Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak-anak di Gaza Tewas Perlahan akibat Malnutrisi

Kompas.com - 27/06/2024, 09:58 WIB
Paramita Amaranggana,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

Sumber CNN

YOUNIS terbaring tak sadarkan diri di atas kasur di Rumah Sakit Nasser di Gaza selatan. Anak laki-laki Palestina berusia sembilan tahun itu tampak sangat kurus karena kekurangan gizi dan menderita dehidrasi. Kakinya yang kurus kering serta tulang rusuknya dapat terlihat dengan jelas di balik pakaiannya.

“Saya meminta orang-orang yang berhati nurani untuk membantu saya mencari perawatan kesehatan bagi anak saya, sehingga ia dapat kembali normal,” kata ibunya, Ghanima Juma’a, kepada CNN minggu lalu di rumah sakit di Khan Younis. “Saya kehilangan anak saya di depan mata saya sendiri.”

Dua bulan lalu, keluarganya terpaksa mengungsi dari kota Rafah di selatan karena Israel meningkatkan serangannya di sana. Saat ini, mereka menetap di sepanjang garis pantai Asda’a yang tercemar, di mana mereka tidak dapat menemukan cukup makanan, air, atau bahkan tempat berteduh dari panasnya Gaza.

Baca juga: Warga Gaza Tak Saling Kenal Lagi, Warga Kurus karena Kelaparan...

“Kami harus terus berpindah dari satu daerah ke daerah lain karena perang dan invasi… Hidup ini sulit. Kami bahkan tidak memiliki tenda di atas kepala kami,” kata dia.

Perang antara Israel dan Hamas di Gaza telah menekan sistem kesehatan di wilayah tersebut. Akibatnya, para staf tak bisa lagi merawat anak-anak yang kekurangan gizi. Dokter mengatakan kepada CNN bahwa mereka terpaksa menolak orang tua yang meminta susu bayi. Mereka juga tidak bisa lagi menangani pasien muda dengan penyakit kronis yang diperparah oleh rasa lapar.

Situasi diperburuk saat Israel memperketat upaya pengepungan di Gaza. Hal tersebut mengakibatkan sulitnya akses kelompok-kelompok bantuan untuk masuk dan mengirimkan makanan ke daerah itu. Mau tak mau, para orang tua menyaksikan anak-anak mereka mati kelaparan.

Sementara itu, akses terhadap air bersih juga semakin terbatas. Lebih dari delapan bulan pengeboman telah menghancurkan infrastruktur, membunuh banyak warga sipil, dan merusak lingkungan di sekitarnya.

Sebuah laporan yang diterbitkan baru-baru ini oleh Integrated Food Security Phase Classification (IPC) memperingatkan bahwa hampir seluruh Gaza akan menghadapi bencana kelaparan dalam tiga bulan ke depan.

Badan pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebelumnya memperingatkan bahwa Gaza selatan akan segera mengalami tingkat kelaparan yang dahsyat”, yang sama seperti yang tercatat di utara, tempat Israel memusatkan serangannya pada hari-hari awal perang.

Setidaknya 34 anak telah meninggal akibat malnutrisi di Gaza. Jumlah ini mungkin saja lebih tinggi mengingat akses terbatas ke Gaza yang telah menghambat upaya lembaga bantuan untuk meninjau krisis di sana secara keseluruhan. Bersamaan dengan itu, lebih dari 50.000 anak dilaporkan memerlukan perawatan untuk malnutrisi akut, kata badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA).

Kekurangan Air

Sementara Younis sedang menderita di Gaza selatan, anak-anak di utara sedang bergulat dengan kekurangan makanan yang telah berlangsung lebih lama lagi. Mereka yang berada di utara mengatakan kepada CNN bahwa akhir-akhir ini mereka terpaksa meminum air yang tercemar. Air tersebut justru menyebarkan penyakit menular.

Realitas di Gaza, seperti yang dialami Younis maupun anak-anak lainnya, sama sekali tak mencerminkan pernyataan pihak Israel berkali-kali bahwa tidak ada batasan pada jumlah bantuan yang dapat masuk ke Gaza. Namun, penerapan inspeksi terhadap truk-truk dengan ketat, pembatasan jalur darat, dan peningkatan intensitas pengeboman justru semakin menyulitkan akses masuk bantuan-bantuan kemanusiaan yang dibutuhkan warga.

