Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Mengapa "Ceritalah"?

Kompas.com - 25/08/2016, 10:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Awal mula Ceritalah

Adalah Mei 1998 di mana Rupiah sedang kolaps. Kerusuhan beruntun terjadi di Jakarta. WNI Tionghoa, pemilik kantong-katong bisnis menjadi target incaran.

Di Solo, sekitar 556 kilometer ke arah timur dari Ibu Kota (Jakarta), Sumartono Hadinoto, seorang pebisnis dan WNI keturunan Tionghoa risau dan khawatir. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang salah.

Kota Solo tiba-tiba hening dan mencekam. Dalam hitungan jam, rumah yang menjadi kantornya diserang, dijarah, dan dibakar. Ia berusaha melarikan diri dari kerumunan massa dengan membuat lubang pada dinding belakang rumahnya.

Sepuluh tahun kemudian, ketika saya menjumpai pertama kali dan mewawancarainya, kenangan peristiwa ’98 masih jelas di dalam ingatannya.

Namun Sumartono seorang yang optimistis dan percaya pada prinsip "terus menebar kebaikan ke depan".

Dengan mengajak rekan bisnis sesama Tionghoanya, dia menggalang dana untuk penyediaan ambulans dan kampanye kesehatan masyarakat.

Ia tahu bahwa membangun hubungan baik antarsesama membutuhkan kerja keras dan kerendahan hati.

Sumartono secara sambil lalu berujar bahwa Solo adalah kota yang beruntung. Walikotanya seorang pebisnis yang kemudian menjadi politisi telah melakukan hal terbaik dalam mengembalikan citra dan kepercayaan kota yang sempat padam ini.

Enam tahun berlalu, saya kembali lagi ke Solo. Namun, kali ini saya datang bersama kru TV. Sumartono adalah narasumber saya.

Pemilu Presiden sedang ramai berkumandang. Secara tidak sengaja, Walikota Solo (yang kemudian menjadi Gubernur Jakarta) adalah salah satu kandidat Presiden.

Kami melakukan shooting adegan terakhir di Solo yang riuh dengan ribuan orang yang bersuka cita menyemarakkan Tahun Baru Imlek, menyalakan dan melepaskan lampion pada luasnya langit malam yang kelam nan biru.

Beberapa bulan kemudian, mantan Walikota Solo itu terpilih sebagai Presiden. Sedangkan wakilnya di Jakarta, seorang politisi WNI keturunan Tionghoa menggantikannya sebagai Gubernur Jakarta.

Urutan peristiwa yang beruntun dan luar biasa ini membuat saya sampai saat ini terpukau dengan sendirinya.

Namun demikian, di sinilah keunikan Asia Tenggara: sebuah cerita (story) yang demikian kapanpun bisa terjadi. Jika Anda cukup beruntung, Anda bisa menyaksikannya secara lebih dekat. Untuk itulah "Ceritalah" hadir untuk Anda.

Kurang lebih makna "Ceritalah" adalah "Coba ceritakan!" atau "Hei, ada apa?" dari sebuah aktivitas sehari-hari yang sering kita lontarkan dan jumpai di kedai-kedai kopi.

Selama bertahun-tahun, saya mempelajari bahwa satu 'cerita' menuntun kita pada sesuatu yang lain, sampai saya tertegun pada sebuah memori, kisah-kisah, dan seringnya cerita-cerita yang kaya akan makna.

Hingga kini, saya telah menulis kolom selama dua puluh tahun. Saya memulainya dari Malaysia, rumah saya.

Namun kemudian berlanjut –dengan sendirinya- ketika saya menyadari bahwa bercerita itu tidak mengenal batas, bahwa siapapun tidak akan mengenal Kuala Lumpur dan gelora rakyat dan bangsanya sampai Anda sendiri terjun langsung ke daerah-daerah dan menghabiskan waktu bersama mereka.

Lebih lagi di era Brexit dan Trump, disertai sejumlah pakar dan pengamat yang gagal, "Ceritalah Asean" adalah cerita dari 'bawah'.

Saya di sini tidak hendak memaksakan pemahaman saya kepada dunia. Namun, saya adalah tipe orang yang takut jika cerita-cerita itu tidak tertangkap dan hilang begitu saja!

Hampir sepanjang waktu, kalian akan menemukan saya berada di jalan, dengan sebuah buku catatan dan pena menyertai saya berjumpa dengan subjek yang menuntun saya untuk berkata "ceritalah....."

Di saat saya sedang menulis tentang maritim di Asia Tenggara, saya juga akan berada di Vietnam, Thailand, dan Myanmar: dari menyapa Muslim mayoritas dan politisi Katolik hingga berbincang-bincang dengan masyarakat Budha dan Konghucu.

Namun ini juga karena saya lelah dengan politik (jika kalian warga Malaysia, sepatutnya sama dengan yang saya rasakan...).

Sebab itu, saya akan banyak menulis tentang sesuatu yang banyak orang sebarkan, tentang budaya pop yang merekatkan kita dengan smartphone –penyanyi, bintang olahraga, aktris, selebritas –yang terkadang menjadikan kita makhluk yang terobsesi.

Sebuah formasi Masyarakat Ekonomi Asean (AEC) memberikan saya sebuah ide awal untuk melakukan perjalanan ini.

Pengalaman melihat langsung bagaimana warga Inggris memberikan suara mereka untuk meninggalkan Uni Eropa, membuat saya tertarik dengan eksperimen kolektif yang kita lakukan.

Benarkah kita tahu apa yang kita lakukan sekarang? Apakah itu termasuk bagian dari strategi rencana besar? Apakah AEC memiliki relevansi terhadap kehidupan masyarakat biasa di Asean?

Untuk mencari tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besar itulah, saya memutuskan untuk mengambil resiko terjun langsung dan melihat apakah ada hal lain yang lebih besar di luar jawaban retorik yang bisa menyatukan kita semua.

Apakah kita hanya nyaman membicarakan ‘hal-hal itu saja’ misalnya antara India dan China (yang diremehkan dan yang menimbulkan ketakutan) atau apakah ada sesuatu, yang orang Indonesia sering menyebutnya--“benang merah” yang menyatukan kita satu sama lain?

Apapun intinya, saya pastikan akan mencari cerita-cerita yang ingin saya kejar hingga akarnya, dengan gaya unik dan berkelok-kelok –mulai dari yang berwajah cantik hingga cendol ternikmat yang dijumpai di sudut kota.

Saya akan memilih apa yang menjadi tren, yang menurut saya menarik dan semoga menurut Anda juga. Sehingga- saya bisa saja keluar dari kawasan, untuk menuturkan kejadian di tempat lain yang berdampak pada Asean.

Sementara Ceritalah adalah wadah saya melihat, melakukan, merasakan dan memikirkan banyak hal, saya berharap ini akan menjadi sesuatu yang bisa kita pahami bersama, interaktif, dan menggema. Mengapa?

Sebab pada akhirnya, inilah cerita kita, cerita-cerita yang mengikat kebersamaan, yang menjadikan kita sebagai manusia.

Twitter: http://twitter.com/fromKMR 
Instagram: http://instagram.com/fromKMR 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com