Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang 6 Hari 1967 yang Mengubah Timur Tengah

Kompas.com - 11/05/2021, 09:30 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

KOMPAS.com - Perang antara Israel dan tetangganya pecah sejak lebih dari lima dekade lalu. Meski perang ini hanya berlangsung selama enam hari, tetapi pengaruhnya bertahan hingga hari ini di Timur Tengah.

Pada akhir 1948, tetangga Arab Israel sudah menginvasi wilayah lain untuk mencoba menghancurkan negara baru, dan gagal.

Baca juga: Israel Gelar Serangan Udara ke Jalur Gaza, 20 Orang Tewas

Tentara Mesir turut terpukul. Tetapi pasukan, yang mengelilingi tanah yang dikenal sebagai “kantong Falluja” ini, menolak untuk menyerah.

Sekelompok perwira muda Mesir dan Israel mencoba memecah kebuntuan. Di antara mereka adalah Yitzhak Rabin, seorang ahli militer Israel (26 tahun), yang menjadi kepala operasi di front selatan, dan Mayor Mesir Gamal Abdel Nasser (30 tahun).

Hanya beberapa tahun setelah Nazi membunuh enam juta orang Yahudi, impian mendirikan negara di tanah air alkitabiah mereka menjadi kenyataan.

Orang Palestina menyebut 1948 sebagai "al-Nakba", atau "The Catastrophe" (malapetaka). Sejak perang itu, 750.000 orang Palestina melarikan diri atau diusir dari tanah yang menjadi kini Israel, dan mereka tidak pernah diizinkan kembali.

Sementara bagi orang Arab, kalah dari Israel (negara muda saat itu), punya dampak seismik ke sektor politik yang menyebabkan pergolakan selama bertahun-tahun.

Merasa marah atas kekalahan itu, perwira militer yang dipermalukan merebut kekuasaan di negaranya masing-masing.

Suriah mengalami kudeta militer reguler. Empat tahun setelah perang berakhir, Nasser memimpin sekelompok perwira muda yang menggulingkan raja Mesir.

Pada 1956, Nasser menjadi presiden. Pada tahun yang sama, dia menantang Inggris, Perancis, dan Israel dalam krisis Suez, dan menjadi pahlawan dan pemimpin dunia Arab.

Di Israel, Rabin melanjutkan karier militernya. Pada 1967, dia menjadi kepala staf, perwira paling senior.

Orang Arab tidak bisa melupakan rasa sakit karena kekalahan. Sementara orang Israel tidak pernah lupa bahwa tetangga mereka mencoba menghancurkan mereka.

Kedua belah pihak tahu bahwa perang lain akan datang, cepat atau lambat.

Baca juga: Serangan Udara Israel ke Jalur Gaza Menyusul Bentrokan di Masjid Al-Aqsa

Tetangga yang buruk

Israel dan tetangga Arabnya memiliki banyak alasan untuk saling membenci atau curiga. Tapi Perang Dingin pada 1950-an dan 1960-an menambah bahan bakar ekstra.

Uni Soviet memberi Mesir angkatan udara modern. Israel memiliki hubungan yang hangat dengan Amerika Serikat (AS). Tetapi negara itu belum menjadi penerima bantuan militer terbesar AS.

Pada 1960-an Israel juga membeli pesawat dari Perancis dan tank dari Inggris.

Setelah 1948 Israel bekerja tanpa henti untuk bisa menggunakan posisi strategisnya yang terbuka sebaik mungkin. Salah satu caranya dengan menyerap lebih dari satu juta imigran, melalui wajib militer sebagai bagian penting untuk membuat pendatang baru ke Israel.

Israel pun membangun militer yang cepat, fleksibel, dan mematikan. Pada 1967, mereka hampir memperoleh senjata nuklirnya sendiri.

Orang Israel baru ("sabras" atau pir berduri), yang lahir asli di tanah yang mereka tempati saat ini, memiliki tekad yang sama. Mereka tidak ingin apa yang mereka yakini sebagai kesalahan orang Yahudi di diaspora terulang.

Mereka berniat untuk selalu melawan, dan terkadang bertarung lebih dulu.

Rabin yakin bahwa angkatan bersenjata Israel dalam kondisi yang baik. Misi mereka adalah untuk memenangkan setiap perang, dengan alasan bahwa Israel tidak dapat menerima satu kekalahan pun.

Sementara itu, pasukan Mesir dan sekutunya Suriah, kurang terlatih. Mereka terbuai dengan kemenangan politik yang muncul setelah krisis Suez pada 1956, yang sejatinya diawali dengan kekalahan militer.

Nasser berkonsentrasi membangun gerakan nasionalis pan-Arab. Para pendukungnya berharap agenda itu sepenuhnya dapat menciptakan kembali kebesaran Arab, dan membalas dendam pada Israel.

Dia pun bersekutu dekat dengan Marsekal Lapangan Abdul Hakim Amer, panglima tertinggi angkatan bersenjata Mesir.

