Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Nelayan Indonesia yang Tewas Disiksa di Kapal Ikan Taiwan

Kompas.com - 19/08/2016, 17:45 WIB

TAIPEI, KOMPAS.com - Seorang nelayan asal Tegal, Jawa Tengah, menjadi korban penyiksaan di kapal ikan asing yang mengakibatkan dia tewas mengenaskan.

Sebuah video yang diperoleh wartawan BBC di Taiwan, Cindy Sui, memperlihatkan seorang nelayan Indonesia, Supriyanto, luka parah akibat dipukuli di sebuah kapal ikan milik negeri itu.

Video yang direkam seorang kawan Supriyanto dengan menggunakan ponsel itu memperlihatkan kondisi pria itu. Seusai dipukuli, kepala Supriyanto bocor, matanya merah akibat darah, dan kakinya lebam hingga susah berjalan.

“Nasibnya Supriyanto, jalan saja dia sudah tidak bisa, hanya bisa meratapi nasib. Saya tidak bisa bantu apa-apa, hanya bisa bantu secara spiritual… Inilah hasil dari kekerasan di kapal,” kata kawan Supriyanto dalam bahasa Jawa.

Tak lama kemudian, Supriyanto pun tewas di atas kapal ikan tersebut.

Meski demikian, jaksa penuntut Taiwan kepada BBC mengatakan, Supriyanto meninggal akibat infeksi lutut dan tidak ada yang mencurigakan dalam kasus ini.

Industri perikanan Taiwan sedang mendapat sorotan akibat pelanggaran hak asasi manusia yang belakangan terjadi terhadap para tenaga kerja asingnya.

Supriyanto kehilangan nyawa dalam pelayaran kedua dengan kapal penangkap ikan asal Taiwan.

Pelayaran pertama berlangsung selama setahun, tetapi tidak pernah ada keluhan dari Supriyanto.

Berselang tiga bulan setelah pelayaran pertamanya berakhir, Supriyanto kembali ke atas kapal.

Sebelum bekerja di kapal ikan Taiwan, Supriyanto bekerja sebagai kernet bus.

Dia mendaftar menjadi awak kapal lewat sebuah agen di kota kelahirannya, Tegal.

Kakaknya, Rusmiati, berkata, Supriyanto ingin mengubah nasib dengan bekerja di kapal asing.

“Pengin kembali lagi sama istrinya. Pengin kumpul gitu katanya sebelum berangkat,” kata Rusmiati.

Supriyanto meninggalkan tiga anak, yaitu Moh Dimas Aman Hakim (12); Moh Subur Makmun (10), dan Linda Cintia Praba (7).

Dua putranya sekarang tinggal bersama kakaknya. Sedangkan putri bungsunya tinggal bersama kakak mantan istrinya di Indramayu, Jawa Barat.

Rusmiati, ibu tiga orang anak itu, sehari-hari hanya membantu suaminya yang menjual bubur ayam. Dia pun berkisah tentang anak-anak Supriyanto.

“Yang sering nangis itu yang besar. Kalau ingat bapaknya pasti nangis. Kalau yang kecil masih belum tahu,” ujar Rusmiati.

Dimas mengatakan, dia selalu rindu dengan bapaknya dan rindu ditegur jika berbuat kesalahan.

Ketika ditanya soal cita-citanya, Dimas mengatakan tidak mau menjadi nelayan karena menurutnya berbahaya.

Selama berlayar, Supriyanto tidak pernah menghubungi keluarga.

Pertama kali keluarganya mendengar kabar dari Supriyanto adalah ketika agen yang menempatkannya di kapal itu mengabarkan kematian pria itu pada 25 Agustus 2015.

Dua hari setelah kabar tersebut jasad Supriyanto tiba di kampung halamannya.

Rusmiati yang menjadi ahli waris Supriyanto telah mendapat santunan sebesar Rp 4 juta dari agen pria itu.

Asuransi jiwa sebesar Rp 41 juta dan gaji enam bulan Supriyanto sebesar Rp 19 juta juga diterima Rusmiati.

Gaji seorang awak kapal ikan Taiwan adalah sekitar 250 dollar AS atau sekitar Rp 3 juta per bulan.

Gaji itu biasanya ditahan pemilik kapal selama setahun dan baru dibayarkan setelah masa kontrak kerja berakhir setelah dikurangi biaya agen.

Namun sebetulnya, berdasarkan aturan di Taiwan, asuransi yang diterima keluarganya seharusnya mencapai tiga kali lipat yang diterima ahli waris.

Meski demikian, kompensasi uang dalam jumlah besar yang diinginkan keluarga Supriyanto.

Setiawan, adik sepupu Supriyanto, meminta agar pelaku penganiayaan diadili dan dihukum seberat-beratnya.

“Kakak kami kan mungkin meninggalnya secara tidak wajar. Kami ini orang yang tidak mampu, tidak mengerti prosedur hukum. Saya mau orang bertindak kesalahan dihukum seadil-adilnya,” kata Setiawan.

Menurut Kepala Federasi Nelayan Indonesia, John Albert, kasus seperti Supriyanto kerap terjadi, tetapi baru kali ini ditemukan bukti.

“Telah terjadi perbudakan manusia. Banyak nelayan-nelayan yang dibuang ke laut oleh kapten. Untung Supriyanto ketahuan. Saya banyak dapat informasi bahwa mayat ini dibuang ke laut, tetapi tidak ada bukti,” kata John Albert.

Namun, beberapa agen penyalur yang didatangi tim BBC Indonesia di Pemalang, Jawa Tengah, selalu penuh dengan calon pekerja.

Mereka lebih baik menempuh risiko di negeri asing ketimbang tidak melakukan apa-apa di kampung halaman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com