Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

China Disebut Bisa Ambil Alih Taiwan Tanpa Invasi

Kompas.com - 24/06/2024, 21:09 WIB
Paramita Amaranggana,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

Sumber CNN

KEKHAWATIRAN bahwa Partai Komunis China akan segera mengambil alih Taiwan dengan kekerasan telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan semakin agresifnya pemimpin China, Xi Jinping.

Ketakutan tersebut kian diperburuk setelah China menolak untuk mengutuk invasi Rusia ke Ukraina yang dimulai pada Februari 2022.

Sementara itu, para analis dan ahli strategi militer telah lama berfokus pada dua opsi utama yang mungkin akan dilakukan China: invasi skala penuh atau blokade militer.

Sebuah lembaga pemikir yang berbasis di Washington, Center for Strategic and International Studies (CSIS), memperingatkan bahwa ada cara lain selain dua cara tersebut. Menurut mereka, cara tersebut akan mempersulit Amerika Serikat (AS) dan negara demokrasi lainnya yang berpikiran sama untuk melawan. Cara yang dimaksud adalah karantina.

Baca juga: Taiwan Latihan Perang, Tiru Pertempuran Semirip Mungkin

Menurut laporan yang baru dirilis CSIS, China mungkin saja menggunakan sebuah taktik yang disebut sebagai “zona abu-abu”. Taktik tersebut melibatkan Penjaga Pantai China serta berbagai badan polisi dan keselamatan maritim untuk memulai karantina penuh atau sebagian di Taiwan. Dengan demikian, mereka dapat memutus akses ke pelabuhan dan menghentikan pasokan vital seperti energi agar tidak dapat lagi menjangkau 23 juta penduduk Taiwan.

Komponen angkatan laut, udara, dan darat dari Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) mungkin hanya akan memainkan peran tambahan dan pendukung, tulis Bonny Lin, Brian Hart, Matthew Funaiole, Samantha Lu, dan Truly Tinsley dari CSIS dalam laporan itu sebagaimana diberitakan CNN.

“China telah meningkatkan tekanan secara signifikan terhadap Taiwan dalam beberapa tahun terakhir, yang memicu kekhawatiran bahwa ketegangan dapat meletus menjadi konflik langsung. Banyak perhatian telah diberikan pada ancaman invasi, tetapi Beijing memiliki pilihan selain invasi untuk memaksa, menghukum, atau menganeksasi Taiwan,” kata laporan tersebut.

Pada pertemuan Dialog Shangri-La awal bulan ini, Menteri Pertahanan China, Laksamana Dong Jun mengatakan bahwa siapapun yang mendukung segala gerakan untuk kemerdekaan Taiwan akan “berakhir dalam penghancuran diri.”

“Kami akan mengambil tindakan tegas untuk mengekang kemerdekaan Taiwan dan memastikan rencana semacam itu tidak akan pernah berhasil,” kata Dong.

Dong kemudian mengecam para “kekuatan pengganggu eksternal” karena telah menjual senjata dan memiliki “kontak resmi ilegal” dengan Taiwan.

Taktik “zona abu-abu” China sebetulnya sudah tampak jelas terutama saat kapal Penjaga Pantai China bentrok dengan kapal Angkatan Laut Filipina di Laut China Selatan pada minggu lalu.

Sebuah video menunjukkan pasukan China mengancam orang Filipina dengan kapak dan senjata tajam lainnya. Bahkan, pihak Filipina mengatakan bahwa salah satu tentaranya kehilangan ibu jari dalam bentrok yang dipicu China.

Tingkat kekerasan seperti itu dapat dipandang sebagai peningkatan besar jika dibandingkan dengan bentrokan sebelumnya di dekat Second Thomas Shoal, di mana Filipina menempatkan pos terdepannya di sebuah kapal perang yang terdampar di perairan yang diklaim baik oleh Beijing atau Manila.

Secara bersamaan, intimidasi militer dan ekonomi Beijing terhadap Taiwan semakin tampak jelas di bawah Xi,

Partai Komunis yang berkuasa di China telah mengklaim Taiwan sebagai miliknya. Walau tak pernah mengendalikannya, China bersumpah akan “menyatukan kembali” Taiwan ke China, bahkan dengan kekerasan jika diperlukan.