Baca juga: Ini Penyebab Bentrok Israel dan Palestina di Masjid Al-Aqsa

Sebagai negara kuno, Mesir tidak memiliki ketidaknyamanan seperti yang dirasakan oleh Israel.

Misi Amer yang paling penting dan melakukannya dengan sangat baik, adalah memastikan bahwa tentara tetap setia. Dia membasmi fragmen di negaranya dan membuat korps perwira senang. Sementara semimiliter kurang menjadi prioritas.

Pada 1967, Mesir terjebak dalam perang di Yaman, yang tidak berakhir baik. Tapi Nasser tidak bisa menggantikan Amer dengan prajurit yang lebih baik.

Tentara Suriah sama-sama dipolitisasi, dan seperti Mesir adalah klien Uni Soviet. Serangkaian jenderal berotasi ke kekuasaan dengan serangkaian kudeta.

Orang Arab banyak berbicara tentang persatuan, sosialisme dan nasionalisme, tetapi pada kenyataannya mereka sangat terpecah belah.

Para pemimpin Suriah dan Mesir resah tentang plot yang diduga dihasut oleh monarki di Yordania dan Arab Saudi. Raja khawatir populis militer yang memimpin Suriah dan Mesir akan menghasut revolusi.

Penguasa Yordania, Raja Hussein, adalah sekutu dekat Inggris dan AS. Yordania adalah satu-satunya negara Arab yang muncul dari 1948 sebagai pemenang.

Kakek Hussein, Raja Abdullah, memiliki kontak rahasia dengan Badan Yahudi, badan utama yang mewakili orang-orang Yahudi dalam Mandat Inggris di Palestina.

Mereka membahas membagi tanah di antara mereka setelah Inggris berencana angkat kaki dari wilayah itu pada 1948.

Pada 1951 seorang nasionalis Palestina membunuh Abdullah di Masjid al-Aqsa di Yerusalem. Pangeran Hussein yang berusia lima belas tahun melihat kakeknya meninggal, dan keesokan harinya membawa senjata untuk pertama kalinya. Setahun kemudian dia menjadi raja.

Setelah perang 1948, Yordania dan Israel nyaris berdamai meski kemungkinannya masih jauh.

Pembicaraan rahasia berlanjut hingga pemerintahan Hussein. Dia menyadari kelemahan Yordania. Yakni, gurun pasir dan populasi pengungsi Palestina yang besar dan bergolak.

Baca juga: Polisi Israel Bentrok Lagi dengan Warga Palestina di Masjid Al-Aqsa, 180 Terluka

Sindrom Suriah

Perang pada 1967 terjadi sebagai akibat dari meningkatnya ketegangan selama bertahun-tahun dan pertempuran sengit di perbatasan antara orang Arab dan Israel.

Perbatasan antara Mesir dan Israel relatif tenang. Titik bentrok terbesar adalah perbatasan utara Israel dengan Suriah.

Sebab di situ, mereka memperebutkan wilayah yang disengketakan. Sementara Suriah berupaya untuk mengalihkan Sungai Yordan dari jaringan air nasional Israel.

Karena itu, Suriah melindungi gerilyawan Palestina, yang melakukan penggerebekan ke Israel.

Kekuatan-kekuatan Barat tidak memiliki keraguan tentang pihak mana di Timur Tengah yang lebih kuat menjelang perang pada 1967.

Kepala Staf Gabungan militer AS menilai "bahwa Israel secara militer tidak akan dapat ditandingi, oleh kombinasi negara-negara Arab setidaknya selama lima tahun ke depan."

Dalam sebuah laporan tentang tentara Israel pada Januari 1967, atase pertahanan Inggris di Tel Aviv menilai bahwa "dalam komando, pelatihan, peralatan, dan layanan, tentara Israel lebih siap untuk perang daripada sebelumnya. Terlatih dengan baik, tangguh, mandiri , tentara Israel memiliki semangat juang yang kuat dan akan rela berperang untuk mempertahankan negaranya."

Perang perbatasan memicu ketegangan. Gerilyawan Palestina menerobos pagar perbatasan. Israel mengutuk mereka sebagai teroris. Israel percaya bahwa untuk mencegah dan menghukum aksi itu, Israel harus membalas dengan keras.

Baca juga: Warga Palestina Digusur dari Yerusalem, Jalur Gaza Luncurkan 3 Roket ke Israel

Akhirnya pada November 1966, serangan besar Israel ke Tepi Barat yang diduduki Yordania yang menargetkan desa Samua dilakukan. Ini merupakan tanggapan atas serangan ranjau darat di dalam Israel.

Serangan itu menyebabkan keributan di antara warga Palestina di Tepi Barat. Dari pihak Yordania, Hussein tercengang.

