Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Kaum Muda Eropa Mulai Tertarik dengan Partai-Partai Ekstrem Kanan?

Kompas.com - 26/06/2024, 17:18 WIB
Egidius Patnistik

Penulis

Sumber CNN

PARA ahli survei terkejut dengan ledakan populisme di Eropa tahun 2016, tetapi kini banyak yang berpendapat bahwa mereka seharusnya tidak terkejut. Di Amerika Serikat (AS) dan Inggris, sejumlah besar pemilih di daerah-daerah yang terpinggirkan - tempat-tempat yang “tertinggal” akibat globalisasi – diberi kesempatan untuk melawan sistem, dan mereka memanfaatkannya. Mengapa lalu ada yang terkejut?

Para ahli survei kini dikejutkan oleh tren lain. Dalam pemilu Parlemen Eropa bulan Juni ini, partai-partai yang berhaluan ekstem kanan diperkirakan meraih hasil bagus. Namun hal yang mengejutkan adalah hasil itu terutama diperoleh dari dukungan generasi muda.

Beberapa tahun lalu, “Generasi Iklim” yang diasumsikan pasti liberal dan progresif sebagian besar memilih partai hijau. Namun kini, suara mereka telah bergeser ke partai-partai ektrem kanan sehingga membantu partai-partai itu meraih seperempat dari kursi Parlemen Eropa di Brussels. Apa yang telah terjadi?

Baca juga: Hasil Pemilu Parlemen Eropa 2024: Partai Sayap Kanan Bergembira, Muncul Kejutan di Perancis

Barangkali yang dimaksud dengan “tertinggal” tidak hanya fenomena geografis, tetapi juga fenomena generasional (antargenerasi).

Gen-Z, orang yang lahir antara tahun 1995 dan 2012, telah menghadapi berbagai krisis: pertama keuangan, lalu zona euro (sejumlah negara anggota Uni Eropa menggunakan euro  sebagai mata uang resmi), kemudian pandemi Covid-19, dan sekarang perang di Eropa. Semakin banyak generasi muda yang percaya bahwa mereka akan menjalani kehidupan yang lebih sulit dibandingkan orang tua mereka.

Roberto Foa, salah satu direktur di Centre for the Future of Democracy di Universitas Cambridge dan peneliti terkemuka mengenai ketidakpuasan generasi muda terhadap demokrasi, melihat dua kesenjangan besar dalam masyarakat Barat. Dua kesenjangan itu adalah kesenjangan kekayaan antara wilayah-wilayah yang sukses secara ekonomi dan yang tertinggal, dan kesenjangan antagenerasi terkait peluang hidup.

Para ilmuwan politik mungkin telah mengabaikan kedua kelompok itu karena keduanya sudah lama tidak terhubung. Namun sekarang, sikap apatis mereka berubah menjadi antipati – sebuah keinginan, sekali lagi, untuk melawan sistem.

“Jika Anda seorang pelaku politik (political entrepreneur) yang ingin mendobrak sistem kepartaian yang sudah ada, itu adalah pilihan Anda, dalam hal memobilisasi dukungan baru,” kata Foa kepada CNN. Tren ini, kata dia, telah terjadi sejak lama. “Saya justru terkejut karena orang-orang terkejut.”

Dukungan kaum muda terhadap partai-partai ekstrem kanan dirasakan di beberapa negara Eropa. Di Jerman, Partai Alternatif untuk Jerman (Alternative for Germany/AfD), meraih 16 persen suara dari para pemilih berusia di bawah 25 tahun dalam pemilu Uni Eropa kali ini. Hasil itu meningkat tiga kali lipat dibandingkan pemilu pada 2019 dalam demografi yang sama.

 

Di antara para pemilih Prancis yang berusia di bawah 34 tahun, National Rally (RN) menjadi partai paling populer, dengan perolahan 32 persen suara – naik 10 poin dibandingkan tahun 2019. Di Polandia, 30 persen pemilih di bawah 30 tahun mendukung partai sayap kanan Konfederasi, naik dari posisi 18,5 persen di pemilihan tahun 2019. Partai-partai ekstem kanan juga mengalami peningkatan dukungan di Belanda, Spanyol, Portugal, Austria, dan di Italia.

Generasi, Bukan Geografi

Coba pertimbangkan sejumlah usulan kebijakan berikut ini. Kaum muda tidak akan membayar pajak penghasilan. Jika mereka merintis usaha, mereka akan dibebaskan dari pajak badan/perusahaan selama lima tahun. Para mahasiswa yang bekerja paruh waktu akan mendapat tambahan upah dari negara, yang juga akan membangun 100.000 unit perumahan untuk mahasiswa. Mereka juga bisa bepergian gratis dengan kereta api.

