Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

LBB, PBB, dan Hantu Perang

Kompas.com - 04/08/2014, 00:59 WIB

KOMPAS.com - Empat belas bulan setelah Perang Dunia I berakhir, berdirilah Liga Bangsa-Bangsa. Lembaga internasional pertama ini adalah cikal bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan salah satu misi utama menjaga perdamaian dunia. Ironisnya, 19 tahun berselang, meletuslah PD II.

Laman The Wall Street Journal menempatkan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) sebagai satu dari 100 peninggalan Perang Dunia (PD) I yang membentuk kehidupan hari ini. Berdiri 10 Januari 1920, LBB menjadi kelanjutan Konferensi Perdamaian Paris tahun 1919.

Dalam konferensi itu, Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, diplomat Inggris Lord Robert Cecil, dan tokoh Persemakmuran Jan Smuts menyodorkan proposal yang menjadi landasan pembentukan LBB. Visi Wilson tentang perdamaian antarnegara dipaparkan dalam pidato di Kongres AS, terkenal dengan sebutan ”14 Poin”.

Di antara ”14 Poin” terdapat langkah mengakhiri diplomasi rahasia, hak setiap bangsa memilih pemerintah tanpa campur tangan luar, serta pembentukan LBB. Ide itu dikembangkan Wilson saat menjadi profesor hukum Universitas Princeton.

Namun, tak diragukan, isi Traktat Versailles (1919)—yang mengharuskan Jerman membayar ganti rugi akibat perang— membuat ide Wilson berantakan. Dalam ”Dunia Belajar dari Kegagalan Traktat Versailles” (Kompas, 20/7), kewajiban Jerman membayar ganti rugi berasal dari poin ke-9 dalam ”14 Poin”. Poin itu dianggap memicu benih PD II.

Wilson pun mendapat Hadiah Nobel Perdamaian 1919. Ironisnya, AS justru tidak bergabung dalam LBB karena tak disetujui Kongres AS. Situs resmi PBB menyebut, absennya beberapa negara besar, seperti AS, turut mendorong kegagalan LBB hingga diganti menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1946.

”Saat PD II pecah, terlihat jelas bahwa Liga gagal menjalankan tujuan utama menjaga perdamaian,” demikian situs PBB. PD II pun meletus pada 1 September 1939 hingga 2 September 1945.

Selain AS, Jerman hanya enam tahun menjadi anggota LBB sejak 1926. Uni Soviet hanya lima tahun sejak 1934. Jepang dan Italia mundur pada 1930-an. LBB praktis bergantung pada Inggris dan Perancis yang enggan bertindak tegas.

Lalu, apakah LBB sepenuhnya gagal mengemban misinya? Eduard Benes, Perdana Menteri Cekoslowakia (1921-1922), dalam artikel ”The League of Nations: Successes and Failures” yang dimuat majalah Foreign Affairs edisi Oktober 1932 menulis, sebelum PD I, poros kebijakan luar negeri semua negara berpusat pada ego masing-masing.

Dengan LBB, yang anggotanya mencapai 57 negara pada September 1934-Februari 1935, mereka disadarkan, tak satu negara pun hidup sendiri. Mereka dituntut menghindari perang saat menyelesaikan sengketa.

Namun, LBB juga menyimpan titik lemah. Tak ada AS dan Uni Soviet (hingga 1934). Ada kekuatan besar Eropa, namun tiga di antaranya di bawah cengkeraman fasis dan revolusioner: Jerman (Hitler), Italia (Mussolini), dan Rusia (komunis). Alhasil, tak sampai 20 tahun, pecahlah perang dengan skala lebih besar dan dramatis.

”Quo vadis” PBB

”Liga telah mati. Jayalah Perserikatan Bangsa-Bangsa,” demikian pidato Cecil, arsitek LBB, pada sidang terakhir LBB di Geneva, Swiss, 12 April 1946.

Hari itu, LBB resmi dibubarkan. Perannya sebagai penjaga perdamaian dunia digantikan PBB yang berdiri 24 Oktober 1945. Secara operasional, peran itu dijalankan Dewan Keamanan (DK), satu dari enam badan PBB.

Namun, semakin bertambah usia, PBB seperti tak berdaya mengatasi berbagai konflik dunia. Mantan Wakil Tetap RI untuk PBB Hasan Kleib melihat, DK PBB tak lagi bergerak sesuai peranan awal, pemegang mandat menjaga perdamaian dan keamanan dunia.

”Tugas mereka memantau seluruh dunia, konflik apa yang terjadi, dan menyiapkan langkah penyelesaiannya,” kata Hasan, yang kini Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri. ”Namun, karena kepentingan nasional anggotanya, tugas itu bisa tidak bergerak.”

Dia mencontohkan kasus Palestina yang selama 67 tahun tidak juga usai. Setiap kali disidangkan, kasus itu hampir pasti diveto AS, satu dari lima anggota tetap DK PBB selain Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Perancis. Dalam hal ini, DK PBB terkesan membiarkan.

”Tahun 1980, sudah ada Resolusi 465 DK PBB yang mendesak penghentian dan penghancuran pembangunan permukiman ilegal Israel di Tepi Barat. Sudah 34 tahun resolusi itu tidak dijalankan,” paparnya.

Hak veto lima anggota tetap DK PBB, pemenang PD II, seperti duri pengganjal PBB menjalankan misinya. ”Sekarang orang melihat DK PBB tidak demokratis dan tidak representatif,” ujar Hasan.

Itu sebabnya, sejak 1995 mulai digulirkan reformasi DK PBB. Struktur DK PBB (5 anggota tetap dan 10 anggota tidak tetap) dinilai tidak lagi mewakili 193 anggota PBB.

Menurut Hasan, Indonesia juga aktif dalam proses reformasi itu. Alternatif yang diusulkan adalah menambah anggota, dengan masa jabatan lebih lama, dan bisa dipilih lagi.

”Posisi Indonesia jelas, hak veto tidak demokratis. Karena tak mungkin dihapus, harus diatur kapan bisa digunakan. Regulasi itu diharapkan menuju ke penghapusan veto,” ujarnya.

Namun, hampir 25 tahun reformasi DK PBB jalan di tempat. Akankah situasi ini mengarah pada PD III seperti diingatkan kolumnis Anatole Kaletsky dalam ”Powder Keg of 1914 Looks Too Familiar” di International New York Times, 27 Juni 2014?

”Awal 1914, hampir tak bisa membayangkan Inggris dan Perancis berperang melawan Jerman, membela Rusia menghadapi Austria terkait perselisihan dengan Serbia. Tetapi, pada 28 Juni 1914, hal itu terjadi,” tulisnya. (MH SAMSUL HADI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com