Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Orang-orang Uighur di Xinjiang, China

Kompas.com - 20/06/2024, 16:10 WIB
Egidius Patnistik

Penulis

KONDISI orang-orang etnis Uighur di Xinjiang, China, kembali menjadi sorotan setelah Human Rights Watch dan Uyghur Hjelp, organisasi yang berbasis di Norwegia, menerbitkan laporan tentang ratusan desa dan kota orang-orang Uighur diganti namanya oleh pihak berwenang China. Penggantian nama-nama itu demi menghilangkan referensi serta pengaruh agama dan budaya orang-orang Uighur.

Orang-orang Uighur merupakan kelompok etnis Turkiye yang sebagian besar berada di Xinjiang. Mereka telah lama mengalami hubungan yang tidak harmonis dengan Beijing.

Berdasarkan laporan itu, sekitar 630 komunitas telah diubah namanya. Nama-nama baru yang menggantikan rujukan terhadap agama, sejarah, atau budaya Uighur merupakan bagian dari ribuan perubahan nama antara tahun 2009 dan 2023.

Baca juga: 50 Negara Kecam China karena Melanggar HAM Terhadap Uighur, Indonesia Tak Termasuk

Menurut The Guardian, perubahan yang sebagian besar terjadi pada tahun 2017-2019 menyasar tiga kategori utama: penghapusan istilah agama atau praktik budaya Uighur, penggantian nama yang merujuk pada kerajaan atau pemimpin Uighur sebelum tahun 1949; dan penggantian nama desa dengan istilah-istilah yang mencerminkan ideologi Partai Komunis.

Referensi seperti "hoja" (guru agama Sufi), "haniqa" (bangunan keagamaan Sufi), dan "mazar" (tempat suci) dihapus dari setidaknya puluhan nama desa. Selain itu, istilah seperti "xelpe" atau "khalifa" (penguasa) dan "meschit" (masjid) juga dihilangkan dari nama-nama desa di Xinjiang.

Nama-nama baru desa-desa tersebut umumnya menggunakan bahasa Mandarin dan mengekspresikan sentimen positif yang diinginkan pemerintah Uighur di bawah kepemimpinan China.

Contohnya, desa Aq Meschit (Masjid Putih) di wilayah Akto berganti nama menjadi desa Persatuan pada tahun 2018, dan desa Dutar di wilayah Karakax berganti nama menjadi desa Bendera Merah pada tahun 2022.

Baca juga: China Ganti Nama Ratusan Desa dan Kota Uighur yang Berbau Agama dan Budaya Tertentu

Sejarah Migrasi Orang-orang Uighur

Etnis Uighur berasal dari kelompok suku-suku Turkiye Kuno di Asia Tengah. Mereka adalah salah satu dari banyak suku nomaden yang menghuni padang rumput stepa Asia Tengah dan telah terlibat dalam migrasi serta interaksi lintas budaya yang intens.

Richard N Frye dalam bukunya, The Heritage of Central Asia: From Antiquity to the Turkish Expansion (1996) menulis, awalnya leluhur orang-orang Uighur adalah bagian dari konfederasi suku-suku yang dikenal sebagai Tiele, yang disebutkan dalam catatan sejarah China sejak abad ke-4 M. Tiele merupakan kelompok suku yang tinggal di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Mongolia dan Siberia Selatan. Mereka adalah penunggang kuda dan penggembala yang hidup di padang rumput luas dan sering terlibat dalam pertempuran serta aliansi dengan suku-suku lain di wilayah tersebut.

Selama abad ke-6 M, orang-orang Tiele berhasil membentuk konfederasi yang dikenal sebagai Khaganat Gokturk. Itu merupakan masa ketika kelompok-kelompok orang Turkiye, termasuk nenek moyang orang-orang Uighur, mulai memiliki pengaruh politik yang signifikan. Khaganat Gokturk menjadi kekuatan besar di Asia Tengah, tetapi akhirnya mengalami perpecahan yang menyebabkan beberapa suku, termasuk Uighur, mencari wilayah baru untuk ditempati.

