Penulis: Frank Gardner, Koresponden BBC bidang keamanan
Yahya Sinwar telah menghilang. Tidak mengherankan kalau ribuan tentara Israel mengerahkan drone, penyadap elektronik, hingga informan manusia demi mencari keberadaannya.
Sinwar, yang memiliki rambut seputih salju dan alis hitam, merupakan pemimpin sayap politik Hamas di Gaza. Dia adalah salah satu orang yang paling dicari-cari oleh Israel.
Yahya bersama sejumlah orang lainnya dianggap bertanggung jawab atas serangan pada 7 Oktober di wilayah selatan Israel, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan lebih dari 200 orang diculik.
Baca juga: Kenapa Palestina Tidak Punya Tentara?
“Yahya Sinwar adalah komandannya… dan dia akan habis,” kata juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Laksamana Muda Daniel Hagari pada awal Oktober.
“Serangan keji ini diputuskan oleh Yahya Sinwar,” kata Kepala Staf IDF Herzi Halexi.
“Oleh karena itu dia dan semua anggotanya akan habis.”
Begitu pula Mohammed Deif, pemimpin sayap militer Hamas, Brigade Ezzedine Al Qassam yang sulit ditangkap.
Hugh Lovatt, peneliti senior di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa (ECFR) meyakini bahwa Deif adalah otak di balik perencanaan serangan 7 Oktober, mengingat ini adalah operasi militer Hamas.
Namun, Sinwar “kemungkinan besar adalah bagian dari kelompok yang merencanakan dan memengaruhi serangan tersebut”.
Israel percaya bahwa Sinwar, yang merupakan orang kedua setelah pemimpin Hamas Ismail Haniyeh, telah terpojok, bersembunyi di terowongan bawah tanah di suatu tempat di Gaza bersama pengawalnya, tidak berkomunikasi dengan siapa pun karena khawatir akan terlacak dan ditemukan.
Sinwar (61), yang dikenal dengan sapaan Abu Ibrahim, lahir di kamp pengungsi Khan Younis di ujung selatan Jalur Gaza.
Orang tuanya berasal dari Ashkelon, namun dia menjadi pengungsi pasca-peristiwa "Al Naqba” (bencana), yang merujuk pada tersingkirnya warga Palestina dari tanah leluhur mereka dalam perang usai negara Israel dibentuk pada 1948.
Dia menempuh pendidikan di sekolah menengah untuk laki-laki di Khan Younis, lalu menjadi sarjana bahasa Arab dari Universitas Islam Gaza.
Sinwar pertama kali ditangkap oleh Israel pada 1982, ketika dia masih berusia 19 tahun.
Dia kemudian ditangkap lagi pada 1985. Pada saat itulah dia dipercaya oleh pendiri Hamas berkursi roda, Sheikh Ahmed Yassin.
Keduanya menjadi “sangat, sangat dekat”, kata peneliti senior di Institut Studi Keamanan Nasional di Tel Aviv, Kobi Michael.
Hubungan dengan pemimpin spiritual organisasi ini memberi kesan pertama yang baik bagi Sinwar di dalam gerakan tersebut.
Dua tahun setelah Hamas didirikan pada 1987, Sinwar mendirikan organisasi keamanan internal yang ditakuti bernama Al Majd. Saat itu, dia baru berusia 25 tahun.
Al Majd dikenal karena menghukum orang-orang yang dituduh melanggar moral.
Menurut Michael, kelompok ini menargetkan toko-toko yang menjual video porno, serta memburu dan membunuh siapa pun yang dicurigai bekerja sama dengan Israel.
“Beberapa di antaranya (dia bunuh) menggunakan tangannya sendiri dan dia bangga akan itu, dia menceritakannya kepada saya dan ke orang-orang lain.”
Menurut para pajabat Israel, Sinwar mengaku menghukum seseorang yang diduga sebagai informan Israel, dengan meminta saudara laki-laki orang tersebut menguburnya hidup-hidup, menggunakan sendok, bukan sekop.
“Dia adalah sosok yang bisa mengumpulkan pengikut, pendukung, dan banyak orang yang takut, juga tidak ingin berseteru dengannya,” kata Yaari.
Pada 1988, Sinwar diduga merencanakan penculikan dan pembunuhan dua tentara Israel. Dia ditangkap pada tahun yang sama, dihukum oleh Israel atas pembunuhan 12 warga Palestina, lalu dijatuhi empat hukuman seumur hidup.
Baca juga: Mengenal Nakba, Tragedi Pengusiran Warga Palestina Setelah Israel Berdiri