Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang 6 Hari 1967 yang Mengubah Timur Tengah

Kompas.com - 11/05/2021, 09:30 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sebuah laporan kantor berita, mengutip "sumber tinggi Israel" mengatakan bahwa Israel "akan mengambil tindakan militer terbatas, yang dirancang untuk menggulingkan rezim tentara Damaskus. Itu jika teroris Suriah terus menyabotase serangan di dalam Israel".

Sumbernya adalah Brigjen Aharon Yariv, Kepala Intelijen Militer. Dia menyebut penggulingan rezim hanya sebagai kemungkinan yang paling ekstrem. Tapi laporan itu ditanggapi dengan serius di Suriah - dan juga di pers Israel.

Kemudian intervensi oleh Uni Soviet mengubah segalanya.

Pada 13 Mei, Moskwa menyampaikan peringatan ke Kairo, bahwa Israel mengerahkan pasukan di perbatasan dengan Suriah dan akan menyerang dalam waktu seminggu.

Alasan Uni Soviet “menembakkan pistol awal” peperangan telah diperdebatkan sejak saat itu.

Dua sejarawan Israel, Isabella Ginor dan Gideon Remez, berpendapat bahwa Uni Soviet sengaja memicu krisis tersebut. Sebab mereka mengatakan ingin memblokir rencana senjata nuklir Israel, dan bahwa Soviet siap mengerahkan kekuatan mereka sendiri untuk berperang.

Pada saat itu seorang pejabat Soviet "tingkat menengah" mengatakan kepada CIA bahwa Soviet Union menggerakkan orang-orang Arab untuk mencoba membuat masalah bagi AS.

Dengan masalah besar di Vietnam, perang lain di Timur Tengah akan membuat menimbulkan “sakit kepala” bagi AS.

Pada 1967 baik Israel maupun tetangga Arabnya tidak membutuhkan banyak “dorongan” untuk bertempur.

Mereka langsung terjun ke dalam krisis yang telah mereka perkirakan selama bertahun-tahun.

Baca juga: PM Israel Bela Polisinya dalam Bentrokan dengan Warga Palestina di Yerusalem

Pertaruhan Nasser

Dua puluh empat jam setelah peringatan Soviet, komandan tertinggi Mesir, Field Marshal Amer, membuat tentara siaga penuh untuk perang.

Letnan Jenderal Anwar al-Qadi, kepala operasi, mengatakan kepada Amer bahwa lebih dari separuh tentara, termasuk beberapa pasukan terbaiknya, terjebak di Yaman. Tapi itu tidak dalam kondisi apa pun untuk melawan Israel.

Amer meyakinkannya bahwa pertempuran bukanlah bagian dari rencana. Dan itu hanya sebuah "demonstrasi" sebagai tanggapan atas ancaman Israel ke Suriah.

Dua hari kemudian Mesir menggali dirinya lebih dalam ke dalam krisis. Mereka mengusir pasukan penjaga perdamaian PBB yang telah berpatroli di perbatasan dengan Israel sejak 1956, dan memindahkan pasukan ke gurun Sinai.

Tentara Israel, yang masih terobsesi dengan Suriah, pada awalnya jauh lebih sabar dengan Mesir.

Shlomo Gazit, yang merupakan kepala analisis dalam intelijen militer, mengatakan kepada diplomat AS bahwa Israel telah dikejutkan oleh perang Mesir.

Tetapi itu menurutnya adalah "sandiwara yang rumit", yang hanya akan menjadi serius jika Mesir memblokir pelabuhan Eilat di Laut Merah dengan menutup Selat Tiran.

Penyataan itu disiarkan oleh stasiun radio Nasser di mana-mana, Sawt al-Arab, Voice of the Arabs.

Menyiarkan dari Kairo ke seluruh Timur Tengah, itu adalah “alat” penting kebijakan luar negeri Nasser.

Sepanjang krisis, penyiar utamanya, Ahmed Said. Dia membacakan serangkaian ancaman ke Israel.

 Baca juga: Temuan Langka Lampu Minyak Lengkap dengan Sumbu Berusia 2.000 Tahun di Israel

Israel tidak menyebut gertakan Nasser ketika dia mengusir pasukan penjaga perdamaian PBB dan mengirim lebih banyak pasukan ke Sinai. Jadi dia menggandakan taruhannya.

