Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana Nasib 5,9 Juta Pengungsi Palestina di Timur Tengah?

Kompas.com - 19/01/2024, 18:00 WIB
Egidius Patnistik

Penulis

Lebanon: Kehidupan Buruk di Kamp dan Hak Terbatas

Berbeda dengan banyak pengungsi Palestina di Yordania, sekitar 488.000 pengungsi Palestina di Lebanon tidak dapat menjadi warga negara. Mereka juga memiliki akses yang sangat terbatas pada perawatan kesehatan publik, pendidikan, atau ekonomi formal.

Penempatan permanen orang-orang Palestina di Lebanon (yang dikenal sebagai tawteen) menimbulkan kekhawatiran terkait dampaknya bagi sistem politik konfesional Lebanon. Sistem politik Libanon menginstitusionalisasikan pembagian kekuasaan di antara komunitas-komunitas agama.

Sejak tahun 1943, Lebanon telah berpegang pada sistem distribusi kekuasaan berdasarkan representasi proporsional agama, yaitu perdana menteri harus seorang Muslim Sunni, presiden seorang Kristen, dan ketua parlemen seorang Muslim Syiah.

Hingga tahun 2005, pemerintah Lebanon melarang pengungsi Palestina mengakses pasar tenaga kerja formal. Mereka hanya bisa bekerja di sektor ekonomi informal, di mana mereka menerima upah yang lebih rendah.

Kini, orang Palestina yang lahir di Lebanon dan telah terdaftar dalam UNRWA serta Kementerian Dalam Negeri dapat memperoleh izin kerja dan mengakses 70 jenis pekerjaan.

Namun, masih banyak tantangan yang tetap ada. Orang Palestina tidak dapat mengakses asuransi kesehatan publik dan tetap dilarang masuk dalam berbagai profesi di bidang hukum, teknik, dan perawatan kesehatan publik. Lebih mengkhawatirkan, sekitar 210.000 orang Palestina —hampir 45 persen dari total populasi pengungsi Palestina di negara itu— tinggal di kamp-kamp usang di mana kondisinya umumnya buruk.

Tahun 1968, orang-orang Palestina sempat memperoleh pemerintahan otonom di dalam kamp-kamp di Lebanon berdasarkan Perjanjian Kairo. Kamp-kamp ini telah memainkan peran vital sebagai lokasi untuk mobilisasi politik dan militer selama invasi Israel ke Lebanon dan sepanjang perang saudara Lebanon. Kebebasan mereka kemudian dibatasi dengan perjanjian Taif tahun 1991.

Bersamaan dengan itu, undang-undang baru Lebanon melarang orang Palestina tinggal di luar kamp atau memiliki tanah atau perumahan. Sejak itu, populasi di kamp-kamp Palestina di Lebanon bertambah, tetapi luas tanah yang dialokasikan untuk mereka tetap sama. Hal itu menyebabkan kepadatan penduduk dan konstruksi kamp tidak aman.

Krisis ekonomi dan keuangan baru-baru ini, serta dampak pandemi, dan ledakan di Pelabuhan Beirut pada Agustus 2020 sangat memukul pengungsi di Lebanon. Sebanyak 93 persen pengungsi Palestina di negara itu hidup dalam kemiskinan pada tahun 2022. Harga keranjang makanan (keranjangan berisi barang makanan dasar yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi minimal sehari-hari) di kamp-kamp pengungsi meningkat lebih dari lima kali lipat antara Oktober 2019 dan Juli 2022. Kondisi itu membuat banyak keluarga tidak mampu membeli barang-barang kebutuhan dasar.

Suriah: Pengungsi Mengungsi Lagi di Tengah Perang Saudara

Suriah menerima sejumlah besar pengungsi Palestina tahun 1940-an dan 1960-an. Orang Palestina di Suriah tidak dapat memperoleh kewarganegaraan tetapi dapat mengakses pekerjaan, pendidikan, dan perawatan kesehatan setara dengan warga Suriah.

Namun, perang saudara yang dimulai tahun 2011 telah berdampak buruk pada pengungsi Palestina. Kamp-kamp di Dera'a, Yarmouk, dan Ein el Tal, yang secara gabungan menampung lebih dari 30 persen pengungsi Palestina di negara itu, hancur lebur. Sekitar 120.000 orang Palestina melarikan diri ke negara lain. Itu berarti sekitar 438.000 dari 575.000 pengungsi yang terdaftar di UNRWA tetap berada di Suriah pada tahun 2022. Dari jumlah tersebut, 40 persennya adalah orang yang mengungsi di dalam negeri.

Perang saudara Suriah memang telah dilokalisasi, tetapi situasi kemanusiaan tetap parah dan telah diperburuk oleh penurunan kondisi ekonomi, penurunan produksi pertanian akibat perubahan iklim, dan masalah kesehatan.

Dua gempa bumi, yang melanda Suriah barat laut pada Februari 2023, menewaskan puluhan ribu orang dan memengaruhi pengungsi Palestina di Aleppo, Latakia, dan Hama di Suriah utara. Hampir 47.000 pengungsi Palestina terdampak dan ribuan orang kembali mengungsi.

Pengungsi di Gaza dan Tepi Barat

Selain 3,4 juta pengungsi Palestina yang terdaftar dan tinggal di negara-negara tetangga, hampir 2,5 juta orang Palestina tinggal di wilayah pendudukan di Gaza dan Tepi Barat. Pengungsi mencapai sekitar 67 persen dari populasi Gaza. Mereka hidup dalam kondisi sosial ekonomi yang sulit akibat blokade darat, udara, dan laut yang diberlakukan Israel sejak 2007, saat Hamas mengambil kendali politik Gaza.

Akibatnya, 80 persen populasi bergantung pada bantuan kemanusiaan pada tahun 2021. Tingkat kemiskinan sangat tinggi (hampir 82 persen) dan tingkat pengangguran merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, hampir 47 persen pada Agustus 2022.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com