Walaupun bantuan berhasil masuk sekalipun, terdapat resiko tinggi akan terjadinya pengepungan oleh warga Palestina yang kelaparan, sehingga menghambat upaya distribusi.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, baru-baru ini memperingatkan bahwa tidak adanya otoritas polisi di Gaza selama konflik telah menyebabkan “pelanggaran hukum total”. Awal tahun ini, PBB memperingatkan bahwa Israel telah menciptakan “bencana yang sepenuhnya buatan manusia” di Gaza.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sebelumnya telah membantah jaksa penuntut utama di Pengadilan Kriminal Internasional yang menuduhnya telah menggunakan “kelaparan warga sipil sebagai metode peperangan”.

“Satu-satunya air yang kami miliki adalah yang kami dapatkan sebagai bantuan. Orang-orang menderita akibatnya, itu tak terlukiskan,” kata seorang warga sipil bernama Hassan Kalash. “Kami sakit dan tidak memiliki kekuatan untuk mengangkut air… Pipa air rusak. Kami tidak memiliki infrastruktur air.” 

Baca juga: Perancis-Yordania Desak Israel Cabut Pembatasan Bantuan ke Gaza

Setidaknya 67 persen fasilitas air dan sanitasi di Jalur Gaza telah hancur atau rusak dalam delapan bulan terakhir, kata UNRWA. Kelima pabrik pengolahan air limbah di Gaza juga telah ditutup, menurut Program Lingkungan PBB.

Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menuduh otoritas Israel telah menghalangi akses bantuan kemanusiaan ke Gaza utara. Selama tiga minggu pertama di bulan Juni, sebanyak 36 truk pembawa bantuan yang difasilitasi Israel telah diberikan izin masuk mencapai Gaza sementara 35 truk lainnya ditolak aksesnya, dihalangi, atau dibatalkan karena alasan logistik, operasional, atau keamanan.

Hal tersebut berdampak sangat nyata, salah satunya di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa di Gaza tengah, di mana Razan yang berusia lima tahun terbaring lemah.

“Dia berubah setelah perang. Dia menjadi lemah,” kata bibinya, Um Razan Mheitem, kepada CNN. Ia kemudian bercerita bahwa keponakannya itu juga mengalami radang kulit karena kekurangan gizi.

“Kami tidak dapat menemukan apapun untuknya. Semua yang ada di pasar mahal, atau tidak tersedia.”

Tak Ada Pilihan Lain Selain Menanti Kematian

Menurut lembaga bantuan dan petugas kesehatan, bayi yang baru lahir dan ibu hamil merupakan kelompok yang paling berisiko mengalami kekurangan gizi dan dehidrasi di Gaza. Ibu hamil yang kekurangan gizi memiliki kemungkinan besar akan melahirkan bayi prematur, dan bayi yang baru lahir dengan berat badan terlalu rendah memiliki resiko kematian yang jauh lebih tinggi.

Di Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza utara, dokter tidak dapat menyelamatkan seorang bayi hanya empat hari setelah kelahirannya. CNN merekam momen-momen sebelum kematian bayi bernama Amal itu. Amal terlihat menarik napas berat di dalam inkubator setelah ibunya, Samaher, melahirkan prematur.

“Bayi-bayi ini sekarat. Itu keputusan Tuhan, tetapi disebabkan oleh manusia,” kata ayahnya, Ahmed Maqat kepada CNN setelah kematian bayinya. Selama berbulan-bulan sepanjang masa kehamilannya, Samaher tidak mampu tidur, makan, atau minum, kata Maqat.

“Semua orang di tempat tidur ini saat ini berisiko meninggal. Kami menunggu mereka meninggal satu per satu... Kami tidak punya kehidupan.”

Bagi para bayi yang pada akhirnya berhasil selamat, penderitaan mereka tak berhenti sampai di situ. Banyak ibu yang mengalami dehidrasi dan kekurangan gizi sehingga tidak mampu menyusui bayi mereka. Kondisi diperburuk dengan minimnya persediaan susu alternatif.

Seorang warga Palestina lain di Rumah Sakit Kamal Adwan mengatakan kepada CNN bahwa putranya yang menderita radang esofagus tidak dapat mengakses susu kedelai. Padahal, susu tersebut sangat dibutuhkan bagi orang-orang yang memiliki kondisi seperti itu.

“Dia hampir tidak bisa duduk,” katanya tentang anaknya yang baru berusia dua tahun. “Dia bahkan tidak bisa merangkak, tidak bisa berjalan.”

Saat ini, terdapat sekitar 250 pasien yang sedang menerima perawatan untuk kekurangan gizi di rumah sakit dan hanya ada dua pusat stabilisasi yang beroperasi bagi anak-anak yang mengalami kekurangan gizi parah di Gaza, menurut laporan OCHA.