Pada 22 Mei, ia melarang pengiriman Israel dari Selat Tiran, pintu masuk ke Teluk Aqaba. Ini secara efektif memberlakukan kembali blokade pelabuhan Eilat yang telah dicabut pada 1956.

Di sebuah pangkalan udara di gurun Sinai, Nasser mengumumkan: "Jika Israel ingin mengancam perang, kami katakan padanya, terima kasih." Sebuah foto menunjukkan Nasser, dengan penampilan menawan seperti biasanya, dikelilingi oleh penerbang muda yang ceria. Senyuman melintas di foto hitam dan putih yang masih buram.

Citra yang diinginkan Nasser dipompa ke seluruh dunia. Pemimpin Arab menantang negara Yahudi, dikelilingi oleh simbol-simbol kekuatan tempur modern, pilot jet, yang siap beraksi.

Amerika menanggapi 42 menit setelah pengumuman “provokasi” dari Kairo. Wakil Presiden AS Hubert Humphrey menggantungkan prospek kunjungan, jika krisis tidak dapat dihindari. Presiden AS Lyndon Johnson marah.

Sekretaris Jenderal PBB U Thant sedang berada di udara, terbang ke Kairo dalam misi perdamaian ketika Nasser membuat ancaman barunya.

Nasser mengulangi janji yang telah dia buat kepada Amerika dan Soviet, bahwa Mesir tidak akan melepaskan tembakan pertama.

Tetapi U Thant menyimpulkan bahwa kecuali ada solusi ditemukan di sekitar blokade Eilat, perang tak terhindarkan.

 Baca juga: Muncul Bukti Keterlibatan Israel dalam Pembunuhan Jenderal Top Iran

Tekanan untuk menyerang

Sehari setelah Nasser menutup Selat, perdana menteri Israel, Levi Eshkol, dan kabinet memerintahkan mobilisasi penuh.

Dalam 48 jam, 250.000 orang bisa dikirim ke lapangan. Setelah wajib militer, semua pria Israel ditempatkan di unit cadangan.

Dalam beberapa hari terakhir saat itu, kebanyakan pria Israel yang berusia di bawah 50 tahun mengenakan semacam seragam militer.

Diplomasi internasional berusaha menyelesaikan krisis sebelum berubah menjadi perang skala penuh.

Menteri luar negeri Israel, Abba Eban, terbang ke Washington untuk pertemuan mendesak dengan Presiden AS Johnson.

Pada 1956, ketika Israel menyerang Mesir sebagai bagian dari perjanjian rahasia dengan Inggris dan Perancis, Amerika mencap Israel sebagai agresor, dan memaksanya menarik diri dari tanah yang ditaklukkannya.

Kali ini Eban menginginkan persetujuan Johnson untuk perang Israel. Presiden AS memperingatkan Israel untuk tidak melepaskan tembakan pertama.

Johnson mengindikasikan dia akan mencari cara untuk membuka Selat Tiran, mungkin dengan gugus tugas angkatan laut multinasional, tetapi dia butuh waktu untuk melihat apakah itu bisa berhasil.

Menlu Abba Eban memutuskan Israel harus bergerak sesuai dengan kecepatan Amerika, tetapi tentara siap untuk menyerang dan para jenderal semakin frustrasi.

Para jenderal sangat marah ketika kabinet pada 28 Mei setuju untuk menunggu dua minggu. Bagi mereka, itu lebih dari sekadar Selat Tiran.

Yang penting adalah gambaran besarnya yakni, Nasser menyatukan seluruh dunia Arab untuk melawan mereka. Dia telah memindahkan divisi ke gurun Sinai, membuat ancaman langsung ke perbatasan Israel.

Baca juga: Dunia Arab Kutuk Polisi Israel Serang Jemaah Palestina di Masjid Al-Aqsa

Dilema Jordan

Kepemimpinan Nasser di dunia Arab yang tidak dipersoalkan sejak 1956. Sekarang dengan melawan Israel, posisinya di antara orang Arab sebagai idola politik semakin diperkuat.