Anda mungkin mengira bahwa itu pasti platform dari partai ekstrem kiri. Tidak! Ini adalah tawaran tokoh partai RN, Marine Le Pen, dalam pemilihan presiden Prancis tahun 2022. Saa itu Le Pen hanya kalah tipis.

Jadi, tidak mengherankan, kaum muda menyukainya. Hampir 50 persen dari pemilih berusia 25 hingga 34 tahun memilih Le Pen, dibandingkan dengan hanya 41 persen dari populasi umum dan 29 persen dari pemilih berusia di atas 70 tahun. Sementara “suara para lansia” membawa Donald Trump ke Gedung Putih dan Inggris keluar dari Uni Eropa. Suara para lansia pula yang mencegah ekstrem kanan meraih kemengangan di Prancis.

Keadaan itu mungkin akan segera berubah. Setelah Partai Renaisans, yang dipimpin Presiden Emmanuel Macron, di Prancis kalah telak dari partai ekstem kanan dalam pemilu untuk Parlemen Uni Eropa, Macron mengumumkan pemilihan parlemen segera di negara itu, yaitu pada 30 Juni ini dan 7 Juli mendatang. Pemilu itu berpotensi membuat Jordan Bardella, pemimpin RN yang berusia 28 tahun, menjadi perdana menteri Prancis bulan depan.

Baca juga: Gelombang Partai Ultra Kanan Menjungkirbalikkan Politik Nasional Eropa

Bagi Arthur Prevot, manajer sayap pemuda RN di Paris, pengumuman Macron itu merupakan berita bagus. Dia mengatakan, kepresidenan Macron telah gagal memberikan manfaat bagi generasi muda.

“Daya beli telah menurun drastis selama tujuh tahun terakhir. Dari krisis ‘gilets jaunes’ (protes jaket kuning), kenaikan harga bahan bakar, dan berbagai pajak yang diberlakukan – semua ini berdampak pada kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan saya,” kata Prevot, 22 tahun, kepada CNN.

 

Kekhawatiran terkait kondisi ekonomi mendorong dia untuk bergabung dengan partai yang akan segera memerintah Prancis, meskipun Macron akan tetap menjadi presiden.

Jonathan Verbeken, calon wakil RN di distrik ke-15 Paris, mengatakan alasan utama dia bergabung dengan partai itu adalah karena, “kami melihat orang-orang menderita setiap hari, berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kami melihat situasi yang menyedihkan di Prancis, khususnya terkait keamanan dan imigrasi. Kami ingin bereaksi terhadap hal itu.”

Bagi banyak pemilih berusia lanjut, RN masih merupakan prospek yang menakutkan. Meskipun ada upaya selama bertahun-tahun dari partai itu untuk bisa diterima masyarakat, termasuk dengan menghilangkan elemen-elemen ekstremis dan kontroversial yang terkait dengan sejarah antisemitik dan neofasis, generasi-generasi tua masih ingat asal-usul neofasis dan antisemitisme.

Namun para pemilih muda tampaknya kurang begitu peduli dengan asal-usul itu, kata Simon Schnetzer, penulis sebuah survei terbaru tentang generasi muda Jerman.

“Kaum muda adalah pemilih pemula. Mereka adalah lembaran kosong. Apa yang paling mendorong keputusan mereka adalah: Siapa yang dapat menawarkan sesuatu yang paling sesuai dengan kebutuhan saya?” katanya kepada CNN.

Kurangnya beban sejarah, ditambah pudarnya partai-partai berhaluan moderat di banyak wilayah Eropa, telah membuat kelompok-kelompok ekstrem kanan terlihat terhormat dan menawarkan berbagai solusi ekonomi untuk permasalahan generasi muda.

Sarah-Lee Heinrichs, politisi Partai Hijau Jerman berusia 23 tahun, mengatakan kekhawatiran ekonomi menjadi lebih umum di kalangan anak muda sejak pemilu Parlemen Eropa terakhir pada tahun 2019. Ketika itu Partai Hijau menjadi partai terbesar kedua di Jerman untuk pertama kali. Menurut dia, setelah pandemi Covid-19, perang besar-besaran di Ukraina, dan inflasi yang kembali melonjak, paham lingkungan tidak lagi menjadi prioritas kaum muda.

