Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warga Gaza Terpaksa Hidup Berdampingan dengan Sampah dan Hewan Pengerat

Kompas.com - 19/06/2024, 16:36 WIB
Paramita Amaranggana,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

Sumber BBC

PEMANDANGAN di sepanjang Jalur Gaza berubah total akibat perang. Kini, warga Gaza harus hidup berdampingan dengan tumpukan sampah. Tak hanya merusak pemandangan, sampah-sampah itu juga menghasilkan bau busuk yang menimbulkan bahaya serius bagi kesehatan dan lingkungan.

“Kami tidak pernah tinggal di dekat sampah sebelumnya,” kata Asmahan al-Masri, pengungsi yang berasal dari Beit Hanoun di utara. Saat ini, ia menetap di sebuah lahan tak digunakan di Khan Younis.

“Saya menangis seperti nenek-nenek lainnya saat cucu-cucunya sakit dan terkena kudis. Ini seperti kematian yang lambat. Tidak ada martabat.”

Baca juga: Warga Gaza Sambut Idul Adha 2024 dengan Rasa Lapar dan Penderitaan...

Hanya dalam delapan bulan, lebih dari 330.400 ton sampah padat diperkirakan telah menumpuk di wilayah Palestina, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga kemanusiaan yang berfokus pada sanitasi.

Berbagi Tempat Tinggal dengan Sampah dan Hewan Pengerat

Selain berbagi tempat tinggal dengan sampah, warga Gaza kini harus berbagi tempat dengan hewan-hewan pengerat yang datang bersamaan dengan sampah-sampah tersebut. Kondisi ini tak terkecuali menimpa 16 anggota keluarga Masri yang saat ini harus berbagi tenda di sebuah kamp dekat Universitas al-Aqsa dengan kawanan lalat dan terkadang ular. Anjing-anjing liar juga tampak berkeliaran dan dapat mengancam siapa saja yang berada di dekatnya.

Kondisi diperburuk dengan bau busuk yang terus-menerus mengganggu mereka.

“Baunya sangat mengganggu. Saya membiarkan pintu tenda saya terbuka agar saya bisa menghirup udara segar, tetapi tidak ada udara sama sekali,” kata Asmahan. “Hanya ada bau sampah.”

Asmahan dan keluarganya hanyalah segelintir dari sekian banyak orang Gaza lainnya yang harus hidup dengan kondisi mengkhawatirkan. Beberapa dari satu juta lebih orang yang baru-baru ini melarikan diri dari serangan Israel di Rafah harus hidup dengan kondisi serupa dengan keluarga Masri. Mereka mau tak mau harus tinggal di daerah terbuka yang untuk sementara diubah menjadi tempat pembuangan sampah.

“Kami mencari kemana-mana untuk mendapatkan tempat yang cocok, tetapi kami beranggotakan 18 orang dengan anak-anak dan cucu-cucu kami, dan kami tidak dapat menemukan tempat lain di mana kami dapat tinggal bersama,” kata Ali Nasser yang belum lama ini pindah dari rumahnya di Rafah ke kamp Universitas al-Aqsa

“Perjalanan ke sini menghabiskan lebih dari 1.000 shekel (Rp 4,4 juta) dan sekarang keuangan kami hancur. Kami tidak memiliki pekerjaan, tidak ada penghasilan, sehingga kami terpaksa hidup dalam situasi yang mengerikan ini. Kami menderita muntah-muntah, diare, dan kulit yang terus-menerus gatal.”

Kondisi Sudah Cukup Buruk Sebelum Dimulainya Perang

Blokade selama bertahun-tahun yang diberlakukan Israel dan Mesir di Gaza sebelum mulainya perang telah menghambat operasi layanan-layanan dasar, salah satunya pembuangan limbah.

Pembatasan ketat terkait apa saja yang boleh memasuki wilayah tersebut secara langsung juga telah membatasi jumlah truk sampah yang masuk. Selain itu, kurangnya peralatan untuk memilah, mendaur ulang, dan membuang limbah rumah tangga kian memperburuk situasi yang ada.

Tak sampai di situ, kondisi kemudian semakin diperburuk pasca-serangan mendadak Hamas ke Israel pada 7 Oktober tahun lalu. Sebagai respon, militer Israel memblokir akses-akses ke daerah perbatasan, yang merupakan lokasi berdirinya dua tempat pembuangan sampah utama Gaza – satu di Juhr al-Dik untuk wilayah utara, dan satu lagi di al-Fukhari untuk wilayah tengah dan selatan.