Pada abad ke-8, orang-orang Uighur membentuk Kekaisaran Uighur, yang berpusat di Mongolia saat ini. Kekaisaran ini berkembang dari wilayah tradisional mereka dan berhasil memanfaatkan keruntuhan Khaganat Gokturk. Di bawah kepemimpinan Khagan Kharlukh dan penerusnya, Kekaisaran Uighur menguasai wilayah yang luas dan mengendalikan rute perdagangan penting di Jalur Sutra.

Pada puncaknya, kekaisaran ini meliputi wilayah yang mencakup sebagian besar Mongolia, Xinjiang, dan bahkan bagian dari China.

Kekaisaran Uighur mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Khagan Mouyu (745-759 M), yang memperkuat posisi mereka sebagai penghubung antara dunia Timur dan Barat. Mereka mengembangkan hubungan diplomatik dan perdagangan yang kuat dengan Dinasti Tang di China dan mengadopsi banyak elemen budaya China.

Namun, pada 840 M, Kekaisaran Uighur mengalami kejatuhan setelah serangan oleh suku Kirgiz. Serangan ini menyebabkan kekaisaran runtuh, memaksa orang-orang Uighur bermigrasi ke wilayah yang sekarang dikenal sebagai Xinjiang. Migrasi ini membawa mereka ke Lembah Tarim, di mana mereka mendirikan kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Uighur Turpan dan Kerajaan Uighur Khotan.

Setelah kehancuran Kekaisaran Uighur, banyak orang Uighur bermigrasi ke bagian barat, terutama ke daerah Turpan dan Khotan di Lembah Tarim. Wilayah ini merupakan bagian dari jalur perdagangan penting di Jalur Sutra, sehingga migrasi mereka tidak hanya bersifat geografis tetapi juga berhubungan dengan integrasi ke dalam jaringan perdagangan yang kompleks. Mereka mendirikan kerajaan-kerajaan yang memainkan peran penting dalam perdagangan dan budaya di wilayah tersebut.

Baca juga: Isi Laporan PBB tentang Pelanggaran HAM China terhadap Uighur di Xinjiang

Di Turpan, Uighur mendirikan pusat-pusat perdagangan dan pengajaran yang menjadi terkenal karena kekayaan intelektual dan komersialnya. Turpan menjadi pusat perdagangan penting di Jalur Sutra, menghubungkan China dengan Asia Tengah dan Timur Tengah. Uighur juga mengadopsi agama Buddha, yang sudah berkembang di wilayah ini, dan menciptakan karya-karya seni dan literatur yang mencerminkan pengaruh.

Dewasa ini, orang-orang Uighur yang berbahasa Turkiye itu secara tradisional merupakan kelompok etnis dominan di wilayah yang dalam bahasa Mandarin disebut Xinjiang. Nama Xinjiang, yang berarti "Perbatasan Baru", mungkin mencerminkan bahwa wilayah itu baru sepenuhnya berada di bawah kendali Beijing pada abad ke-19 selama pemerintahan dinasti Qing.

Orang Uighur kini umumnya beragam Islam. Masuknya Islam ke wilayah Uighur terjadi pada abad ke-10 melalui pengaruh pedagang dan penyebar agama dari Asia Tengah. Islam kini menjadi bagian integral dari identitas budaya Uighur dan memengaruhi banyak aspek kehidupan mereka, termasuk hukum, pendidikan, dan tradisi.

Peradaban Uighur

Pada masa Dinasti Tang (618-907 M), orang-orang Uighur memainkan peran penting sebagai sekutu strategis kekaisaran China. Mereka sering terlibat dalam pertempuran di sisi China melawan musuh-musuh bersama, termasuk Khitan dan Tibet.

Sebagai pertukaran, Uighur memperoleh hak istimewa perdagangan dan hubungan diplomatik yang lebih erat dengan Kekaisaran Tang. Ini adalah periode di mana Uighur mulai lebih intensif berinteraksi dengan budaya China, memengaruhi bahasa dan tradisi mereka (Richard Foltz, Religions of the Silk Road, 2010).

