatunya berada di tempat yang semestinya. Hingga saat ini, strategi tersebut tampaknya telah membuahkan hasil.
Serangan bom jelas bertujuan untuk menggoyahkan dan menantang sejauh mana efektifitas metode Duterte dalam menegakkan hukum dan perdamaian di Filipina. Akankah mantan Walikota mampu menjalankan komitmennya di tingkat negara seperti yang dilakukannya di tanah kelahirannya?
Namun, retorika gagah Presiden Filipina yang populer dengan kelas pekerja ini “terkena batunya” ketika rencana pertemuannya dengan Presiden AS Barrack Obama di sela-sela KTT ASEAN di Laos, tiba-tiba dibatalkan sepihak oleh pihak Amerika.
Menjadi konsisten “on-message” adalah penting untuk dapat membalikkan situasi pelanggaran hukum yang parah di Davao di era 1980-an, seperti di kawasan kekerasan Agdao yang dijuluki ‘Nicar-Agdao’. Namun, cara tersebut mungkin tidak bisa berlaku di seluruh wilayah Filipina, atau di Asia-Pasifik.
Penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan pasca-putusan Den Haag akan membutuhkan sikap yang bijaksana dari pada sekadar basa-basi, terutama menghadapi Tiongkok dan sesama penuntut kawasan lainnya, seperti Vietnam.
Di Filipina, mengatur sebuah pemerintahan dengan lebih dari 105 juta penduduk tentu membutuhkan pendekatan yang perlu disesuaikan dengan tiap kelompok pemberi suara.
Tapi tampaknya banyak pihak akan bergantung pada kemampuan Duterte melanjutkan tingkat pertumbuhan GDP Filipina--saat ini sebesar 7 persen.
Di era pertumbuhan global yang lesu, sebagian besar bisnis akan mengabaikan tuduhan negatif terhadap Duterte dan sebaliknya fokus pada angka-angka yang dicapai.
Namun demikian, saat berbicara bahwa keamanan sangat penting, hal tersebut belum dapat menciptakan peluang pekerjaan yang banyak dan kemakmuran finansial.
Sebagai contoh, misalnya, seumur hidupnya Mang Remy bekerja sebagai pegawai pemerintah daerah yang gajinya tak cukup untuk membuat rumahnya naik kelas dari atap dan dinding bambu. Rumahnya ini pun berdiri di atas tanah pemerintah, sehingga setiap saat dia bisa diusir dari situ.
Banyak orang Filipina-termasuk dari Davao-masih berorientasi mencari peruntungan di luar negeri, di Timur Tengah, Asia Utara atau Amerika Serikat. Para pekerja ini lalu mengirimkan remiten ke kampung halamannya tetapi dengan biaya sosial yang sangat besar.
Oleh karena itu, Duterte harus menunjukkan bahwa dia punya trik yang lebih ampuh dari sekadar menjatuhkan “orang-orang jahat” di negaranya. Dia juga harus menunjukkan disiplin yang lebih besar sekaligus kemauan untuk berkompromi pada saat-saat yang diperlukan.
Pengeboman di Roxas adalah sebuah ujian untuk Duterte. Lantas bagaimana dia akan mengatasi ujian-ujian ini ke depannya—ini akan menjadi tebakan banyak orang?