Baca juga: Bagaimana Operasi Penyelamatan 4 Sandera Israel di Gaza Berlangsung?

“Kami menyaksikan krisis pengelolaan limbah di Gaza, dan krisis ini telah menjadi jauh lebih buruk selama beberapa bulan terakhir,” kata Sam Rose, direktur perencanaan badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA.

Sampah Menggunung

Rekaman di media sosial yang dikumpulkan BBC Verify telah menunjukkan tempat pembuangan sementara yang telah berkembang akibat gelombang pengungsi di berbagai kota. BBC Verify telah mengautentikasi lokasi-lokasi yang tampak dalam rekaman tersebut, antara lain Kota Gaza, Khan Younis, dan Rafah mulai dari bulan Februari hingga Juni tahun ini.

Analisis satelit oleh BBC Verify sebelumnya juga telah menemukan masalah-masalah sanitasi lain, di antaranya menunjukkan bahwa setengah dari lokasi pengolahan air dan limbah Gaza telah rusak atau hancur setelah Israel memulai aksi militer melawan Hamas.

“Anda melihat genangan lumpur abu-abu kecoklatan yang sangat besar di sekitar tempat tinggal orang-orang karena mereka tidak punya pilihan, dan anda melihat tumpukan sampah yang besar. Entah ini dibiarkan begitu saja di luar rumah orang-orang atau di beberapa tempat, orang-orang terpaksa pindah ke dekat tempat pembuangan sampah sementara yang telah didirikan,” kata Rose.

“Orang-orang benar-benar hidup di antara sampah.”

Sementara itu, pengungsian massal telah semakin membuat kewalahan otoritas lokal yang harus sering berurusan dengan fasilitas-fasilitas rusak akibat pengeboman Israel yang masih berlangsung. Mereka mengeluhkan kurangnya staf, peralatan, dan truk sampah serta bahan bakar untuk mengoperasikannya.

Langkah Apa yang Sudah Dilakukan?

Seorang pejabat di wilayah Khan Younis, Omar Matar, menyatakan prihatin atas kondisi hidup bagi mereka yang kini tinggal di dekat Universitas al-Aqsa.

“Tempat pembuangan sampah acak ini tidak memenuhi standar kesehatan dan lingkungan. Tempat pembuangan sampah ini tidak menghentikan penyebaran bau, serangga, dan hewan pengerat,” kata dia.

“Tempat sampah ini sebelumnya dibuat sebagai langkah darurat karena penutupan tempat pembuangan sampah Sofa (di al-Fukhari), sampai dengan ditemukan solusi dengan lembaga internasional untuk mengangkut sampah ke sana.”

Untuk membantu menanggulangi masalah sampah tersebut, Program Pembangunan PBB baru-baru ini terlibat dalam pengumpulan 47.000 ton sampah dari Gaza bagian tengah dan Selatan. Mereka juga membantu mendistribusikan 80.000 liter bahan bakar guna mendukung upaya pembersihan. Meski demikian, masih banyak hal yang sebenarnya perlu dilakukan.

Saat ini, situasi kian dipersulit dengan kenaikan suhu, terutama selama musim panas. Badan-badan bantuan secara rutin memperingatkan bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh begitu banyaknya sampah.

Namun, kesehatan kini tak lagi menjadi prioritas bagi warga Gaza yang putus asa. Mereka kini rela mengambil resiko ekstra guna mencari sesuatu untuk dimakan, digunakan, atau dijual.

“Kami terbiasa dengan baunya. Setiap hari kami datang ke sini bersama-sama untuk mencari kardus dan barang-barang lain yang bisa kami bakar untuk membuat api,” kata Mohammed, salah satu dari sekelompok anak laki-laki yang memunguti barang di tempat pembuangan sampah dekat Deir al-Balah, kepada BBC.

“Kami meninggalkan semua uang kami, ternak-ternak kami, rumah-rumah kami. Semuanya ditinggalkan. Ini adalah hal yang paling berbahaya bagi kesehatan kami. Saya tidak akan pernah pergi ke tempat pembuangan sampah sebelumnya tetapi sekarang, semua orang datang ke sini," kata Mazad Abu Mila, pengungsi dari Beit Lahia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com