Kehadiran Uighur yang kuat di Jalur Sutra juga memfasilitasi perkembangan ekonomi dan budaya mereka. Mereka mendirikan kota-kota yang menjadi pusat perdagangan dan pembelajaran, seperti Kashgar dan Turpan. Kota-kota ini menjadi tempat persinggahan penting bagi para pedagang dan pelancong yang melintasi Asia Tengah, menciptakan titik pertemuan berbagai budaya dan tradisi.

Pada abad ke-13, di bawah kekuasaan Dinasti Yuan (1271-1368 M), Uighur berada di bawah pengaruh Mongol. Meskipun mereka kehilangan sebagian otonomi mereka, Uighur berhasil memanfaatkan hubungan ini untuk memperkuat posisi mereka di Jalur Sutra. Mereka diakui oleh Kekaisaran Yuan sebagai administrator yang kompeten dan diberikan posisi penting dalam pemerintahan.

Setelah runtuhnya Dinasti Yuan, Uighur mengalami periode ketidakstabilan hingga akhirnya wilayah mereka diintegrasikan ke dalam Kekaisaran Qing (1644-1912 M). Di bawah pemerintahan Qing, Uighur kehilangan sebagian besar otonomi mereka tetapi terus memainkan peran penting sebagai pedagang dan perantara di Jalur Sutra. Ini adalah era saat Uighur harus menavigasi antara mempertahankan identitas mereka dan beradaptasi dengan aturan yang diberlakukan oleh dinasti-dinasti besar di China

Perubahan Politik dan Sosial

Memasuki abad ke-20, Uighur menghadapi tantangan baru dalam bentuk kolonialisme dan perubahan politik. Setelah Revolusi Xinhai tahun 1911, yang mengakhiri dinasti Qing, Xinjiang mengalami periode ketidakstabilan politik dan ekonomi.

Uighur mulai menuntut lebih banyak otonomi dan hak dalam menghadapi kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah China. Gerakan-gerakan itu memuncak dalam pembentukan Republik Turkistan Timur pertama pada 1933 dan yang kedua pada 1944, meskipun kedua republik ini hanya bertahan sebentar sebelum dihancurkan oleh pasukan pemerintah China.

Pada 1949, setelah berdirinya Republik Rakyat China, Xinjiang secara resmi menjadi bagian dari negara komunis China. Pemerintah China mulai menerapkan kebijakan integrasi dan asimilasi yang bertujuan untuk mengurangi pengaruh identitas etnis Uighur.

Program-program itu termasuk pengiriman penduduk Han China ke Xinjiang, pembangunan infrastruktur yang melibatkan tenaga kerja Uighur, dan perubahan dalam sistem pendidikan yang mengurangi penggunaan bahasa Uighur.

Selama dekade-dekade berikutnya, kebijakan ini memicu ketegangan antara orang-orang Uighur dan pemerintah China. Pengembangan ekonomi besar-besaran di Xinjiang, meskipun membawa kemajuan infrastruktur, sering kali diiringi dengan ketimpangan sosial dan ekonomi. Banyak orang Uighur merasa termarjinalkan dalam proses pembangunan, terutama karena mereka sering kali tidak mendapatkan manfaat yang sama dengan orang-orang Han.

Ketegangan politik ini mencapai puncaknya pada awal abad ke-21, dengan insiden kerusuhan dan tindakan keras oleh pemerintah China. Masalah ini semakin rumit dengan adanya laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penahanan massal dan program "pendidikan ulang" yang kontroversial.

Perubahan politik dan sosial ini telah menimbulkan kritik internasional dan menyoroti situasi sulit yang dihadapi oleh komunitas Uighur di China saat ini.

Baca juga: PBB Rilis Laporan Pelanggaran HAM terhadap Uighur, AS Minta China Tanggung Jawab

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com