Empat tahun kemudian, Ben Gurion kembali menentang opini dunia ketika dia memutuskan untuk mengadili Adolf Eichmann, kolonel Gestapo yang telah mengirim jutaan orang Yahudi ke kamp kematian selama Perang Dunia II.
Penculikan pemimpin Nazi di Argentina memicu kritik, dan kemungkinan dia diadili di Israel, menimbulkan kekhawatiran: ada protes bahwa Eichmann hanya bisa mendapatkan pengadilan yang adil di pengadilan Jerman atau internasional.
Ben Gurion dituduh arogan ketika dia menyatakan bahwa Israel “dari sudut pandang moral” adalah satu-satunya tempat di mana Eichmann dapat dihakimi.
Kali ini, buktilah yang membebaskan Ben Gurion dari pandangan negatif.
Persidangan tersebut disiarkan di televisi pada 1961 dan dunia dapat melihat para hakim melakukan tugasnya dengan sempurna sehingga Robert Servatius, pengacara Eichmann yang berkebangsaan Jerman, mengakui bahwa terdakwa mendapatkan persidangan yang lebih adil dibandingkan di Jerman Barat.
Status mulia Ben Gurion di negaranya meningkat.
Tampak bahwa pemerintahannya, betapapun kontroversialnya, tidak akan berakhir.
Namun pada akhirnya, negarawan yang menjabat terlalu lama akan mengalami nasib yang pahit: kesalahan masa lalu kembali menghantui mereka, dan para pengikut mereka yang sudah muak berkata "cukup".
Pada 1963, ia mengundurkan diri sebagai perdana menteri.
Namun upaya ini tetap meluas, karena, meskipun ia memprakarsai beberapa rencana untuk mengadakan pembicaraan rahasia dengan para pemimpin Arab dengan tujuan membangun perdamaian di Timur Tengah, tidak ada yang membuahkan hasil.
Ia akhirnya pensiun dari dunia politik ketika berusia 84 tahun, pada 1970.
Ben Gurion mampu melihat tanda-tanda trauma internal yang nantinya akan menimpa Israel.
Setelah perang 1967, ia menentang mempertahankan wilayah Arab di luar Yerusalem.
Ketakutan akan Perang Yom Kippur pada tahun 1973, ketika serangan gabungan pasukan Mesir dan Suriah di dua wilayah berbeda membuat Israel tidak siap, dalam pandangan Ben Gurion, merupakan tanda arogansi dan rasa berpuas diri yang berbahaya.
Bagi seorang pria yang terobsesi dengan cita-cita kerja keras, itu adalah sifat yang menjijikkan.
Dia meninggal dua bulan setelah berakhirnya perang itu pada usia 87 tahun.
Dia, pada akhirnya, adalah seorang pria dengan energi yang luar biasa, secara fisik dan intelektual, "sangat lincah," menurut penulis Israel Amos Oz.
Dia berbicara bahasa Rusia, Yiddish, Turkiye, Perancis, dan Jerman. Dia membaca bahasa Arab dan belajar bahasa Spanyol.
Pada usia 56 tahun dia belajar bahasa Yunani untuk membaca Septuaginta, Perjanjian Lama versi Yunani; Pada usia 68 tahun, ia belajar bahasa Sansekerta untuk membaca Dialog Buddha.
Dia melakukan yoga di pasir Mediterania, dan meskipun foto-foto yang menunjukkan posisi dia terbalik memicu komentar ironis, teman-temannya mengatakan bahwa 'Hazaken atau Pak Tua', begitu dia disapa, lebih pintar dari kebanyakan lawannya.
Seiring berlalunya waktu, kritik terhadap Ben Gurion memudar, dan citranya yang mengesankan karena memiliki visi dan memberikan kontribusi nyata, tetap ada.
Namun karena hidup Ben Gurion sangat erat kaitannya dengan pembentukan negara Israel, ia menjadi sosok yang dicintai namun juga dibenci.
Baca juga: 75 Tahun Berdirinya Negara Israel, Dulu dan Kini
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.