Namun, laporan CSIS mengatakan bahwa Beijing memiliki opsi kuat yang tidak hanya dapat menjauhkan PLA dari pertempuran, namun juga dapat benar-benar menempatkan demokrasi Taiwan serta para pendukungnya dalam peran sebagai pemrakarsa konflik militer untuk mempertahankan otonomi Taiwan.

Laporan tersebut juga mencatat bahwa Penjaga Pantai China – seperti kebanyakan penjaga pantai di seluruh dunia – dianggap sebagai badan penegak hukum. Dengan begitu, ini berarti mereka dapat menghentikan dan meregulasi pengiriman di sekitar pulau tersebut dalam apa yang disebut dengan karantina, yang berbeda dari blokade.

“Karantina (adalah) operasi yang dipimpin oleh penegak hukum untuk mengendalikan lalu lintas laut atau udara di dalam wilayah tertentu sementara blokade pada dasarnya bersifat militer,” kata laporan tersebut.

Baca juga: Menimbang Peluang China Lakukan Blokade Militer ke Taiwan

Menurut para ahli, blokade dianggap sebagai tindakan perang oleh hukum internasional.

“Karantina yang dipimpin oleh penjaga pantai China bukanlah deklarasi perang terhadap Taiwan,” kata laporan itu. Dengan demikian, AS akan berada dalam posisi yang sulit.

Tercantum dalam Undang-Undang Hubungan Taiwan, Washington diharuskan untuk menyediakan Taiwan sarana untuk mempertahankan diri dan memasok Taiwan dengan persenjataan pertahanan.

Presiden AS, Joe Biden, bahkan telah melangkah lebih jauh dari hukum tersebut. Biden berulang kali berkata bahwa ia bersedia mengirim pasukan AS untuk melindungi Taiwan. Di sisi lain, AS dapat dianggap telah memulai permusuhan militer jika ada kapal atau pesawat militernya yang ikut campur dalam operasi yang China sebut sebagai operasi penegakan hukum.

Terlebih lagi, kekuatan militer Taiwan belum sekuat itu untuk menghentikan karantina. Penjaga Pantai China memiliki 150 kapal laut dan 400 kapal yang lebih kecil. Beijing juga memiliki ratusan kapal lagi di Badan Keselamatan Maritim dan milisi maritim. Penjaga Pantai Taiwan sementara itu hanya memiliki 10 kapal laut dan sekitar 160 kapal yang lebih kecil.

Penulis CSIS menerangkan bahwa tindakan karantina yang dilakukan Beijing bisa sangat terbatas namun tetap memiliki dampak yang mampu mencekik perekonomian Taiwan. Hanya sedikit operator yang ingin menghadapi kemungkinan aset mereka disita oleh otoritas China dan mungkin secara sukarela menghentikan layanan ke Taiwan.

“Kesediaan China yang ditunjukkan untuk menggeledah dan menyita hanya segelintir kapal komersial dapat memiliki dampak pencegahan yang sangat besar dan mencegah pelanggaran serupa,” kata laporan itu.

Laporan tersebut juga mengungkap bahwa tindakan penggeledahan dan penyitaan yang terbatas dapat berdampak pada penerbangan ke Taiwan karena karantina dapat dengan mudah diperluas ke udara.

Hanya segelintir penerbangan yang perlu diperingatkan oleh pesawat China untuk memiliki efek yang mencekik pada keseluruhan lalu lintas, menurut laporan itu.

China secara rutin menerbangkan pesawat militer di sekitar Taiwan. Bahkan, jumlahnya terkadang mencapai puluhan dalam sehari.

Sementara itu, karantina tidak mengharuskan China untuk menutup atau membatasi akses ke Selat Taiwan. Hal ini berarti Washington dan sekutunya dapat kehilangan satu klaim mereka terkait campur tangan berdasarkan hukum internasional.

“Jika karantina dianggap sebagai operasi penegakan hukum, China dapat dengan mudah mengumumkan berakhirnya operasi dan mengklaim tujuannya telah tercapai,” demikian kata laporan itu.

Jika ingin lebih diam-diam, China bahkan bisa saja tak memakai kata “karantina” untuk memulai mengisolasi Taiwan.

