Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Rusia Ingin Bangun Kembali Hubungan dengan Taliban?

Kompas.com - 10/06/2024, 10:20 WIB
Paramita Amaranggana,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

KEDATANGAN delegasi Afghanistan yang dipimpin rezim Taliban ke Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg, Rusia, untuk pertama kalinya tahun 2022 segera menjadi pembicaraan hangat di seluruh dunia saat itu. Sekarang, dua tahun kemudian, berita akan kunjungan kembali delegasi Afghanistan hampir saja tak akan menjadi perhatian jika bukan karena usulan Kementerian Luar Negeri dan Kehakiman Rusia untuk menghapus Taliban dari daftar organisasi teroris.

Walau Presiden Rusia, Vladimir Putin, belum secara langsung berbicara terkait isu itu, ia sebelumnya pernah mengatakan bahwa hal tersebut perlu dilakukan guna membangun hubungan dengan Taliban dan para pemimpin Afghanistan saat ini.

Baca juga: ISIS Serang Wisatawan Asing di Afghanistan, Sektor Pariwisata Terguncang

Hans-Jakob Schindler, pakar Timur Tengah di Counter Extremism Project (CEP), berpendapat bahwa Kementerian Luar Negeri Rusia mungkin sedang mengharapkan sesuatu sebagai imbalan atas penghapusan Taliban dari daftar kelompok teroris. Namun, hal itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.

“Taliban selalu sangat bersedia menerima konsesi di muka, tetapi keadaan menjadi rumit ketika harus membalasnya,” kata Schindler.

Thomas Ruttig, salah satu pendiri Afghanistan Analysts Network, menafsirkan langkah Kremlin itu sebagai “taktik sepotong-sepotong, yang maju menuju pengakuan resmi dalam langkah-langkah yang sangat kecil – sesuatu yang pasti akan membuat Taliban senang.”

Sekilas Hubungan Rusia-Afghanistan

Sejak awal abad ke-19, Afghanistan menjadi pion geopolitik dalam apa yang dikenal sebagai “Permainan Besar” antara Kekaisaran Rusia atau Tsar Rusia dan Inggris. Khawatir ekspansi Tsar Rusia ke Asia Tengah akan semakin membawanya dekat ke perbatasan India yang seperti “permata” bagi Kekaisaran Inggris, maka Inggris memutuskan untuk berperang di Afghanistan sebanyak tiga kali guna memukul mundur Rusia.

Pada tahun 1919, Afghanistan memperoleh kemerdekaannya dan secara resmi lepas dari Inggris. Saat itu, Uni soviet menjadi negara pertama yang menjalin hubungan diplomatik dengan Afghanistan. Selama beberapa dekade berikutnya, Uni Soviet secara rutin menawarkan bantuan ekonomi dan militer kepada Afghanistan.

Dari tahun 1950-an sampai 1980-an, Uni Soviet juga aktif membantu pembangunan di Afghanistan, termasuk fasilitas irigasi, jembatan, tiga bandara, lebih dari 1.000 kilometer jalan, dan masih banyak lagi, menurut laporan dari Carnegie Endowment for International Peace.

Meski begitu, hubungan antar keduanya sempat meregang di tahun 1970-an. Tahun 1973, raja terakhir Afghanistan digulingkan dalam kudeta oleh sepupu dan saudara iparnya sendiri, Mohammed Daoud Khan, yang kemudian mendirikan republik.

Mulanya, Uni Soviet mendukung gerakan itu. Namun, kegembiraan mereka lenyap usai Daoud Khan menolak menjadi boneka Soviet. Daoud Khan juga mulai mendekatkan diri ke Amerika Serikat (AS) guna menetralkan ketergantungannya dengan bantuan Soviet.

Tahun 1978, Partai Demokratik Rakyat Afghanistan (PDPA) yang komunis berhasil menggulingkan Daoud Khan dalam kejadian yang kini disebut sebagai Revolusi Saur. Daoud Khan tewas dalam tragedi tersebut.

Baca juga: Rusia Akan Hapus Taliban dari Daftar Organisasi Teroris

PDPA naik ke tampuk kekuasaan. Namun, Soviet tetap tak bisa bersantai meski PDPA pada dasarnya juga komunis seperti mereka. PDPA saat itu masih terpecah dan tak stabil. Secara bersamaan, mereka juga menghadapi persaingan budaya yang sengit dari para pemimpin konservatif dan religius. Mereka juga ditentang oleh sebagian besar pedesaan di Afghanistan saat itu.

Pada musim gugur 1979, terjadilah kudeta internal PDPA yang menewaskan pemimpin pertama partai itu. Setelahnya, Hafizullah Amin mengambil alih pemerintahan untuk waktu yang singkat tapi sangat brutal. Akibatnya, kerusuhan nasional meningkat dan Soviet semakin khawatir.

Uni Soviet akhirnya mengambil langkah tegas dan mengirim pasukannya ke Afghanistan pada Desember 1979 untuk membantu pemerintahan komunis Afghanistan melawan kelompok anti komunis dan menggulingkan Hafizullah Amin. Misi Uni Soviet kala itu juga mencakup upaya untuk menghalangi pengaruh AS di Afghanistan.

