Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/02/2015, 21:11 WIB
Catatan Kaki Jodhi Yudono

Sampai hari ini, Perdana Menteri Australia Tony Abbott masih saja ngotot meminta agar pemerintah indonesia membatalkan hukuman mati bagi dua warga australia yang terlibat kasus narkoba. Namun presiden Jokowi sejauh ini masih tetap pada pendiriannya untuk menghukum dua tervonis mati itu.

Melalui saluran  telepon, Tony Abbott pada Rabu malam (25/2) melakukan pembicaraan dengan Presiden Joko Widodo terkait dengan nasib dua warga negara (WN) Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang akan dieksekusi di Pulau Nusakambangan karena menjadi terpidana mati perkara narkoba.

Abbott dalam dalam pembicaraan tersebut memohon kepada Jokowi agar Duo Bali Nine diampuni. Dengan demikian, Chan dan Sukumaran yang permohonan grasinya telah ditolak bisa terbebas dari hukuman mati.

Abbott mengaku mendapat sinyal positif dari pembicaraan dengan Jokowi. “Presiden (Jokowi, red) sangat memahami posisi kita dan saya pikir dia sangat hati-hati tentang posisi Indonesia,” katanya kepada wartawan di Canberra.  

Jika berpegang pada pernyataan Presiden Joko Widodo sebelumnya, vonis yang dijatuhkan adalah sebuah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar oleh siapa pun, termasuk olehn pemerintah Australia. Joko Widodo mengatakan, ini adalah kedaulatan hukum dan kedaulatan politik pemerintah indonesia, karena itu negara lain harus menghormatinya.

Sementara bagi Tony Abbott, perjuangannya untuk menyelamatkan warga negaranya adalah sebuah kewajiban dan juga harga diri. Dua alasan pokok itulah yang membuat Abbott sempat gelap mata dengan mengungkit-ungkit kenangan lama saat negaranya memberikan bantuan sebesar 1 miliar dolar AS saat tsunami menerjang Aceh sebagai tawar-menawar dalam kasus dua penyelundup obat bius warga Australia yang dijatuhi vonis mati oleh pemerintah Indonesia.

Karuan saja, tindakan Abbott mengundang reaksi keras, baik dari dari rakyat Australia maupun dari warga Indonesia yang tersinggung oleh pernyataan Abbott yang dinilai tak beretika.  Warga Indonesia, khususnya rakyat Aceh, melakukan kampanye untuk mengembalikan bantuan tsunami yang disumbangkan oleh Australia.

Tagar "KoinUntukAustralia" dipasang di media sosial yang mengajak masyarakat mengumpulkan dana untuk dikembalikan kepada Australia yang telah menyumbang sebesar 1 miliar dolar AS saat tsnami tahun 2004.

Ini merupakan respon terhadap upaya Tony Abbott yang telah meminta "timbal balik," dengan menghubungkan bantuan dengan pembebasan terpidana mati.

Para pengunjukrasa itu membentangkan spanduk bernada kemarahan, seperti 'Australian Dollar tidak sama dengan Harga Diri Indonesia', atau 'Jangan Dikte Indonesia, Hukum Mati gembong Narkoba', dalam aksi itu terdapat juga spanduk bertuliskan sindiran nama PM Abbott, seperti Abbott - Asal Bacot, Abbott - Agak Bolot atau Telmi,  Tony - Tokoh Nyinyir.

"Australia membutuhkan perdana menteri, bukan Shylock dan sepupu obat dealer," kata spanduk yang digelar pada sebuah mobil saat car free day, Minggu (22/2).

Shylock merupakan tokoh antagonis dalam cerita The Merchant of Venice karya William Shakespeare. Shylock digambarkan sebagai sosok peminjam uang yang jahat, rentenir, serakah, penuh kebencian, hingga tidak memiliki nilai-nilai hidup.

Aksi 'Coin for Abbott'  itu berhasil menarik perhatian warga yang lalu lalang menikmati acara Car Free Day di Jakarta.  Ratusan uang recehan itu dilemparkan warga diatas spanduk bertuliskan Coin for Australia 'We Need a Prime Minister not a Shylock and Drug Defender' (Kami butuh Perdana Menteri bukan Lintah Darat dan Pembela Gembong Narkoba,"

***

Tony Abbott adalah lelaki berdarah Inggris, Dilahirkan pada 1957, merupakan mantan petinju dan pernah menjalani pendidikan sebagai calon pastor Katolik sebelum ia beralih profesi menjadi wartawan The Australian Newspaper.

Pada 1994, Tony Abbott terjun ke dunia politik dan bergabung dengan Partai Liberal yang akhirnya mengantarkannya sebagai seorang perdana menteri.

Pada masa pemerintahan John Howard, Tony Abbott menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dari tahun 1998 sampai tahun 2001. Tahun 2003, Tony Abbott dipercaya menjabat sebagai Menteri Kesehatan.

Nick Name Tony Abbott di dunia perpolitikan Australia dikenal sebagai “Mad Monk”. Selain itu ia pun sering dianalogikan sebagai “Tear-down Tony” karena dikenal nekat melalui gebrakan-gebrakannya yang kerap menuai kontroversi.

Barangkali, lantaran pembawaannya yang temperamental itulah, Abbott kerap berpikir pendek. Maka, meluncurlah pernyataan yang menyinggung kemanusiaan banyak orang.

Ah.... Jika saja Abbott mengerti bahwa memberi adalah salah satu tindakan terindah yang bisa diperbuat manusia, barangkali dia tak akan segegabah itu. Tony seperti orang kalap yang menggunakan senjata apapun, termasuk melanggar etiket sebagai seorang manusia dan terlebih sebagai seorang kepala negara yang tak patut mengungkit kebaikan yang pernah diperbuat.

Barangkali benar bahwa Abbott sedang mengalami tekanan di internal partai liberal yang mendukungnya, lantaran merosot popularitasnya gara-gara kebijakan Abbott dianggap tidak populis. Sampai-sampai, konon, beberapa menteri di kabinetnya sedang berancang-ancang melengserkan Abbott dari kursi perdana menteri.

Tujuh menteri konon sedang berencana hendak menggulingkan Abbott dari kursinya jika Abbott tidak memperbarui pemerintahannya dan memperbaiki hasil jajak pendapat di Partai Liberal yang baru-baru ini dilaksanakan.

Tujuh menteri itu kabarnya mengaku sedang mengawasi Abbott dengan ketat. Lebih jauh, para menteri itu juga berjanji tidak akan membantu Abbott jika ada yang mengkritk pemerintahannya.

Entah apa yang sedang terjadi dengan anda Tuan Abbott, sehingga harus melakukan kesilapan yang memalukan, bukan saja bagi diri anda, tetapi bagi bangsa australia. Sebab bisa jadi, sumbangan yang diberikan jauh sebelum Abbott berkuasa, diberikan oleh rakyat Australia dengan tulus dan tanpa mengharap imbalan apapun, apalagi dijadikan sebagai bargaining untuk melepaskan bandar narkoba dari hukuman.

Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Tuan Abbot kini. Mudah-mudahan dia menyimak ungkapan bijak dsari Bunda Teresa: "It's not how much we give but how much love we put into giving."

Ya, ya...bukan seberapa banyak (harta) yang kita berikan, tapi seberapa besar cinta yang kita berikan.

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com