Berdasarkan klaimnya bahwa Taiwan adalah wilayah China, Beijing dapat meminta deklarasi pabean diajukan sebelum kapal dapat singgah di Taiwan. Bagi mereka yang gagal mematuhi, mekanisme penegakan hukum dapat memberikan efek yang mengerikan pada semua pengiriman.

“Kapal penegak hukum China akan diberi wewenang untuk menaiki kapal, melakukan inspeksi di tempat, menginterogasi personel, dan melakukan tindakan lain terhadap kapal yang tidak patuh,” kata laporan itu.

Gagasan tersebut memungkinkan cakupan operasi yang terbatas bagi China. Contohnya, China dapat menargetkan pelabuhan tersibuk di pulau itu, Kaohsiung, yang bertanggung jawab atas 57 persen impor maritim Taiwan dan sebagian besar impor energinya.

Masuk Akal tetapi Beresiko

Analis lain meninjau laporan CSIS dan menganggapnya masuk akal. Namun, para analis memiliki keraguan terkait bagaimana hal-hal akan terjadi.

Beberapa menyebutkan bagaimana ekonomi tak selalu menguntungkan China.

“Mempertahankan karantina akan mahal dan memakan waktu,” kata Carl Schuster, mantan direktur operasi di Pusat intelijen Gabungan Komando Pasifik AS.

“Taipei tidak akan menyerah dalam waktu kurang dari 60 hari,” kata Schuster. “Bisakah Beijing mempertahankan upaya dan kemungkinan reaksi internasional selama itu?”

Upaya untuk mengganggu status quo di Selat Taiwan dapat semakin mengikis perdagangan luar negeri Beijing, para ahli memperingatkan.

Alessio Patalano, profesor perang dan strategi di King’s College di London, mencatat tantangan yang dihadapi oleh Partai Komunis China terkait ekonomi yang masih dalam upaya untuk pulih dari Covid-19.

Baca juga: Pokok Persoalan Konflik China dengan Taiwan

Taiwan merupakan pulau dengan ekonomi industri terkemuka. Mereka berperan penting dalam rantai pasokan global. Mereka juga adalah produsen dari sebagian besar semikonduktor tercanggih di dunia. Karena itu, karantina terhadap Taiwan tak hanya dapat berdampak terhadap perekonomian dalam negeri, tetapi juga global.

Sementara sebagian besar negara secara diplomatis mengakui Beijing atas Taiwan, pulau itu telah menjalin hubungan tidak resmi yang semakin kuat dengan negara-negara demokrasi Barat utama.

Taiwan dan China juga saling terkait secara ekonomi. Tahun lalu, 35 persen ekspor dari Taiwan dikirim ke daratan China. Sebagian besarnya berupa sirkuit terpadu, sel surya, dan komponen elektronik.

Sebaliknya, impor dari China juga menyumbang 20 persen dari total impor Taiwan di tahun yang sama. Antara tahun 1991 dan 2022, perusahaan Taiwan telah menginvestasikan total 203 miliar dolar di China, menurut statistik pemerintah Taiwan.

Selain itu, karantina dapat mendorong penduduk untuk semakin mendukung pemerintah alih-alih melawannya, kata Sidharth Kaushal, peneliti senior di Royal United Services Institute di London.

“Bukti historis menunjukkan bahwa blokade yang parah sekalipun memiliki nilai koersif yang terbatas, dan karantina yang terbatas dapat mengakibatkan aksi unjuk rasa di sekitar efek bendera,” katanya.

Karantina juga dapat mendorong pemerintah Taiwan untuk mendeklarasikan kemerdekaan, sesuatu yang Beijing katakan dapat menimbulkan konflik bersenjata, kata Kaushal.

“Ini akan membuat (Partai Komunis) memiliki pilihan antara eskalasi atau kemunduran besar,” katanya.

Patalano mengatakan bagi China, kesabaran adalah kunci untuk mewujudkan tujuannya yaitu “penyatuan kembali.”

Eskalasi, dan tentu saja invasi, tidak “hemat biaya,” katanya. Perang tidak hanya menelan korban jiwa tetapi juga kekayaan nasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com