Dia mengatakan kepada Badan Intelijen Pusat AS (CIA) bahwa selama tiga tahun dia telah melakukan pembicaraan rahasia dengan Israel; kontaknya di Israel telah mengirimkan jaminan bahwa tidak akan ada pembalasan pada pagi hari penyerbuan itu.

Orang Amerika bersimpati. Mereka mendukung resolusi di Dewan Keamanan PBB yang mengutuk serangan Samua.

Hussein memberlakukan darurat militer di Tepi Barat dan menjadi lebih yakin dari sebelumnya bahwa takhtanya dalam bahaya. Pasalnya orang-orang Palestina yang marah bisa saja bisa berusaha menggulingkannya.

Dia takut kudeta oleh perwira radikal pro-Nasser di tentara yang bisa digunakan Israel sebagai dalih untuk melahap Tepi Barat dan Yerusalem Timur juga.

Raja Yordania itu tidak ingin berbagi nasib dengan raja Hasyem lainnya di Timur Tengah, sepupu dan temannya Raja Faisal dari Irak. Dia ditembak di halaman istananya dalam kudeta militer pada 1958.

Pawai perang berlanjut dengan meningkatnya masalah di perbatasan Israel-Suriah. Tidak seperti Hussein, yang diyakini Amerika melakukan semua yang dia bisa untuk menghentikan infiltrasi Palestina, Suriah secara aktif mendorong agenda itu.

Israel mendorong klaimnya atas wilayah sengketa di daerah perbatasan secara agresif, dengan mengolah ladang di daerah demiliterisasi dengan traktor lapis baja.

Pertempuran itu memuncak dengan pertempuran udara dan artileri skala penuh antara Israel dan Suriah pada 7 April 1967. Sampai akhirnya Israel mengalahkan Suriah.

Keesokan paginya pemuda Palestina di Yerusalem, menurut diplomat Inggris, menunjukkan "kekaguman dan terpesona pada kompetensi Israel dan ketidakberdayaan Arab di hadapannya."

Mereka lalu bertanya "di mana orang Mesir?" Tekanan tumbuh di Nasser untuk menambahkan tindakan dalam sesumbar kemenangannya atas terusan Suez sulu.

Israel menikmati suasana hati nasional yang mengucapkan selamat. Tetapi beberapa negarawan dan tentara yang lebih tua merasa khawatir.

Di sebuah koridor di parlemen Israel (Knesset), mantan kepala staf militer Moshe Dayan bertemu dengan Jenderal Ezer Weizmann, mantan kepala angkatan udara dan sekarang Rabin nomor dua. "Apakah kamu sudah gila?" Kata Dayan. "Anda memimpin negara untuk berperang!"

Baca juga: Israel dan Korea Selatan Bakal Jalin Perdagangan Bebas

Suriah, dan gerilyawan Palestina yang mendapat sponsor, berusaha lebih keras untuk memprovokasi Israel, dan usahanya terus meningkat.

Bagi Suriah dan Mesir, serta Inggris dan AS, Israel tampaknya sedang merencanakan langkah yang lebih besar.

Sebuah laporan kantor berita, mengutip "sumber tinggi Israel" mengatakan bahwa Israel "akan mengambil tindakan militer terbatas, yang dirancang untuk menggulingkan rezim tentara Damaskus. Itu jika teroris Suriah terus menyabotase serangan di dalam Israel".

Sumbernya adalah Brigjen Aharon Yariv, Kepala Intelijen Militer. Dia menyebut penggulingan rezim hanya sebagai kemungkinan yang paling ekstrem. Tapi laporan itu ditanggapi dengan serius di Suriah - dan juga di pers Israel.

Kemudian intervensi oleh Uni Soviet mengubah segalanya.

Pada 13 Mei, Moskwa menyampaikan peringatan ke Kairo, bahwa Israel mengerahkan pasukan di perbatasan dengan Suriah dan akan menyerang dalam waktu seminggu.

Alasan Uni Soviet “menembakkan pistol awal” peperangan telah diperdebatkan sejak saat itu.

Dua sejarawan Israel, Isabella Ginor dan Gideon Remez, berpendapat bahwa Uni Soviet sengaja memicu krisis tersebut. Sebab mereka mengatakan ingin memblokir rencana senjata nuklir Israel, dan bahwa Soviet siap mengerahkan kekuatan mereka sendiri untuk berperang.

Pada saat itu seorang pejabat Soviet "tingkat menengah" mengatakan kepada CIA bahwa Soviet Union menggerakkan orang-orang Arab untuk mencoba membuat masalah bagi AS.

Dengan masalah besar di Vietnam, perang lain di Timur Tengah akan membuat menimbulkan “sakit kepala” bagi AS.

Pada 1967 baik Israel maupun tetangga Arabnya tidak membutuhkan banyak “dorongan” untuk bertempur.

Mereka langsung terjun ke dalam krisis yang telah mereka perkirakan selama bertahun-tahun.