Para dokter di sana mengaku bahwa mereka seringkali tak mampu merawat bayi yang menunjukkan gejala kekurangan gizi, termasuk masalah pernapasan, infeksi dada, dan dehidrasi parah akibat kurangnya pasokan medis. Selain itu, pasien yang kekurangan gizi dengan penyakit kronis atau menular cenderung tidak pulih akibat meningkatnya penyebaran penyakit di tempat pengungsian, kata seorang dokter anak setempat kepada CNN. Pihak berwenang di Gaza saat ini telah mencatat lebih dari 1,4 juta kasus penyakit menular sejak 7 Oktober tahun lalu.

Di Khan Younis, Ismail Madi mengatakan kepada CNN betapa khawatirnya ia terhadap putranya yang berusia empat tahun, Ahmad, yang menderita penyakit kuning akibat kekurangan gizi.

“Anak saya tidak akan mampu bertahan hidup,” katanya. “Saya meminta presiden Amerika Joe Biden… untuk campur tangan,” tambah Madi, “untuk menyelamatkan anak ini yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan konflik politik apa pun.”

Sayangnya, putra Madi meninggal hanya beberapa hari kemudian setelah wawancara tersebut. Kini, Madi masih harus sibuk mengurus anak-anaknya yang lain.

“Sangat sulit memberi makan keluarga beranggotakan 10 orang di masa sulit ini.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Warga Yahudi Ultra-Ortodoks Israel Harus Ikut Wajib Militer, Apa Dampaknya bagi Perang Saat Ini?

Warga Yahudi Ultra-Ortodoks Israel Harus Ikut Wajib Militer, Apa Dampaknya bagi Perang Saat Ini?

Internasional
Perang Israel-Hezbollah Kali Ini Mungkin Akan Jauh Lebih Berbahaya

Perang Israel-Hezbollah Kali Ini Mungkin Akan Jauh Lebih Berbahaya

Internasional
Ada Apa di Balik Protes di Kenya yang Tewaskan 22 Orang?

Ada Apa di Balik Protes di Kenya yang Tewaskan 22 Orang?

Internasional
Siapa Julian Assange dari Wikileaks dan Apa yang Lakukannya?

Siapa Julian Assange dari Wikileaks dan Apa yang Lakukannya?

Internasional
Anak-anak di Gaza Tewas Perlahan akibat Malnutrisi

Anak-anak di Gaza Tewas Perlahan akibat Malnutrisi

Internasional
Mengenal 'Diplomasi Panda' China dan Kontroversinya

Mengenal "Diplomasi Panda" China dan Kontroversinya

Internasional
Mengapa Kaum Muda Eropa Mulai Tertarik dengan Partai-Partai Ekstrem Kanan?

Mengapa Kaum Muda Eropa Mulai Tertarik dengan Partai-Partai Ekstrem Kanan?

Internasional
Cara Siniar Jerman Lacak Anggota Tentara Merah yang Kabur 30 Tahun

Cara Siniar Jerman Lacak Anggota Tentara Merah yang Kabur 30 Tahun

Internasional
Anak Muda Tak Mau Jadi Petani, Jepang Terancam Kekurangan Makanan

Anak Muda Tak Mau Jadi Petani, Jepang Terancam Kekurangan Makanan

Internasional
Rute Penyelundupan Migran ke AS: Peran Jaringan 'Mama Afrika' (III)

Rute Penyelundupan Migran ke AS: Peran Jaringan "Mama Afrika" (III)

Internasional
Serangan Teroris di Dagestan dan Masalah Radikalisme di Rusia

Serangan Teroris di Dagestan dan Masalah Radikalisme di Rusia

Internasional
Rute Baru Penyelundupan Migran ke AS: Nikaragua Jadi Tempat Transit (II)

Rute Baru Penyelundupan Migran ke AS: Nikaragua Jadi Tempat Transit (II)

Internasional
China Disebut Bisa Ambil Alih Taiwan Tanpa Invasi

China Disebut Bisa Ambil Alih Taiwan Tanpa Invasi

Internasional
Rute Baru Penyelundupan Migran ke AS Bertarif Rp 1,1 Miliar, Pakai Pesawat Carter (I)

Rute Baru Penyelundupan Migran ke AS Bertarif Rp 1,1 Miliar, Pakai Pesawat Carter (I)

Internasional
Apa Itu Proyek NEOM Milik Arab Saudi?

Apa Itu Proyek NEOM Milik Arab Saudi?

Internasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com