Meskipun Ben Gurion mendukung prinsip perjuangan bersenjata, dia mengecam kelompok sayap kanan yang melakukan tindakan kejam dan tak pandang bulu.
Setelah kemerdekaan tercapai, dia mendesak agar semua kelompok bersenjata dibubarkan dan menjadi bagian dari Pasukan Pertahanan Israel.
Kekuatan baru ini segera beraksi, memerangi dan mengalahkan tentara negara-negara Arab yang berusaha menyerang negara baru itu.
Pada 14 Mei 1948, Yerusalem dikepung oleh Legiun Arab Transyordania; Di utara, pemukiman Yahudi diserang oleh pasukan Suriah dan Irak, sementara Mesir menyerbu dari selatan.
Ini adalah ujian terbesar yang dihadapi pemimpin berusia 62 tahun itu dengan mengambil alih komando operasi militer, dan secara de facto menjadi perdana menteri dan menteri pertahanan.
Meski beberapa keputusannya menimbulkan pertanyaan, pada akhirnya Ben Gurion dipenuhi dengan kejayaan karena telah memenangi kampanye Yahudi pertama sejak perlawanan Yudas Maccabeus 2.000 tahun sebelumnya.
Hal ini membuatnya menjadi sosok yang disegani bagi banyak orang: seorang patriark bijak yang akan menjamin kelangsungan negara dengan kemenangan atas banyak musuhnya.
Namun berkat bagi sebagian orang merupakan kecaman bagi sebagian lainnya.
Bagi warga Arab Palestina yang menolak pembagian wilayah yang disetujui PBB, ini adalah awal dari Nakba, malapetaka yang mereka alami sejak itu.
Sebelum perang 1948, sekitar 1,4 juta warga Palestina tinggal di Palestina wilayah mandatori Inggris, dan 900.000 di antaranya tinggal di wilayah yang menjadi negara Israel.
Mayoritas dari populasi tersebut, antara 700.000-750.000 orang, secara aktif diusir atau melarikan diri ke luar perbatasan--ke Suriah, Lebanon, Mesir atau Transyordania--atau ke wilayah yang dikuasai oleh tentara Arab yang terlibat dalam perang (Tepi Barat dan Jalur Gaza).
Dengan aturan yang begitu ketat, mereka yang keluar tidak pernah diizinkan kembali ke rumah dan tanah mereka, sebuah kebijakan Israel yang dibuat selama perang.
Nakba bagi rakyat Palestina adalah sebuah proses yang tidak pernah berakhir, dan selama tahun-tahun pertama, orang yang memimpin keputusan yang berdampak pada mereka itu adalah Ben Gurion.
Pada Maret 1949, dia secara resmi menjadi perdana menteri dalam pemerintahan pertama Israel.
Sejak saat itu hingga tahun 1960-an, ia memimpin kehidupan politik di Israel dengan kendali yang hampir penuh, meski memiliki beberapa musuh politik, terutama karena ia adalah seorang sosialis dan sekuler.
Namun, Ben Gurion mempunyai popularitas yang sangat tinggi, hampir seperti "pemujaan", di antara banyak kelompok di negara ini. Sehingga, kewenangannya dalam memutuskan urusan pertahanan dan juga urusan luar negeri selalu diterima.
Beberapa kali, ketika dia tidak dapat meyakinkan koalisi untuk melaksanakan keinginannya, dia mengundurkan diri dan pergi ke pondoknya di Kibbutz Sde Boker. Namun sering kali juga dia cukup mengeluarkan ancaman demi mendapatkan yang diminta.
Hanya ada satu kejadian pada tahun 1953 ketika dia menyatakan dirinya "lelah, lelah, lelah" dan pensiun selama 14 bulan, hingga dia diminta kembali ke Yerusalem sebagai menteri pertahanan.
Tak lama kemudian, pada November 1955, ia kembali menjadi perdana menteri.
Saat itulah Israel mengambil kebijakan yang berujung pada perang lagi, dan momen tergelap dalam karier Ben Gurion.
Baca juga: Mengenal Nakba, Tragedi Pengusiran Warga Palestina Setelah Israel Berdiri
Dia meyakini bahwa ancaman terbesar Israel adalah serangan yang akan segera diluncurkan oleh Mesir, yang telah menerima senjata dari Uni Soviet dan berkolusi dengan Perancis serta Inggris, dia melancarkan "perang preventif" melawan tentara Mesir.
Pasukan Perancis dan Inggris, yang ingin merebut Terusan Suez, pada awalnya menang, namun Amerika menentang agresi tersebut dan mendukung permintaan PBB agar semua penyerbu pergi dari Mesir.
Hal ini, ditambah ancaman campur tangan Uni Soviet, menyebabkan seluruh rencana gagal dengan cara yang, paling tidak, memalukan.
Ben Gurion mencoba untuk mendesak dilakukannya konsesi, tetapi dia menemui jalan buntu dan tidak punya pilihan selain menerima kekalahan yang kemudian bisa dia selamatkan berkat ketangguhannya.