Baca juga: PM Israel Bela Polisinya dalam Bentrokan dengan Warga Palestina di Yerusalem

Pertaruhan Nasser

Dua puluh empat jam setelah peringatan Soviet, komandan tertinggi Mesir, Field Marshal Amer, membuat tentara siaga penuh untuk perang.

Letnan Jenderal Anwar al-Qadi, kepala operasi, mengatakan kepada Amer bahwa lebih dari separuh tentara, termasuk beberapa pasukan terbaiknya, terjebak di Yaman. Tapi itu tidak dalam kondisi apa pun untuk melawan Israel.

Amer meyakinkannya bahwa pertempuran bukanlah bagian dari rencana. Dan itu hanya sebuah "demonstrasi" sebagai tanggapan atas ancaman Israel ke Suriah.

Dua hari kemudian Mesir menggali dirinya lebih dalam ke dalam krisis. Mereka mengusir pasukan penjaga perdamaian PBB yang telah berpatroli di perbatasan dengan Israel sejak 1956, dan memindahkan pasukan ke gurun Sinai.

Tentara Israel, yang masih terobsesi dengan Suriah, pada awalnya jauh lebih sabar dengan Mesir.

Shlomo Gazit, yang merupakan kepala analisis dalam intelijen militer, mengatakan kepada diplomat AS bahwa Israel telah dikejutkan oleh perang Mesir.

Tetapi itu menurutnya adalah "sandiwara yang rumit", yang hanya akan menjadi serius jika Mesir memblokir pelabuhan Eilat di Laut Merah dengan menutup Selat Tiran.

Penyataan itu disiarkan oleh stasiun radio Nasser di mana-mana, Sawt al-Arab, Voice of the Arabs.

Menyiarkan dari Kairo ke seluruh Timur Tengah, itu adalah “alat” penting kebijakan luar negeri Nasser.

Sepanjang krisis, penyiar utamanya, Ahmed Said. Dia membacakan serangkaian ancaman ke Israel.

 Baca juga: Temuan Langka Lampu Minyak Lengkap dengan Sumbu Berusia 2.000 Tahun di Israel

Israel tidak menyebut gertakan Nasser ketika dia mengusir pasukan penjaga perdamaian PBB dan mengirim lebih banyak pasukan ke Sinai. Jadi dia menggandakan taruhannya.

Pada 22 Mei, ia melarang pengiriman Israel dari Selat Tiran, pintu masuk ke Teluk Aqaba. Ini secara efektif memberlakukan kembali blokade pelabuhan Eilat yang telah dicabut pada 1956.

Di sebuah pangkalan udara di gurun Sinai, Nasser mengumumkan: "Jika Israel ingin mengancam perang, kami katakan padanya, terima kasih." Sebuah foto menunjukkan Nasser, dengan penampilan menawan seperti biasanya, dikelilingi oleh penerbang muda yang ceria. Senyuman melintas di foto hitam dan putih yang masih buram.

Citra yang diinginkan Nasser dipompa ke seluruh dunia. Pemimpin Arab menantang negara Yahudi, dikelilingi oleh simbol-simbol kekuatan tempur modern, pilot jet, yang siap beraksi.

Amerika menanggapi 42 menit setelah pengumuman “provokasi” dari Kairo. Wakil Presiden AS Hubert Humphrey menggantungkan prospek kunjungan, jika krisis tidak dapat dihindari. Presiden AS Lyndon Johnson marah.

Sekretaris Jenderal PBB U Thant sedang berada di udara, terbang ke Kairo dalam misi perdamaian ketika Nasser membuat ancaman barunya.

Nasser mengulangi janji yang telah dia buat kepada Amerika dan Soviet, bahwa Mesir tidak akan melepaskan tembakan pertama.

Tetapi U Thant menyimpulkan bahwa kecuali ada solusi ditemukan di sekitar blokade Eilat, perang tak terhindarkan.

 Baca juga: Muncul Bukti Keterlibatan Israel dalam Pembunuhan Jenderal Top Iran

Tekanan untuk menyerang

Sehari setelah Nasser menutup Selat, perdana menteri Israel, Levi Eshkol, dan kabinet memerintahkan mobilisasi penuh.

Dalam 48 jam, 250.000 orang bisa dikirim ke lapangan. Setelah wajib militer, semua pria Israel ditempatkan di unit cadangan.

Dalam beberapa hari terakhir saat itu, kebanyakan pria Israel yang berusia di bawah 50 tahun mengenakan semacam seragam militer.

Diplomasi internasional berusaha menyelesaikan krisis sebelum berubah menjadi perang skala penuh.

Menteri luar negeri Israel, Abba Eban, terbang ke Washington untuk pertemuan mendesak dengan Presiden AS Johnson.

Pada 1956, ketika Israel menyerang Mesir sebagai bagian dari perjanjian rahasia dengan Inggris dan Perancis, Amerika mencap Israel sebagai agresor, dan memaksanya menarik diri dari tanah yang ditaklukkannya.

