KOMPAS.com – Pada 8 Agustus 1988, rakyat Myanmar (dulu bernama Burma), bahkan para biksu di seluruh negeri, bergabung dan menyerukan penghapusan kekuasaan militer lalu menuntut demokrasi.
Di antara sebab-sebab yang memicu demo berskala besar tersebut, yang paling penting dan mendasar adalah memburuknya keadaan ekonomi.
Baca juga: [Cerita Dunia] Sejarah Patung Liberty, Awalnya Dipasang di Terusan Suez
Kala itu, rakyat Myanmar tidak tahan lagi dengan kesulitan ekonomi yang mereka hadapi sebagai mana dilansir Myanmar Times.
Mereka menginginkan pemerintahan baru yang dapat membantu meningkatkan ekonomi dan kehidupan mereka dengan menempatkan negara di jalan menuju demokrasi.
Aksi demo tersebut terkenal dengan sebutan 8888 Uprising karena sesuai dengan tanggal, bulan, dan tahunnya.
8888 merupakan puncak kulminasi dari kegerahan, represi, kekerasan, kemerosotan ekonomi, dan berbagai hal yang dirasakan rakyat Myanmar di bawah pemerintahan rezim militer.
Setahun sebelulmnya, tepatnya pada September 1987, rezim militer menyatakan beberapa denominasi mata uang tidak berharga. Hal itu berakibat hangusnya tabungan banyak rakyat Myanmar.
Baca juga: [Cerita Dunia] Sejarah Kartel Sinaloa, dari Penyelundup Jadi Organisasi Kriminal yang Kejam
Itu memicu aksi demonstrasi yang menunjukkan keresahan yang meluas. Keresahan di kalangan rakyat terus menumpuk hingga di waktu-waktu berikutnya.
Pada Maret 1988, terjadi bentrokan antara mahasiswa dan penduduk setempat melawan militer Myanmar sebagaimana dilansir NPR.
Peristiwa tersebut memicu aksi protes selama beberapa hari. Hingga akhirnya, polisi antihuru-hara menyerang sekelompok mahasiswa di dekat Jembatan Putih di tepi Danau Inya di Rangoon (kini Yangon).
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.