Dia mengadakan konferensi pers dengan wartawan asing di Kairo pada 28 Mei, di mana dia mengaitkan krisis di Sinai dan Selat Tiran dengan "agresi" Israel terhadap Palestina.

Hidup berdampingan tidak mungkin karena Israel, katanya, telah merampok dan mengusir orang-orang Palestina pada 1948.

Israel juga dinilai pantas dilawan setelah mengancam "untuk berbaris di Damaskus, menduduki Suriah dan menggulingkan rezim Arab Suriah".

Keyakinan Nasser membuat Raja Hussein dari Yordania terpojok. Hussein tidak memercayai Nasser.

Dia mengaku kepada kepala stasiun CIA di Amman, Jack O'Connel, yang telah menjadi orang kepercayaan dekatnya, bahwa dia yakin Tepi Barat adalah target strategis Israel.

Sementara Perwira senior Hussein mendesak agar pihaknya melakukan koordinasi lebih dekat dengan Nasser.

Bagi Hussein, semuanya bermuara pada kemampuannya bertahan hidup. Dia memutuskan rekonsiliasi dengan Nasser.

Dia percaya bahwa jika dia tidak ikut serta dalam perang, "letusan" di antara rakyat Palestina dapat menyebabkan rezimnya runtuh.

Sedangkan jika dia bertempur, perlindungan udara Mesir mungkin menunda serangan Israel ke Tepi Barat dan memberi waktu cukup lama bagi PBB untuk memberlakukan gencatan senjata.

Pada 30 Mei, Raja Hussein terbang ke Kairo dan melakukan kesepakatan. Ketika dia kembali ke Amman, kerumunan orang yang gembira mencoba mengangkat Mercedesnya sehingga mereka bisa membawanya kembali ke istana.

Hussein tidak tertipu. Orang banyak menyukainya karena Nasser telah menerimanya, bukan sebaliknya.

"Saya tahu bahwa perang tidak dapat dihindari. Saya tahu bahwa kami akan kalah. Saya tahu bahwa kami di Yordania terancam, diancam oleh dua hal: kami mengikuti jalan yang kami lakukan, atau alternatif negara bisa hancur sendiri jika kita tetap di luar," kata dia kepada sejarawan Avi Shlaim.

Baca juga: Erdogan Sebut Israel Teroris atas Bentrok yang Terjadi di Yerusalem

Ketakutan dan ancaman

Jika mereka bisa bertarung dengan cara mereka sendiri, para jenderal Israel yakin mereka akan mencetak kemenangan yang luar biasa. Tetapi sensor militer yang ketat membuat kesimpulan itu bersifat pribadi.

Pada saat yang sama, ancaman berdarah mengalir dari stasiun radio Arab dan ke halaman surat kabar Israel. Hanya 22 tahun setelah berakhirnya Holocaust, tidak mengherankan jika propaganda Arab berhasil.

Suasana hati yang penuh malapetaka menguasai negara itu. Orang-orang membuat lelucon suram: "Mari kita bertemu setelah perang. Di mana? Di kotak telepon," menyinggung berapa banyak orang Israel yang mungkin tersisa.

Pemerintah Israel sudah menimbun peti mati; para rabi menguduskan taman sebagai kuburan darurat; puluhan ribu liter darah sudah didonorkan.

Suasana tidak tertolong ,ketika Perdana Menteri Israel Levi Eshkol membuat siaran yang menghancurkan negara pada 28 Mei.

Pada pertemuan setelah itu, para jenderal Israel memberinya hukuman yang kejam. Beberapa komandan menggunakan bahasa yang agresif dan sangat merendahkan, membandingkan pemerintah dengan para pemimpin Yahudi saat negara masih terpecah, yang dipaksa untuk mengemis seperti budak.

Orang Israel kelahiran asli pada 1950-an dan 60-an dibesarkan untuk menolak apa yang mereka anggap sebagai kelemahan, dan kepasifan orang Yahudi Eropa yang tidak berperang ketika Nazi datang.

Bagi para jenderal muda Israel, yang sebagian besar adalah penduduk asli, kebanyakan berusia 30-an dan 40-an. Eshkol, yang mampu berbahasa Rusia dan Yiddish tumbuh sebagai seorang pemuda, dan menghabiskan hidupnya untuk membangun negara Israel.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com