Kali ini Eban menginginkan persetujuan Johnson untuk perang Israel. Presiden AS memperingatkan Israel untuk tidak melepaskan tembakan pertama.

Johnson mengindikasikan dia akan mencari cara untuk membuka Selat Tiran, mungkin dengan gugus tugas angkatan laut multinasional, tetapi dia butuh waktu untuk melihat apakah itu bisa berhasil.

Menlu Abba Eban memutuskan Israel harus bergerak sesuai dengan kecepatan Amerika, tetapi tentara siap untuk menyerang dan para jenderal semakin frustrasi.

Para jenderal sangat marah ketika kabinet pada 28 Mei setuju untuk menunggu dua minggu. Bagi mereka, itu lebih dari sekadar Selat Tiran.

Yang penting adalah gambaran besarnya yakni, Nasser menyatukan seluruh dunia Arab untuk melawan mereka. Dia telah memindahkan divisi ke gurun Sinai, membuat ancaman langsung ke perbatasan Israel.

Baca juga: Dunia Arab Kutuk Polisi Israel Serang Jemaah Palestina di Masjid Al-Aqsa

Dilema Jordan

Kepemimpinan Nasser di dunia Arab yang tidak dipersoalkan sejak 1956. Sekarang dengan melawan Israel, posisinya di antara orang Arab sebagai idola politik semakin diperkuat.

Dia mengadakan konferensi pers dengan wartawan asing di Kairo pada 28 Mei, di mana dia mengaitkan krisis di Sinai dan Selat Tiran dengan "agresi" Israel terhadap Palestina.

Hidup berdampingan tidak mungkin karena Israel, katanya, telah merampok dan mengusir orang-orang Palestina pada 1948.

Israel juga dinilai pantas dilawan setelah mengancam "untuk berbaris di Damaskus, menduduki Suriah dan menggulingkan rezim Arab Suriah".

Keyakinan Nasser membuat Raja Hussein dari Yordania terpojok. Hussein tidak memercayai Nasser.

Dia mengaku kepada kepala stasiun CIA di Amman, Jack O'Connel, yang telah menjadi orang kepercayaan dekatnya, bahwa dia yakin Tepi Barat adalah target strategis Israel.

Sementara Perwira senior Hussein mendesak agar pihaknya melakukan koordinasi lebih dekat dengan Nasser.

Bagi Hussein, semuanya bermuara pada kemampuannya bertahan hidup. Dia memutuskan rekonsiliasi dengan Nasser.

Dia percaya bahwa jika dia tidak ikut serta dalam perang, "letusan" di antara rakyat Palestina dapat menyebabkan rezimnya runtuh.

Sedangkan jika dia bertempur, perlindungan udara Mesir mungkin menunda serangan Israel ke Tepi Barat dan memberi waktu cukup lama bagi PBB untuk memberlakukan gencatan senjata.

Pada 30 Mei, Raja Hussein terbang ke Kairo dan melakukan kesepakatan. Ketika dia kembali ke Amman, kerumunan orang yang gembira mencoba mengangkat Mercedesnya sehingga mereka bisa membawanya kembali ke istana.

Hussein tidak tertipu. Orang banyak menyukainya karena Nasser telah menerimanya, bukan sebaliknya.

"Saya tahu bahwa perang tidak dapat dihindari. Saya tahu bahwa kami akan kalah. Saya tahu bahwa kami di Yordania terancam, diancam oleh dua hal: kami mengikuti jalan yang kami lakukan, atau alternatif negara bisa hancur sendiri jika kita tetap di luar," kata dia kepada sejarawan Avi Shlaim.

Baca juga: Erdogan Sebut Israel Teroris atas Bentrok yang Terjadi di Yerusalem

Ketakutan dan ancaman

Jika mereka bisa bertarung dengan cara mereka sendiri, para jenderal Israel yakin mereka akan mencetak kemenangan yang luar biasa. Tetapi sensor militer yang ketat membuat kesimpulan itu bersifat pribadi.

Pada saat yang sama, ancaman berdarah mengalir dari stasiun radio Arab dan ke halaman surat kabar Israel. Hanya 22 tahun setelah berakhirnya Holocaust, tidak mengherankan jika propaganda Arab berhasil.

Suasana hati yang penuh malapetaka menguasai negara itu. Orang-orang membuat lelucon suram: "Mari kita bertemu setelah perang. Di mana? Di kotak telepon," menyinggung berapa banyak orang Israel yang mungkin tersisa.

Pemerintah Israel sudah menimbun peti mati; para rabi menguduskan taman sebagai kuburan darurat; puluhan ribu liter darah sudah didonorkan.

Suasana tidak tertolong ,ketika Perdana Menteri Israel Levi Eshkol membuat siaran yang menghancurkan negara pada 28 Mei.

Pada pertemuan setelah itu, para jenderal Israel memberinya hukuman yang kejam. Beberapa komandan menggunakan bahasa yang agresif dan sangat merendahkan, membandingkan pemerintah dengan para pemimpin Yahudi saat negara masih terpecah, yang dipaksa untuk mengemis seperti budak.

