Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Orang-orang Uighur di Xinjiang, China

Kompas.com - 20/06/2024, 16:10 WIB
Egidius Patnistik

Penulis

Di Turpan, Uighur mendirikan pusat-pusat perdagangan dan pengajaran yang menjadi terkenal karena kekayaan intelektual dan komersialnya. Turpan menjadi pusat perdagangan penting di Jalur Sutra, menghubungkan China dengan Asia Tengah dan Timur Tengah. Uighur juga mengadopsi agama Buddha, yang sudah berkembang di wilayah ini, dan menciptakan karya-karya seni dan literatur yang mencerminkan pengaruh.

Dewasa ini, orang-orang Uighur yang berbahasa Turkiye itu secara tradisional merupakan kelompok etnis dominan di wilayah yang dalam bahasa Mandarin disebut Xinjiang. Nama Xinjiang, yang berarti "Perbatasan Baru", mungkin mencerminkan bahwa wilayah itu baru sepenuhnya berada di bawah kendali Beijing pada abad ke-19 selama pemerintahan dinasti Qing.

Orang Uighur kini umumnya beragam Islam. Masuknya Islam ke wilayah Uighur terjadi pada abad ke-10 melalui pengaruh pedagang dan penyebar agama dari Asia Tengah. Islam kini menjadi bagian integral dari identitas budaya Uighur dan memengaruhi banyak aspek kehidupan mereka, termasuk hukum, pendidikan, dan tradisi.

Peradaban Uighur

Pada masa Dinasti Tang (618-907 M), orang-orang Uighur memainkan peran penting sebagai sekutu strategis kekaisaran China. Mereka sering terlibat dalam pertempuran di sisi China melawan musuh-musuh bersama, termasuk Khitan dan Tibet.

Sebagai pertukaran, Uighur memperoleh hak istimewa perdagangan dan hubungan diplomatik yang lebih erat dengan Kekaisaran Tang. Ini adalah periode di mana Uighur mulai lebih intensif berinteraksi dengan budaya China, memengaruhi bahasa dan tradisi mereka (Richard Foltz, Religions of the Silk Road, 2010).

Kehadiran Uighur yang kuat di Jalur Sutra juga memfasilitasi perkembangan ekonomi dan budaya mereka. Mereka mendirikan kota-kota yang menjadi pusat perdagangan dan pembelajaran, seperti Kashgar dan Turpan. Kota-kota ini menjadi tempat persinggahan penting bagi para pedagang dan pelancong yang melintasi Asia Tengah, menciptakan titik pertemuan berbagai budaya dan tradisi.

Pada abad ke-13, di bawah kekuasaan Dinasti Yuan (1271-1368 M), Uighur berada di bawah pengaruh Mongol. Meskipun mereka kehilangan sebagian otonomi mereka, Uighur berhasil memanfaatkan hubungan ini untuk memperkuat posisi mereka di Jalur Sutra. Mereka diakui oleh Kekaisaran Yuan sebagai administrator yang kompeten dan diberikan posisi penting dalam pemerintahan.

Setelah runtuhnya Dinasti Yuan, Uighur mengalami periode ketidakstabilan hingga akhirnya wilayah mereka diintegrasikan ke dalam Kekaisaran Qing (1644-1912 M). Di bawah pemerintahan Qing, Uighur kehilangan sebagian besar otonomi mereka tetapi terus memainkan peran penting sebagai pedagang dan perantara di Jalur Sutra. Ini adalah era saat Uighur harus menavigasi antara mempertahankan identitas mereka dan beradaptasi dengan aturan yang diberlakukan oleh dinasti-dinasti besar di China

Perubahan Politik dan Sosial

Memasuki abad ke-20, Uighur menghadapi tantangan baru dalam bentuk kolonialisme dan perubahan politik. Setelah Revolusi Xinhai tahun 1911, yang mengakhiri dinasti Qing, Xinjiang mengalami periode ketidakstabilan politik dan ekonomi.

Uighur mulai menuntut lebih banyak otonomi dan hak dalam menghadapi kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah China. Gerakan-gerakan itu memuncak dalam pembentukan Republik Turkistan Timur pertama pada 1933 dan yang kedua pada 1944, meskipun kedua republik ini hanya bertahan sebentar sebelum dihancurkan oleh pasukan pemerintah China.

Pada 1949, setelah berdirinya Republik Rakyat China, Xinjiang secara resmi menjadi bagian dari negara komunis China. Pemerintah China mulai menerapkan kebijakan integrasi dan asimilasi yang bertujuan untuk mengurangi pengaruh identitas etnis Uighur.

Program-program itu termasuk pengiriman penduduk Han China ke Xinjiang, pembangunan infrastruktur yang melibatkan tenaga kerja Uighur, dan perubahan dalam sistem pendidikan yang mengurangi penggunaan bahasa Uighur.

Selama dekade-dekade berikutnya, kebijakan ini memicu ketegangan antara orang-orang Uighur dan pemerintah China. Pengembangan ekonomi besar-besaran di Xinjiang, meskipun membawa kemajuan infrastruktur, sering kali diiringi dengan ketimpangan sosial dan ekonomi. Banyak orang Uighur merasa termarjinalkan dalam proses pembangunan, terutama karena mereka sering kali tidak mendapatkan manfaat yang sama dengan orang-orang Han.

Ketegangan politik ini mencapai puncaknya pada awal abad ke-21, dengan insiden kerusuhan dan tindakan keras oleh pemerintah China. Masalah ini semakin rumit dengan adanya laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penahanan massal dan program "pendidikan ulang" yang kontroversial.

Perubahan politik dan sosial ini telah menimbulkan kritik internasional dan menyoroti situasi sulit yang dihadapi oleh komunitas Uighur di China saat ini.

Baca juga: PBB Rilis Laporan Pelanggaran HAM terhadap Uighur, AS Minta China Tanggung Jawab

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com