“Jika pemerintah tidak memberikan jaminan sosial – pekerjaan yang baik dan tempat tinggal yang tidak menghabiskan lebih dari 50 persen pendapatan Anda setiap bulannya – maka kelompok ekstrem kanan akan bangkit,” kata Heinrichs kepada CNN.

Seiring dengan kerentanan masalah ekonomi, muncullah perlawanan yang lebih sengit terhadap imigrasi. Hal itu terjadi hampir satu dekade setelah benua itu – dan khususnya Jerman – menerima sejumlah besar pengungsi yang melarikan diri dari perang di Suriah.

Sebuah tren baru yang mengkhawatirkan dimulai bulan lalu, setelah sebuah klip video pendek yang diambil di pulau wisata Sylt di Jerman diposting di X. Dalam video itu, sejumlah pemuda Jerman yang berpakaian rapi menyanyikan “Ausländer Raus!” (“Orang Asing Keluar!”) dan “Deutschland den Deutschen!” (“Jerman untuk orang Jerman!”) dengan irama Eurodance tahun 1999.

 

Nyanyian tersebut telah menyebar ke seluruh Jerman, yang saat ini menjadi tuan rumah kejuaraan sepak bola Eropa. Daya tariknya tidak terbatas pada orang-orang Jerman saja. Saat Italia bermain melawan Spanyol pekan lalu, para penggemar di stadion terdengar membawakan versi mereka masing-masing.

Menggeser ke Kanan

Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, naik ke panggung di Brussels, Belgia, pada awal bulan ini untuk menyampaikan pidato kemenangan setelah bloknya yang berhaluan moderat (center-right) memperoleh kursi terbanyak di Parlemen Eropa. Namun nada suaranya lebih muram, tanpa gelora kemenangan. Dia berbicara tentang pentingnya membela nilai-nilai Eropa: integrasi, demokrasi, dan supremasi hukum.

Seperti apa nilai-nilai abstrak itu di mata para pemilih muda?

“Kaum muda akan mempertimbangkan ulang, apakah hal itu membantu saya memenuhi kebutuhan saya? Apakah itu menghibur saya? Apakah itu memberi saya keamanan? Apakah menyenangkan? Dan jika tidak, itu membosankan,” kata Schnetzer kepada CNN. “Jika menggunakan logika model TikTok ini, Anda akan segera menggeser ke konten berikutnya.”

Sementara kelompok arus utama Eropa menyampaikan pidato-pidato yang serius, kelompok ekstem kanan justru menarik banyak pengikut di platform media sosial TikTok.

Bardella dari RN memposting video dirinya mencicipi anggur dan melakukan pengambilan gambar. Maximilian Krah, kandidat utama AfD yang akan mengikuti pemilu Uni Eropa, menawarkan nasihat berkencan kepada para pengikutnya: “Jangan menonton film porno, jangan memilih Partai Hijau.”

Sensasi Baru

Belum begitu jelas seberapa dalam rasa simpati para kaum muda terhadap kelompok ekstrem kanan. Foa mengatakan, dalam tren yang terutama terlihat di kalangan anak muda, pemilih semakin banyak yang tidak loyal pada partai atau platform tertentu.

“Mereka sangat fluktuatif dari satu pemilu ke pemilu berikutnya,” kata dia.

Sama seperti para pemilih muda yang gencar berkampanye untuk partai hijau pada tahun 2019, kesetiaan mereka bisa saja berubah lagi.

Daya tarik partai ekstrem kanan juga mungkin akan berkurang jika para politisi dari kelompok itu mulai memerintah. Saat di luar pemerintahan, politisi dari partai ekstrem kanan tentu tidak dapat mengingkari janjinya, dan mereka terus menunjukkan ketidakmampuan kelompok arus utama dalam memenuhi janji. Begitu berada di pemerintahan, akan terbukti sama mengecewakannya. Setidaknya, itulah teori Macron.

 

Namun, lonjakan dukungan terhadap partai-partai ekstrem kanan bisa menimbulkan tren yang lebih suram. Dalam studi tentang ketidakpuasan kaum muda terhadap demokrasi, Foa mencatat semakin besarnya kecenderungan terhadap otoritarianisme. Tanpa ingatan pribadi tentang kehidupan di bawah pemerintahan otoriter atau perjuangan untuk mencapai demokrasi, generasi muda kurang begitu menghargai sistem itu dibandingkan generasi sebelumnya.

Keberhasilan partai-partai ekstrem kanan itu harus menjadi peringatan bagi partai-partai arus utama Eropa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com