Orang Israel kelahiran asli pada 1950-an dan 60-an dibesarkan untuk menolak apa yang mereka anggap sebagai kelemahan, dan kepasifan orang Yahudi Eropa yang tidak berperang ketika Nazi datang.

Bagi para jenderal muda Israel, yang sebagian besar adalah penduduk asli, kebanyakan berusia 30-an dan 40-an. Eshkol, yang mampu berbahasa Rusia dan Yiddish tumbuh sebagai seorang pemuda, dan menghabiskan hidupnya untuk membangun negara Israel.

Brigjen Elad Peled, salah satu dari empat komandan divisi Israel, hadir dalam pertemuan itu.

Melansir BBC, Peled mengatakan pada 2002 bahwa "Kesenjangan mental generasi sangat penting. Kami adalah penggembala, orang-orang perbatasan. Kami memandang generasi yang lebih tua sebagai orang yang tidak merdeka, mereka tidak dibebaskan.

"Menteri pendidikan bertanya kepada saya 'bagaimana jika Anda salah? Anda bermain-main dengan keberadaan negara.' Saya mengatakan kepadanya bahwa saya 100 persen yakin tentang hasil perang," tambahnya.

Baca juga: Riwayat Konflik Israel dan Palestina di Masjid Al-Aqsa

Malam perang

Nasser berjudi untuk taruhan tinggi. Mesir memiliki angkatan udara modern tetapi tentaranya lemah. Para jenderalnya sangat menyadari bahwa kejanggalan Nasser telah membawa mereka ke ujung perang yang menghancurkan.

Upaya internasional untuk meredakan krisis telah gagal.

Satu-satunya gagasan yang dimiliki AS dan Inggris adalah apa yang disebut Regatta Laut Merah, gugus tugas angkatan laut yang diusulkan untuk memaksa membuka Selat Tiran.

Tetapi para laksamana dan politisi AS dan Inggris membenci gagasan itu. Mereka khawatir itu tidak akan berhasil, dan bahwa mereka akan memberikan kemenangan lagi kepada Nasser.

Pada Jumat 2 Juni, para jenderal Israel mengajukan kasus definitif perang kepada komite pertahanan kabinet.

Mereka memberitahu para politisi bahwa mereka yakin bisa mengalahkan Mesir. Tetapi semakin lama mereka harus menunggu, kondisinya akan semakin sulit.

Beberapa hari sebelumnya Meir Amit, kepala agen mata-mata Israel, Mossad, telah melakukan perjalanan ke Washington DC dengan paspor palsu, dengan menyamar.

Dia tidak ingin menunggu lebih lama untuk perang. Ia sangat prihatin dengan kemacetan ekonomi yang disebabkan oleh mobilisasi sebagian besar penduduk laki-laki di bawah usia 50 tahun.

AS telah memberikan sinyal yang jelas. Mereka diberitahu bahwa Israel akan berperang dan tidak berusaha menghentikannya.

Amit melakukan perjalanan kembali ke Israel dengan duta besar Washington, Abe Harman, dengan pesawat yang penuh masker gas. Mereka tiba di Tel Aviv pada Sabtu 3 Juni malam.

Sebuah mobil membawa mereka langsung ke apartemen Eshkol, di mana dia menunggu dengan para menteri utamanya. Amit menginginkan perang segera. Harman ingin menunggu sekitar satu minggu lagi.

Di Mesir, Nasser memperkirakan Israel akan menyerang pada 4 atau 5 Juni. Dia mendasarkan pengamatannya pada kemajuan divisi lapis baja Irak, yang menuju Lembah Yordania dan Israel. Dia tahu Israel tidak akan menoleransi perubahan keseimbangan kekuatan seperti itu.

Baca juga: Pemimpin Tertinggi Iran: Israel Itu Bukan Negara, tapi Sarang Teroris

Serangan kejutan

Pada 5 Juni pukul 07:40, Ezer Weizman hampir tidak tahan dengan ketegangan di pusat komando Angkatan Udara di kementerian pertahanan di Tel Aviv.

Rencana perang Israel bergantung pada serangan mendadak, yang disebut Operasi Fokus, yang akan menghancurkan angkatan udara Arab di darat, dimulai dengan Mesir.

Mereka telah melatihnya selama bertahun-tahun dan gelombang serangan pertama akan segera terjadi.

Tidak seperti orang Mesir dan tentara Arab lainnya, orang Israel telah mengerjakan pekerjaan rumah mereka dengan baik, belajar dari kekalahan sebelumnya.

Mereka menerbangkan ratusan misi pengintaian selama bertahun-tahun untuk membangun gambaran akurat dari setiap pangkalan udara di Mesir, Yordania, dan Suriah.

