Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Majelis Warga Australia Desak Indonesia Selidiki Pembantaian di Biak

Kompas.com - 17/12/2013, 08:59 WIB
Majelis warga (citizen's tribunal) Australia menyerukan agar Indonesia menyelidiki kasus pembantaian lebih dari 150 warga sipil di Biak, Papua, yang terjadi 15 tahun lalu.

Majelis warga di Sydney University yang dipimpin mantan jaksa agung Negara Bagian New South Wales (NSW), Australia, John Dowd, yang kini menjabat sebagai Presiden Komisi Pakar Hukum Internasional, Senin (16/12/2013), menemukan bahwa sebagian besar orang Papua Barat telah disiksa. Majelis mendesak Indonesia untuk bertanggung jawab atas kejahatan dan pelanggaran HAM.

Diperkirakan sekitar 150 orang tewas dan jenazah mereka dibuang ke laut menyusul aksi protes warga Papua Barat yang mengibarkan bendera Bintang Kejora di Biak pada Juni, 1998.

Indonesia sendiri tidak pernah mengakui pembantaian itu dan mengklaim hanya satu orang tewas serta menyebut jenazah itu terdampar akibat tsunami.

Purnawirawan Jenderal Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Panglima TNI disebut-sebut mendukung aksi itu.

Saksi mata

Yudha Korwa berusia 17 tahun ketika terlibat dalam aksi protes bersama temannya yang berujung peristiwa pembantaian itu. Australia memberikan suaka politik kepadanya setelah dia kabur dari Indonesia dengan menggunakan kapal kayu enam tahun lalu.

“Saya melihat banyak orang dibunuh tentara. Saya lihat anak kecil terbunuh, orang tua, perempuan hamil, dan anak kecil,” kenang Korwa. “Seorang tentara memukul saya dengan senjata dan wajah saya dipenuhi darah dan saya ketakutan sampai mengira bakal mati. (Saya mendengar) orang orang berteriak ‘tolong, tolong',” tambahnya.

Tengkoraknya retak dan tertikam. Korwa adalah salah seorang yang berhasil lolos. Dia bersembunyi selama dua hari di sebuah gorong-gorong jalan.

Antropolog UNSW, Dr Eben Kirksey, yang asal Amerika, kebetulan sempat mampir ke Biak. "Selagi orang bernyanyi, tentara mulai menembak ke kerumunan dan orang mulai berjatuhan yang lain mulai berlarian," ceritanya.

"Orang-orang yang selamat digiring ke pelabuhan dan ditempatkan di kapal-kapal dan mereka bisa melihat orang yang mati dan sekarat saat penyerbuan diangkut ke truk,” lanjut Kirksey.

Bukti peristiwa

Awal tahun 2013 ini di University of Sydney, majelis warga mengumpulkan bukti atas apa yang terjadi di Biak pada 15 tahun lalu itu. Pengakuan pertama dari Tineke Rumakabu mengatakan kalau dia melihat temannya dipenggal. Dia sendiri mengalami siksaan.

Bekas jaksa Nicholas Cowdery menjadi penasihat yang membantu di majelis. “Dia dibakar, dia dimutilasi, diperkosa, diperlakukan secara brutal oleh polisi Indonesia,” katanya menyampaikan penjelasan Rumakabu.

Cowdery menyatakan harus ada penyidik khusus yang melakukan investigasi di Indonesia. “Ada kesempatan buat Indonesia untuk memberikan kompensasi kepada rakyat,” tegasnya.

Beberapa bulan kemudian Indonesia mengumumkan aksi militer di Timor Timur. Tetapi sementara perhatian dunia fokus pada Timor Timur, pembantaian di Biak tidak pernah diselidiki.

Majelis kini menyerukan Indonesia untuk menggelar penyelidikan. “Mutilasi terhadap perempuan adalah kebijakan teror spesifik. Sulit dipercaya manusia bisa berperilaku seperti pasukan tentara itu,” ujar John Dowd.

Dia menginginkan adanya penyelidikan dan hukuman bagi para pelakunya. “Ada sebuah lembaga independen di Indonesia yang bisa melakukan investigasi,” serunya.

Indonesia menolak berkomentar dalam majelis warga yang juga meminta agar Australia bersikap.

“Pemerintah Australia punya kewajiban kepada orang-orang yang tewas dan para ahli waris untuk mengekspos apa yang terjadi dan menghentikan hal itu terjadi lagi,” tutup Dowd.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com