Di tahun 1988, Uni Soviet menandatangani perjanjian dengan AS, Pakistan, dan Afghanistan dan sepakat untuk menarik pasukannya dari wilayah tersebut. Penarikan pasukan Soviet akhirnya selesai pada 15 Februari 1989.

Rusia-Afghanistan kemudian menyaksikan titik terendah dalam hubungannya pasca-runtuhnya Soviet. Meski begitu, Moskwa terus berupaya untuk memperbaiki hubungan antar keduanya.

Di tahun 1992, Rusia mengirimkan bantuan untuk rezim komunis yang dipimpin Presiden Najibullah dan memulai membangun hubungan dengan kelompok Mujahidin. Rusia lalu kembali terlibat dalam perang saudara Afganistan dengan memberikan dukungan militer kepada Aliansi Utara – gerakan Mujahidin yang didominasi etnis Tajik dari Afghanistan.

Rusia terus menyalurkan dukungan kepada Aliansi Utara setelah Taliban mengambil alih Kabul, ibu kota Afghanistan, tahun 1996. Saat itu, Rusia sama sekali tidak menyukai Taliban. Menurut Rusia, Taliban akan menjadi tempat berlindung aman bagi kelompok teroris, seperti Gerakan Islam di Uzbekistan yang aktif di Rusia dan Asia Tengah. Apa lagi saat itu Taliban juga dilaporkan mendukung para pemberontak Chechnya.

Setelah Taliban kehilangan kekuatannya di Kabul pada 2001, Rusia kembali membuka misi diplomatiknya di sana. Dukungannya kepada Afghanistan juga terus mengalir. Faktanya, Rusia menjadi negara pengirim bantuan terbesar ke-18 di Afghanistan saat itu. (SCEEUS Report, 2021)

Rusia Ingin Memperbaiki Hubungan dengan Taliban

Rusia geram terhadap Taliban akibat pengakuan mereka atas deklarasi kemerdekaan sepihak Chechnya pada Januari 2000. Di tahun 2003, ketegangan antar keduanya mencapai puncaknya setelah Rusia memasukkan Taliban ke dalam daftar organisasi terlarang.

Meski begitu, keduanya mulai menjalin hubungan informal sejak tahun 2015. Pada Maret 2022, kedua belah pihak menjalin hubungan diplomatik resmi setelah Taliban mengambil alih Afghanistan enam bulan sebelumnya.

Kini, ada kabar bahwa Rusia akan semakin mendekatkan dirinya kepada Taliban dengan mencabut Taliban dari daftar organisasi teroris terlarang. Walau demikian, Schindler berpendapat bahwa hal tersebut mungkin akan menjadi “kekeliruan diplomatik” jika tak ada harapan akan imbalan apapun.

"Di sisi lain, seseorang tidak dapat menandatangani perjanjian perdagangan apapun apalagi dengan organisasi yang secara resmi masih terdaftar sebagai kelompok teroris," katanya.

Ruttig percaya bahwa memperdalam hubungan dengan rezim Taliban merupakan bagian dari upaya kebijakan luar negeri China dan Rusia untuk mengisi kekosongan kekuasaan geopolitik pasca-penarikan diri Barat dari Afghanistan pada tahun 2021 serta menarik Taliban ke dalam aliansi anti-Barat.

Adapun pertimbangan lain seperti tanah Afghanistan yang subur dan kaya akan mineral yang hanya bisa dieksploitasi jika perdamaian terjadi dan infrastruktur yang memadai dibangun.

Ruttig menambahkan, Moskwa mungkin lebih tertarik untuk mengubah Afghanistan menjadi pusat infrastruktur alih-alih memprioritaskan Kabul dalam perihal kebijakan luar negeri.

Menyeimbangkan Sekutu Melawan Teror

Pada Maret lalu, gedung konser Crocus City Hall di Rusia menjadi target serangan kelompok teroris Negara Islam di Khorasan (ISIS-K). Menurut Schindler, serangan ini telah membuktikan kepada para pemimpin Rusia bahwa Afghanistan sekali lagi menjadi rumah bagi organisasi teroris yang mengancam negara-negara asing. Ruttig yakin hal ini juga adalah hal yang membangkitkan minat Moskwa untuk memperdalam kontak dengan rezim yang saat ini berkuasa di Kabul, yaitu Taliban.

Meski begitu, Schindler dan Ruttig tidak sepakat terkait bagaimana Taliban dapat membantu Moskwa meminimalisir resiko serangan teroris. Ruttig yakin Taliban melakukan segala kemampuannya untuk memerangi ISIS-K, Schindler di sisi lain berpendapat bahwa Moskwa telah secara keliru berasumsi bahwa Taliban menolak ISIS-K. Pertama, banyak anggota ISIS-K sebelumnya merupakan bagian dari gerakan Taliban. Kedua, banyak anggota Taliban saat ini secara ideologis sangat dekat dengan ISIS-K, jelas Schindler.

Schindler mengatakan bahwa agar dapat bertahan secara politik, perjuangan Taliban melawan ISIS-K harus "diimbangi dengan hati-hati."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com