Pilot memiliki buku target, memberikan detail tata letak, tanda panggilan, dan pertahanan mereka. Dari penyadapan radio, mereka bahkan membuat file pengenalan suara dari para komandan utama Arab.

Itu sukses besar. Field Marshal Amer dan petinggi Mesir bertemu di Bir Tamada, sebuah pangkalan udara di Sinai.

Mereka baru memulai pertemuan ketika jet Israel pertama mulai mengebom.

Salah satu jenderal sangat terkejut dengan serangan itu sehingga hal pertama yang terlintas di benaknya adalah kudeta atau semacam pengkhianatan Mesir lainnya.

Pesawat Amer bisa lepas landas tetapi masalahnya, tidak ada tempat untuk mendarat karena setiap pangkalan udara Mesir diserang.

Di Tel Aviv, Ezer Weizman sangat gembira. Serangan itu berjalan lebih baik dari yang diharapkan. Mereka benar-benar terkejut atas reaksi musuh. Dia menelpon istrinya: "Kami telah memenangkan perang," teriaknya.

Kemudian pada hari itu Israel menghancurkan sebagian besar angkatan udara Yordania dan Suriah. Israel menguasai langit, dan setelah itu menyelesaikan pekerjaannya.

Israel memperingatkan Raja Hussein untuk tidak ikut perang.

Baca juga: Masjid Al-Aqsa, Titik Pertikaian Panjang Palestina-Israel

Yordania terimpit

Hussein pun sekiranya sudah mengambil keputusan. Dia telah menempatkan pasukan Yordania yang efisien di bawah komando seorang jenderal Mesir yang kurang cakap.

Tepat sebelum pertempuran tengah hari dimulai di Yerusalem. Orang-orang Yordania melepaskan tembakan.

Raja Hussein mengabaikan sinyal Israel bahwa Yordania akan diselamatkan, jika tidak ikut berperang.

Masalahnya setelah penyerbuan Samua pada 1966, dia tidak memercayai jaminan Israel.

Dia yakin bahwa jika dia mengingkari aliansi militer yang dia masuki dengan Mesir, dia akan kehilangan takhtanya.

Lebih jauh ke selatan, pasukan darat Israel telah mendorong masuk ke gurun Sinai, dan bergerak maju dengan cepat dalam tiga dorongan besar.

Orang Mesir bertempur dengan berani dari posisinya. Tetapi mereka tidak seperti orang Israel karena tidak dilatih untuk berimprovisasi, atau menjadi fleksibel atau cepat.

Di markas besar tentara di Kairo para komandan semakin dicekam kepanikan. Jenderal Salahdeen Hadidi merosot di kursinya, yakin bahwa perang setidaknya telah kalah setengahnya, buruk untuk Mesir.

Tapi di luar di jalan orang-orang sedang merayakannya. Kerumunan berbondong-bondong ke kota pada malam hari dengan bus yang disediakan oleh partai yang berkuasa.

Voice of the Arabs adalah sumber berita dan kebenaran “tepercaya” mereka, dan itu mendorong fantasi.

Pada pukul 20:17 dilaporkan bahwa 86 pesawat Israel telah dihancurkan dan tank Mesir telah membobol Israel.

Di markas besar front Sinai, Jenderal Mohamed Abdel Ghani Gamasy mendengarkan "dengan ngeri," karena apa yang disiarkan adalah omong kosong.

Baca juga: Pemilu Pertama Palestina dalam 15 Tahun Ditunda, Presiden Salahkan Israel

Setelah perang 6 hari

Kerugian negara-negara Arab dalam konflik itu sangat menghancurkan. Korban di Mesir berjumlah lebih dari 11.000, dengan 6.000 untuk Yordania dan 1.000 untuk Suriah.

Sementara dari pihak Israel korban tewas hanya 700 orang.

Tentara Arab juga menderita kerugian persenjataan dan peralatan yang melumpuhkan militernya. Timpangnya kekalahan itu mendemoralisasi publik Arab dan elite politik.

Nasser mengumumkan pengunduran dirinya pada 9 Juni. Tetapi dengan cepat, dia “menyerah” pada demonstrasi massa yang memintanya tetap menjabat. Dia tetap bekerja sampai kematiannya pada 1970. Marsekal Lapangan Amir meninggal secara misterius. Keluarganya yakin dia diracun.

Di Israel, yang telah terbukti tanpa ragu memiliki kekuatan militer yang paling unggul di kawasan itu, euforia bergema.

Perang Enam Hari juga menandai dimulainya fase baru dalam konflik antara Israel dan Palestina.

Israel mengalahkan tentara Mesir, Yordania dan Suriah. Kemenangan ini membuat mereka merebut Jalur Gaza dan gurun Sinai dari Mesir; Dataran Tinggi Golan dari Suriah; dan Tepi Barat dan Yerusalem Timur, dari Yordania.

Untuk pertama kalinya dalam hampir dua milenium tempat-tempat suci Yahudi di Yerusalem berada di bawah kendali orang-orang Yahudi.

