Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Paul Kagame Akan Jadi Presiden Seumur Hidup Rwanda?

Kompas.com - 21/06/2024, 16:46 WIB
Paramita Amaranggana,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

Sumber DW,Britannica

Kampanye serupa ia terapkan kembali pada pemilu tahun 2010. Beberapa media oposisi ditindas, dan beberapa orang, mulai dari jurnalis independen hingga pemimpin partai oposisi dibunuh. Meski begitu, Kagame bersumpah tak terlibat dalam pembunuhan tersebut,

Secara bersamaan, beberapa partai oposisi juga diketahui tak dapat mengajukan kandidat. Beberapa kandidat dilaporkan menghadapi penangkapan, melarikan diri, atau berakhir tak diikutsertakan dalam pemilu. Kagame lagi-lagi berhasil memenangkan pemilu tahun itu.

Sejak saat itu, kritik terhadap Kagame meningkat. Kagame diprotes atas intoleransi terhadap perbedaan pendapat politik dan kebebasan media. Ia juga disalahkan atas dugaan keterlibatan Rwanda yang terus berlanjut dalam konflik di negara-negara tetangga.

Terlepas dari banyaknya kritik, Kagame tetap populer di kalangan masyarakat. Pada tahun 2015, para pemilih menyetujui amandemen konstitusi yang akan mengizinkan Kagame untuk menjabat masa jabatan ketiga selama tujuh tahun. Tak hanya itu, amandemen itu juga sekaligus memberi Kagame hak untuk kembali menjabat sebanyak dua kali masa jabatan selama lima tahun setelah itu. Dengan begitu, Kagame mungkin saja menjabat sampai dengan tahun 2034.

Baca juga: 30 Tahun Genosida Rwanda yang Menewaskan 800.000 Orang

Tak lama setelah konstitusi tersebut diamandemen, Kagame mengumumkan bahwa dirinya akan kembali mencalonkan diri dalam pemilu tahun 2017. Di tahun itu, Kagame kembali menang telak dengan perolehan suara lebih dari 98 persen.

Saat ini, Rwanda berada dalam urutan 144 dari total 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia yang dirilis oleh Reporters Without Borders. Menurut laporan tersebut, tekanan selama beberapa dekade telah melemahkan lanskap media di negara tersebut.

Dua Kandidat Lain

Hanya ada dua kandidat yang akan maju melawan Kagame dalam pemilu tahun ini: Frank Habineza dari Partai Hijau Demokrat dan seorang kandidat independen, Philippe Mpayimana.

Habineza sebelumnya telah maju sebagai kandidat presiden pada pemilihan presiden terakhir. Namun, ia hanya memperoleh kurang dari 2 persen suara saat itu. Meski demikian, partainya terus melanjutkan upaya politiknya dan berhasil mengamankan dua kursi dalam pemilihan parlemen 2018.

Mpayimana juga sempat maju sebagai kandidat pada tahun 2017. Saat itu, ia hanya memperoleh 0,72 persen dari total suara.

Saat ini, Mpayimana merupakan seorang pakar senior yang bertanggung jawab atas keterlibatan masyarakat di Kementerian Persatuan Nasional dan Keterlibatan Masyarakat. Jabatan itu telah ia pegang sejak November 2021, menurut The New Times, surat kabar berbahasa Inggris di Rwanda. Sebelumnya, ia juga sempat bekerja sebagai jurnalis untuk berbagai penerbitan sejak tahun 1990.

Tidak Diperbolehkan Mengikuti Pemilihan

Sebanyak sembilan kandidat telah menyerahkan pencalonan mereka ke Komisi Pemilihan Umum Nasional. Namun, tak semuanya diperbolehkan maju. Salah satunya yaitu Diane Rwigara, pemimpin Gerakan Penyelamatan Rakyat. Ia mengatakan kepada DW bahwa ia sangat kecewa setelah mengetahui bahwa dirinya dilarang mengikuti pemilihan tahun ini.

“Saya sudah berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi semua persyaratan. Saya sudah memberikan semua dokumen yang diminta Komisi Pemilihan Umum. Namun, seperti pada tahun 2017, saya merasa hak saya untuk berkampanye ditolak,” katanya.

Rwigara telah ditolak mengikuti pemilu tahun 2017 karena diduga memalsukan tanda tangan pendukung untuk pendaftarannya. Ia pun ditangkap dan didakwa atas pemalsuan dan hasutan pemberontakan berdasarkan kritiknya terhadap pemerintah serta Kagame.

Rwigara merupakan putri dari Assinapol Rwigara, seorang kritikus vokal Kagame. Sebelumnya, ia sempat menjadi donor utama partai RPF yang dipimpin Kagame sampai akhirnya berselisih.

Rwigara mengatakan bahwa iklim politik di Rwanda saat ini sedang tegang. “Ada banyak ketakutan. Orang-orang tidak berani mengekspresikan diri mereka karena takut akan pembalasan.”

Rwigara berharap agar representasi politik di Rwanda jauh lebih luas daripada sekarang.

“Saya memahami bahwa dengan masa lalu kita, dengan genosida tahun 1994 terhadap suku Tutsi, kita harus berhati-hati tentang bagaimana kita mengekspresikan diri kita karena apa yang telah dialami negara kita. Itu adalah tragedi yang mengerikan. Meskipun demikian, saya pikir harus ada ruang untuk suara-suara selain dari partai yang berkuasa,” katanya.

Untuk saat ini, wanita berusia 42 tahun itu masih terus berupaya mengadvokasi kebebasan politik dan ekonomi yang lebih besar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com