TIGA puluh lima tahun lalu, salah satu tempat bersejarah yang terkenal di Beijing, Lapangan Tiananmen, menjadi saksi atas tragedi berdarah yang mengakibatkan tewasnya ratusan atau bahkan ribuan warga tidak bersalah.
Tragedi itu juga menjadi cikal bakal lahirnya sebuah foto paling ikonik di abad ke-20, yang menampilkan seorang pengunjuk rasa berdiri sendirian di depan barisan tank tentara. Foto itu kini dikenal dengan sebutan “Tank Man”.
Baca juga: Misteri Si Manusia Tank (Tank Man) Dalam Peristiwa Tiananmen
Hingga saat ini, apa yang terjadi di Tiananmen masih menjadi topik yang sangat sensitif di China. Bahkan, tugu-tugu peringatan atas peristiwa tersebut banyak yang telah disingkirkan.
Pada tahun 1980-an, China mengalami beberapa perubahan besar. Salah satunya ketika Partai Komunis China mulai mengizinkan beberapa perusahaan swasta dan investasi asing dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup. Akan tetapi, perubahan tersebut justru membawa serta korupsi.
Pada saat bersamaan, perubahan tersebut juga membawa harapan akan keterbukaan politik yang lebih besar. Akibatnya, Partai Komunis pun terbagi antara mereka yang mendesak perubahan lebih cepat dan mereka yang ingin mempertahankan kontrol negara yang ketat.
Pada pertengahan tahun 1980-an, serangkaian protes yang dipimpin oleh mahasiswa dimulai. Mereka yang tergabung dalam protes tersebut mencakup orang-orang yang pernah tinggal di luar negeri dan telah terpapar ide-ide baru serta standar hidup yang lebih tinggi.
Protes kian meluas dan tuntutan akan kebebasan politik juga semakin besar pada musim semi tahun 1989. Para pengunjuk rasa turut terpacu oleh kematian seorang politisi terkemuka, Hu Yaobang, yang telah turut berperan dalam mengawasi beberapa perubahan ekonomi dan politik. Dua tahun sebelumnya, Hu disingkirkan dari posisi puncak partai oleh lawan politiknya.
Pada hari pemakamannya, ribuan orang berkumpul sembari menuntut kebebasan berpendapat yang lebih besar dan pengurangan penyensoran. Minggu-minggu berikutnya, para pengunjuk rasa berkumpul di Lapangan Tiananmen.
Di sana, jumlah mereka diperkirakan mencapai satu juta orang. Pada tanggal 13 Mei, ratusan mahasiswa bahkan nekat melakukan aksi mogok makan guna menarik perhatian para pemimpin Partai Komunis untuk melakukan perundingan.
Awal mulanya, pemerintah tak ambil tindakan langsung terhadap para pengunjuk rasa. Para pemimpin partai justru sempat mengunjungi aksi protes mahasiswa tersebut pada tanggal 19 Mei, mengakhiri aksi mogok makan mereka.
Para pejabat saat itu juga masih berdebat terkait bagaimana cara untuk menanggapi unjuk rasa tersebut. Sebagian pejabat partai ingin melakukan konsesi, sedangkan yang lain ingin mengambil tindakan lebih keras.
Pada akhirnya, kelompok pejabat yang mendukung tindakan keras memenangkan perdebatan. Dalam dua minggu terakhir di bulan Mei tahun tersebut, darurat militer mulai diberlakukan di Beijing untuk “menghentikan kerusuhan dengan tegas”.
Tak terpengaruh oleh kondisi darurat militer tersebut, para pengunjuk rasa terus melanjutkan aksinya. Ratusan ribu orang kembali berunjuk rasa di jalan-jalan Beijing dan demonstrasi serupa juga terjadi di kota-kota lain di seluruh penjuru China.
Situasi berubah jadi mencekam ketika puluhan ribu pasukan yang diutus pemerintah mulai bergerak menuju Lapangan Tiananmen dan melepaskan tembakan tanpa memberi peringatan pada tanggal 3 dan 4 Juni. Beberapa dari pengunjuk rasa ada juga yang tewas terlindas kendaraan militer.
Baca juga: Kisah Jurnalis Selundupkan Foto dan Video Ikonik Manusia Tank di Peristiwa Tiananmen
Setelah tindakan keras militer hari itu usai, pihak berwenang China masih terus berupaya memburu mereka yang terlibat dalam demonstrasi. Ribuan orang ditahan, disiksa, dipenjara, hingga dieksekusi setelah diadili secara tidak adil atas tuduhan kejahatan “kontra-revolusioner”.