Lebih banyak orang Palestina diusir, melarikan diri atau dibunuh, meskipun tidak dalam skala 1948.

Raja Hussein dari Yordania kehilangan Yerusalem Timur tetapi tetap mempertahankan takhtanya. Dia melanjutkan dialog rahasianya dengan Israel dan berdamai pada 1994.

Di Suriah, komandan angkatan udara yang pernah menjadi junta berkuasa merebut kekuasaan tunggal pada 1970. Namanya adalah Hafez al-Assad. Putranya, Bashar, menggantikannya sebagai presiden setelah kematiannya pada 2000.

Baca juga: Jenderal Iran Sesumbar Israel Bisa Dikalahkan dengan 1 Pukulan

Di Israel, Perdana Menteri Eshkol meninggal karena serangan jantung pada 1969. Jandanya, Miriam, percaya bahwa dia tidak pernah pulih dari dipaksa keluar dari kementerian pertahanan pada malam sebelum perang.

Pengganti Eshkol, Golda Meir, diperingatkan pada 1973 bahwa Mesir dan Suriah sedang mempersiapkan serangan mendadak. Tetapi orang Israel masih sangat percaya diri setelah kemenangan telak pada 1967.

Setelah 1967 Amerika memandang Israel dengan mata baru. Ia “jatuh cinta” negara muda yang telah mengalahkan tiga tentara Arab.

Seperti kebanyakan orang Barat pada 1967, utusan Presiden Johnson Harry McPherson sangat terkesan.

"Israel dalam perang menghancurkan prototipe orang Yahudi yang pucat dan kurus; tentara yang saya lihat tangguh, berotot, dan terbakar sinar matahari. Ada juga kombinasi luar biasa dari disiplin dan demokrasi di antara perwira dan tamtama; yang umumnya jarang memberi hormat dan sering berdebat, tetapi tidak ada keraguan tentang siapa yang akan menang. "

Israel dan Palestina merasakan konsekuensi terbesar dari perang 1967. Israel memulai pendudukan wilayah Palestina yang berlanjut setengah abad kemudian.

Dia mencaplok Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan, dalam gerakan yang tidak diakui secara internasional.

Semua masalah yang sekarang sangat akrab bagi siapa saja yang mengikuti berita masa depan Yerusalem. Kekerasan, pendudukan, permukiman menjadi bentuk saat ini, sebagai akibat dari perang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Junta Myanmar Dituding Pakai Warga Rohingya sebagai “Perisai Manusia”

Junta Myanmar Dituding Pakai Warga Rohingya sebagai “Perisai Manusia”

Internasional
Mengapa Banyak Sekali Tentara Rusia Tewas di Ukraina?

Mengapa Banyak Sekali Tentara Rusia Tewas di Ukraina?

Internasional
Kecerdikan dan Kegigihan Hamas dalam Memperoleh Senjata

Kecerdikan dan Kegigihan Hamas dalam Memperoleh Senjata

Internasional
Sosok Uskup Korban Penusukan Dalam Aksi Terorisme di Australia

Sosok Uskup Korban Penusukan Dalam Aksi Terorisme di Australia

Internasional
Persenjataan Hamas Semakin Banyak yang Justru Bersumber dari Israel

Persenjataan Hamas Semakin Banyak yang Justru Bersumber dari Israel

Internasional
Dari Mana Hamas Memperoleh Senjata?

Dari Mana Hamas Memperoleh Senjata?

Internasional
Perjalanan Hubungan Israel dan Iran, dari Sekutu Jadi Musuh

Perjalanan Hubungan Israel dan Iran, dari Sekutu Jadi Musuh

Internasional
Siapa Pemasok Terbesar Senjata untuk Israel?

Siapa Pemasok Terbesar Senjata untuk Israel?

Internasional
Apa Saja Jenis Persenjataan Militer Israel dan dari Mana Pasokannya?

Apa Saja Jenis Persenjataan Militer Israel dan dari Mana Pasokannya?

Internasional
Seberapa Kuat Militer Iran?

Seberapa Kuat Militer Iran?

Internasional
Serangan Iran ke Israel Tampaknya Direncanakan untuk Gagal

Serangan Iran ke Israel Tampaknya Direncanakan untuk Gagal

Internasional
Bagaimana Israel dan Sekutunya Cegat Lebih dari 300 Rudal dan Drone Iran?

Bagaimana Israel dan Sekutunya Cegat Lebih dari 300 Rudal dan Drone Iran?

Internasional
Seberapa Dekat Israel Singkirkan Hamas?

Seberapa Dekat Israel Singkirkan Hamas?

Internasional
Mengenal Sistem Pertahanan Iron Dome Israel

Mengenal Sistem Pertahanan Iron Dome Israel

Internasional
30 Tahun Genosida Rwanda yang Menewaskan 800.000 Orang

30 Tahun Genosida Rwanda yang Menewaskan 800.000 Orang

Internasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com