Rabin yakin bahwa angkatan bersenjata Israel dalam kondisi yang baik. Misi mereka adalah untuk memenangkan setiap perang, dengan alasan bahwa Israel tidak dapat menerima satu kekalahan pun.
Sementara itu, pasukan Mesir dan sekutunya Suriah, kurang terlatih. Mereka terbuai dengan kemenangan politik yang muncul setelah krisis Suez pada 1956, yang sejatinya diawali dengan kekalahan militer.
Nasser berkonsentrasi membangun gerakan nasionalis pan-Arab. Para pendukungnya berharap agenda itu sepenuhnya dapat menciptakan kembali kebesaran Arab, dan membalas dendam pada Israel.
Dia pun bersekutu dekat dengan Marsekal Lapangan Abdul Hakim Amer, panglima tertinggi angkatan bersenjata Mesir.
Baca juga: Ini Penyebab Bentrok Israel dan Palestina di Masjid Al-Aqsa
Sebagai negara kuno, Mesir tidak memiliki ketidaknyamanan seperti yang dirasakan oleh Israel.
Misi Amer yang paling penting dan melakukannya dengan sangat baik, adalah memastikan bahwa tentara tetap setia. Dia membasmi fragmen di negaranya dan membuat korps perwira senang. Sementara semimiliter kurang menjadi prioritas.
Pada 1967, Mesir terjebak dalam perang di Yaman, yang tidak berakhir baik. Tapi Nasser tidak bisa menggantikan Amer dengan prajurit yang lebih baik.
Tentara Suriah sama-sama dipolitisasi, dan seperti Mesir adalah klien Uni Soviet. Serangkaian jenderal berotasi ke kekuasaan dengan serangkaian kudeta.
Orang Arab banyak berbicara tentang persatuan, sosialisme dan nasionalisme, tetapi pada kenyataannya mereka sangat terpecah belah.
Para pemimpin Suriah dan Mesir resah tentang plot yang diduga dihasut oleh monarki di Yordania dan Arab Saudi. Raja khawatir populis militer yang memimpin Suriah dan Mesir akan menghasut revolusi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.